Prolog

6.9K 110 4
                                    

Gue membuka mata dan merasa silau atas cahaya matahari yang masuk ke dalam kamar. Gue melirik meja nakas dan melihat jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Gue tersenyum. Hari ini gue sudah resmi menjadi sarjana ekonomi dari NYU. Senyum gue tak pernah pudar mengingat bahwa gue sudah bisa membanggakan orangtua dengan menjadi seorang sarjana.

Well, mama dan papa memang sudah tiada, tapi mereka akan selalu ada di hati gue. Kelulusan ini gue persembahkan untuk orangtua yang paling gue cintai hingga akhir hayat. A lot of thanks for them. Due to their saving, I could through my education without Atha's money. I'm so thankful.

And Atha, dia sudah bekerja menjadi direktur diperusahaan papa sejak ia masih menjadi mahasiswa NYU. Ia adalah seorang direktur muda yang tegas dan kompeten. Ia telah lulus tahun lalu dengan double degree; sarjana ekonomi dan sarjana teknik. Is he a perfect boy? Absolutely! Dia pun sekarang sedang berusaha mengatur waktu agar mampu mengejar pendidikannya menempuh S2, sama dengan gue.

Hal yang akan orang lain bayangkan setelah menjadi sarjana adalah mencari pekerjaan dan mencari jodoh. Dua hal terpenting dalam hidup. Am I right? Namun kedua hal itu telah gue capai jauh sebelum menjadi sarjana. Gue telah menikah di usia yang masih sangat belia; 16 tahun dan papa menawarkan pekerjaan di perusahaannya.

At first, pernikahan kami--gue dan Atha--adalah perjodohan dari orangtua kami. Why did we accepted the matchmaking? I thought I should be obedient to my parents, so I agreed with it. And for Atha, he thought the same reason, actually.

Gue sudah menjadi istri di usia yang sangat muda dan gue harap kalian gak mencontoh karena gue sangat yakin gak ada manusia yang sanggup menjadi seorang istri dengan sejuta tanggung jawab disaat bersamaan saat ia mengemban tugas sebagai siswi SMA. Only the tough one. Masukkah gue dalam kategori itu? Tentu tidak, karena sampai detik ini pun gue masih belajar how to be a good wife.

Di zaman milenium ini berbeda dengan zaman orangtua dulu, so jangan menyamakan orang dulu yang menikah muda.

Gue bergerak turun dari kasur dan mandi. Tak perlu waktu lama untuk gue, si cewek gak tulen banget mandi, karena menurut gue mandi gak harus berendam lama--kecuali ada masalah. Instead in America, merupakan hal wajar jika tak mandi pagi. Mengingat suhu udara disini yang rendah jadi produksi keringat tak sebanyak saat di Indonesia. Pantas bule gak ada yang baunya kayak kenek bus. Upss..

Gue telah rapi dengan potongan kemeja tosca sepinggang dan celana denim biru serta flatshoes hitam. Rambut hanya gue jepit satu sisi membentuk poni. Hanya dengan lipgloss, gue beranjak keluar kamar. Oh tentu gue pasti sudah memakai parfum dan membawa tas.

"Sarapan, Koc"

Gue menoleh dan mendapati Atha yang sudah duduk di sofa dan memejamkan mata. Gue beranjak mendekatinya setelah mengambil piring sarapan yang telah dibuatnya.

Sudahkah gue bilang bahwa Atha ini adalah suami sah yang telah menikah dengan gue selama hampir 6 tahun lamanya? Ya, this is him, the one who I'm proud of. Sosok yang selama 6 tahun ini bertanggung jawab atas gue dan hidupnya. Sosok yang menguatkan gue dan gak beranjak dari sisi gue di saat gue terpuruk atas kehilangan orang tua gue.

Disini, di kota New York, kami memulai kisah hidup untuk kehidupan yang lebih baik di negeri orang. Disini kami hanya hidup berdua, we were trying to be tough.

"Kamu udah makan?"

Atha membuka mata yang agak sayu dan tersenyum, "Belum"

Gue pun ikut tersenyum. Sebelum melakukan apapun, gue beranjak ke dapur dan mengiris ketimun dan membawa dua iris lalu menempelkannya pada mata Atha yang keningnya langsung mengernyit.

"Apaan nih?"

"Udah diam saja, biar rileks. Semalam tidur jam berapa?"

Ia menyandarkan kepalanya, "Jam 1"

Gue memotong roti dan menyuapi Atha. "Jangan terlalu capek, Tha. Mending setelah sarapan tidur saja, biar gak capek"

Ia membuka satu ketimun dan sebelah matanya menatap gue, "Dan kamu udah rapi?"

"Gapapa kok. Aku bisa sendiri. Cuma wisuda doang, kan. Gak seformal acara di Indonesia, kok. Lagian nanti akan ada papa dan mama juga"

Dia menghela nafas pelan, "Kapan lagi aku bisa datang acara wisuda istriku?" katanya yang sudah kembali menutup matanya

Gue tersenyum. He is really a responsible man. "Siapa tahu kan mau cari istri lain"

Tangan Atha bergerak dan meraih tangan gue. "You're the one and only 'till the day that I die"

Gue mendengus, "Makin jago saja gombalnya. Ajarin dong" ledek gue

Bibirnya tersungging, "Jangan deh, bisa melting aku nanti"

Gue tersenyum dan mengamati wajah tampannya yang semakin nampak dewasa dan selalu dalam jarak pandang gue. Selalu. Ia yang akan membimbing gue selalu. Ia yang selalu membuat gue mengeluarkan segala emosi. My one and only husband.

***

The Journey ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang