"Gue nggak butuh penjelasan dari lo. Seribu kali orang melakukan kebohongan, seribu satu kali dia bakal cari alasan buat menutupinya."
"Kenapa sih lo bersikap kayak gini? Bersikap seperti pacar yang cemburu karena tahu pacarnya jalan bareng cowok lain? Lo nggak berhak kayak gini, Alder. Lo cuma pacar kontrak gue. Nggak lebih."
"Bodoh ya gue?" Alder bicara pada dirinya sendiri. "Bodoh banget gue udah cemburuin orang yang belum bisa lupain masa lalunya."
"Alder, lo serius cemburu?"
"Lo liat muka gue. Apa keliatannya gue lagi bercanda sekarang?"
Aku menatapnya. Tidak. Dia benar. Dia sedang serius sekarang.
"Tapi kenapa? Kenapa lo bisa punya perasaan cemburu kayak gini? Status kita kan cuma pacaran kontrak, nggak lebih."
"Mungkin di sini cuma lo yang menganggap hubungan kita sebatas pacaran kontrak, tapi gue enggak. Gue libatin hati gue di sini. Sejak gue putusin buat perpanjang pacaran kontrak kita, di saat itu juga gue mulai suka sama lo, dan perlahan gue sayang sama lo. Sampai sekarang, gue udah cinta sama lo. Real. Bukan sandiwara.
"Gue orangnya gampang deket sama orang, apalagi sama cewek, tapi nggak ada satu pun yang bisa bikin gue nyaman senyaman saat gue deket sama lo. Gue nyaman sama lo. Gue sayang sama lo. Gue cinta sama lo, Tari."
Aku bungkam. Terkejut atas pengakuan Alder yang tiba-tiba seperti ini. Aku juga bingung, tak tahu harus menjawab apa atas pengakuannya. Hatiku pun sama bingungnya. Perasaanku padanya masih abu-abu. Aku tak mau mengulangi kesalahan yang dulu. Kesalahan dalam mengartikan perasaan nyaman. Kesalahan mengartikan rasa sayang. Aku tak mau salah mengambil langkah lagi. Aku berpikiran seperti ini karena aku juga merasa belum yakin dengan perasaan Alder padaku. Semuanya sangat tiba-tiba.
"Gue bingung, Der." Aku menatapnya yang masih terus menatapku. "Gue nggak nyangka kalo akhirnya lo baper sama gue, dan semudah itu cinta sama gue."
"Gue nggak punya alasan kenapa gue bisa cinta sama lo, Tar. Yang pasti gue bakal berjuang mati-matian buat apa yang gue inginkan, selama itu bikin gue seneng." Dia memberi jeda, "Gue tahu, lo pasti kaget kan sama pengakuan gue ini? Klise banget, 'kan? Gue jadi cinta sama lo gara-gara gue jadi pacar kontrak lo. Gue bukan tipe orang yang pinter nyembunyiin perasaan sendiri. Kalau suka ya suka, kalo enggak ya enggak. Gue nggak bakal egois dengan maksa lo buat jadi pacar gue saat ini juga. Gue tahu lo butuh waktu untuk ini. Gue bakal nunggu sampai waktu itu tiba. Sampai lo udah nemuin jawaban yang tepat atas pengakuan gue ini."
Aku mengangguk. Alder ternyata sangat pengertian, dia mengerti perasaanku saat ini. Dia memberi waktu untukku berpikir.
Alder tersenyum tipis. "Jangan terlalu dipikirin. Gue siap nunggu, kok. Asal jangan kelamaan, karena gue juga punya batas kesabaran."
"Ayo ke kelas." Sedetik kemudian dia meraih tanganku dan menggenggamnya.
Koridor sudah sepi, karena bel masuk sudah berbunyi sejak tadi. Kami berjalan bergandengan menuju kelas.
***
"Serius? Alder ngomong gitu ke lo, Tar?"
Aku mengangguk lemah. "Gue bingung, Ris."
Kebetulan hari ini Pak Ari sedang ada keperluan ke luar kota, jadi selama dua jam sebelum istirahat ini kelasku free. Ini waktu yang tepat untukku cerita kepada ketiga sahabatku tentang pengakuan Alder tadi pagi. Kami berkumpul di mejaku, sedangkan siswa lain juga sibuk dengan urusan masing-masing. Kumpulan cowok-cowok berada di pojokan sedang menonton sesuatu, entahlah, aku tak ingin tahu mereka sedang menonton apa. Ada juga yang sedang tidur dengan kepala di atas meja, serta Amin yang sedang nyanyi-nyanyi tak jelas dengan gagang sapu yang dia ibaratkan dengan mic.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare (Completed)
Teen Fiction"Gue suka sama lo. Mau gak jadi pacar gue?" Kalimat itu terlontar jelas dari mulut Tari yang saat ini merasa malu setengah mati melakukan tantangan Truth or Dare dari teman-temannya itu. "Oke, mulai hari ini kita pacaran." Jawaban yang sungguh dilu...