Delapan

2.1K 94 25
                                    

Pagi ini kami sudah siap sarapan bersama. Gue dan Atha masih betah menghabiskan masa liburan kami disini sebelum kembali ke rutinitas kami di New York dan berpisah dengan keluarga serta kerabat. Gue hari ini berniat untuk ziarah ke makam mama dan papa ditemani Aini dan mang Jaja. Tentu, tentu saja gue sudah izin dengan Atha. Bahkan awalnya Atha hendak mengantar gue namun gue menolak, ia harus ke kantor dan membantu pekerjaan papa disana daripada menemani gue yang bisa pergi sendiri. Hingga ia menawarka agar kami pergi saat makan siang bersamanha namun gue tetap menolak dan berjanji untuk datang ke kantornya setelah gue selesai nanti dan ia akhirnya pun setuju walau dengan berat hati.

Atha berangkat ke kantor pukul setengah 9 pagi dengan mobilnya sendiri. Gue pun beranjak untuk berganti pakaian  ke kamar.

Tok.. tok.. tok.. pintu kamar gue diketuk perlahan. Saat gue mempersilahkan si pengetuk masuk, pintu dibuka dan muncul Aini dengan baju kaos lengan panjangnya berwarna hitam. Ia masuk tanpa menutup pintu dan menghampiri gue yang sedang mengikat rambut di pinggir tempat tidur.

Gue berbalik dan tersenyum pada Aini, "Ada apa Aini?"

"Ada tamu buat kakak dibawah"

Gue mengerutkan kening, "Siapa?" tanya gue bingung

"Cowok. Kakak yang semalam datang kesini, temannya kak Atha"

Cowok yang semalam datang, temannya Atha? Bukannya itu... Mike? Gue berdiri dan membawa tas lalu keluar kamar bersama Aini ke bawah, menemui tamu gue pagi ini. Tamu tak diundang yang menyenangkan. Jelas menyenangkan karena dia selalu pro gue, terutama semalam.

"Kak Mike?"

Mike berbalik dan tersenyum. Ia tampak tampan seperti biasanya. Jeans biru dengan polo shirt putih. Cocok dengan kulit putihnya. Memang teman-teman Atha luar biasa, mereka semua tampan dan cantik. Perfect.

"Hai, Koci"

Gue menghampirinya dan ikut tersenyum, "Kakak ngapain pagi-pagi disini?"

"Mau main saja sih. Gaboleh, ya?"

"Boleh, kok, cuma aku sedang mau pergi sebenarnya"

"Oh, maaf kalau gitu. Aku ganggu, ya. Memang kamu mau kemana? Mungkin bisa aku antar atau temani?"

Gue melirik Aini yang masih berdiri disisi gue, "Aku sama Aini mau ke makam, kak"

Dia ikut melirik Aini dan membelai rambutnya. "Aku antar boleh?"

"Eh.. gausah, kak, nanti ngerepotin"

Ia menarik tangan Aini dan berjalan duluan. "Tenang saja"

Ia pun melangkah keluar. Gue hanya bisa menggeleng dan mengikutinya. Untung ada Mike, jadi gue gaperlu merepotkan mang Jaja deh. Kami pun pergi setelah berpamitan dengan mang Jaja dan mbok Sum.

Tiba di makam, sepi menyambut kami. Kami turun dengan Aini yang membawa bunga tabur dan gue yang membawa dua tangkai tulip merah. Kami berjalan dari parkiran hingga ke makam dimana jasad mama dan papa bersemayam dengan tenang dalam kesendirian. Gue duduk diantara pusara mereka dan membelai nisan keduanya. Nisan kedua orang yang amat sangat gue rindukan. Sosok yang sudah setahun ini meninggalkan gue untuk menghadapi sendiri kehidupan yang sesungguhnya bersama orang pilihan mereka. Orang yang sangat gue sayangi melebihi diri sendiri.

Gue meletakkan tangkai bunga di depan masing-masing nisan setelah mencium nisan mereka dengan air mata yang tergenang. No, gue gaboleh menangis dihadapan mereka. Gue harus kuat.

"Assalamualaikum, mah, pah"

Ingin sekali gue menceritakan segala liku kehidupan yang sudah kualami selama kepergian mereka. Ingin sekali gue menangis sesunggukan dan ditenangkan dengan belaian mama. Sayang, semua itu mustahil. Gue gamungkin curhat sekarang dimana ada Aini dan Mike yang akan menjadi saksi serta tak akan ada belaian hangat mama.

The Journey ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang