Tiga

1.9K 85 20
                                    

Gue berguling pelan di kasur karena merasa perut gue perih. Keringat dingin mengucur deras di seluruh tubuh dan wajah. Sakit sekali. Gue lupa bahwa hari ini gue belum sempat makan karena terburu-buru, sibuk, dan banyak pikiran. Astaga, ceroboh sekali gue sampai lupa menjaga kesehatan. Gue meringis pelan.

Gue berusaha bangkit namun kembali terjatuh. Nafas sudah mulai terputus-putus dan pinggang rasanya nyeri setengah mati. Apa waktunya udah tiba? Apakah gue bener-bener harus drop saat ini? Gue menggeleng dan berusaha menahan nyeri ini. Gue meraih nakas dan mencari tas obat namun tak menemukannya. I can't hold it anymore..

***

Bau ini..bau rumah sakit? Bau antiseptik yang menyengat. Tubuh gue rasanya sulit sekali untuk bangkit. Gue membuka mata perlahan dan merasa agak silau karena cahaya dari jendela yang cukup menyilaukan. Saat sudah membuka mata sempurna, gue membuktikan bahwa ini benar di rumah sakit. Tangan gue diinfus di sebelah kiri dengan dua kantung cairan sekaligus. Sebuah suara geraman frustasi membuat gue menoleh.

Atha sedang berdiri disana bersama seorang laki-laki, didekat pintu. Tubuh Atha menyamping dan tampak kusut. Apa dia sudah tahu kalau gue sakit?

"Prepare soon, Agatha. We have no time left. Soon or would be late"

Atha menggeram kesal, "Do your best, Jason. I'll do anything for her"

Air mata gue menetes mendengarnya. "Okay. I have to go now. Take care of her and call the nurse immeditealy if there is something happen"

Atha mengangguk dan laki-laki berjas putih tadi yang gue kira adalah dokter itu pun keluar. Sekarang Atha menutup pintu dan menghela nafas. Sepertinya ia belum menyadari kalau gue sudah sadar.

Atha beranjak menuju sisi tempat tidur gue. Ia segera menunduk dan menghela nafas lelah. Ia menggenggam tangan gue. Kasihan Atha. Gue genggam balik tangannya dan ia segera mendongak, kaget.

"Kamu udah sadar, Koc?"

Gue tersenyum, "Tha..khaa..mhuu--"

"Bentar, minum dulu"

Ia dengan sigap mengambil gelas berisi air mineral dengan sedotan dan menyodorkannya ke mulut gue. Gue berusaha sedikit bangkit agar tak tersedak yang dibantunya dengan menopang punggung gue. Setelah meminum habis isi gelas, gue kembali berbaring.

"Kenapa aku gatau kalau kamu sakit parah?"

Dia sudah benar-benar tahu. So, it's the time. Gue mengambil nafas pelan dan menatapnya lurus.

"Aku gamau buat kamu khawatir, Tha"

Atha menggeleng, wajahnya tampak frustasi. "Dengan ketidaktahuanku atas penyakit kamu ini, aku merasa jadi suami yang tolol. Kita hidup bersama selama 2 tahun and I never noticed!"

"Bukan salah kamu, Tha. Aku emang gak pengen kamu tahu dulu"

"Apa penyebabnya? Dokter bilang, ginjal kamu hanya satu akibat transpaltasi dan sekarang bermasalah. Kamu kemanain ginjal kamu? Apa kamu gatau kalau donor ginjal itu fatal?"

Gue mengangguk, "Udah saatnya aku cerita, kan?" Ia menatap gue, menunggu. "Well, 6 tahun lalu, tanpa sepengetahuan aku dan mama, papa sakit gagal ginjal dan menjalani operasi pengangkatan satu ginjalnya. Setahun berusaha hidup dengan satu ginjal, papa gak sanggup. Kerja satu sisa ginjalnya melemah dan membutuhkan ganti" Gue menatapnya lurus. "Kami sangatlah tidak ingin papa pergi meninggalkan kami lebih cepat dari yang tak pernah kami bayangkan. Kami berusaha mencari pendonor selama sebulan namun tak ada yang cocok dan keadaan papa semakin buruk. Mama sudah mencoba mengikuti tes untuk berusaha menolong papa, tapi ginjalnya tak cocok" Air mata gue menetes perlahan. "Akhirnya aku ikut menjalani tes juga dan hasilnya cocok. Mama menangis tak henti-hentinya atas permintaanku yang ingin menjadi pendonor papa. I'm just a 13 years old girl that day. Tapi aku meyakinkan mama dan menjalani operasi yang sudah kami pahami baik resikonya"

The Journey ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang