Satu

2.2K 84 6
                                    

Here we are. Di benua Amerika, negara bagian New York, kota New York. Salah satu kota terpadat di Amerika dengan dilengkapi markas besar PBB, patung Liberty yang merupakan simbol negara Amerika, dengan jembatan terkenal Brooklyn, dan dengan sebutan Big Apple.

Kota yang mana tak pernah gue kunjungi sebelumnya, sebelum Atha mengajak gue untuk menemaninya tes. Kota impian yang selalu gue impikan untuk menjadi tujuan wisata suatu hari nanti selain London.

Kenapa Atha harus memilih New York sebagai kotanya? Kenapa harus New York yang sama padatnya seperti Jakarta? Kenapa gak yang lebih beda seperti California? Kanada? Kenapa harus New York? Gue tak pernah mengetahui jawabannya karena pertanyaan tersebut tak pernah sampai padanya. Ya, memang tak 100% seperti Jakarta karena hanya sebagian kecil yang menggunakan kendaraan pribadi seperti mobil, mayoritasnya selalu menggunakan kendaraan publik. Tingkat kriminalitasnya juga rendah serta pendapatan perkapita yang tinggi. Bisa dikatakan cukup berbeda jauh, huh?

Atha kini sudah memasuki semester 2, duduk sebagai mahasiswa bisnis New York University dan ia mengambil double degree, jurusan teknik. Kece ya? Atha memang cerdas, dia hanya merendah saja selama ini. Gue saja tak pernah membayangkan untuk menjadi mahasiswi NYU, gue takut. Bagi gue, terlalu tinggi mempunyai impian untuk masuk disana. Gue sendiri pun sudah mulai membiasakan diri berteman dengan bule-bule cantik di sekolah baru gue.

"Assalamualaikum"

Gue yang sedang membuat jus buah pun menoleh melihat sosok Atha yang memasuki apartment. Well, ya, kami tinggal di apartment. Don't you think we could buy a house here, the price is so high. Kalau di Indonesia biasa harga apartmentnya sangat mahal, disini sebaliknya. Tempat ini saja sudah sangat nyaman dan bagus. Kesulitannya adalah hanya minoritas kaum muslim disini.

"Lagi ngapain, Koc?"

Gue membawa dua gelas jus buah ke meja, menghampirinya.

"Jus buah"

Ia langsung menerima dan meminumnya. Apartment ini hanya terdiri dari dua kamar tidur, mini kitchen and dining table, dan living room yang dijadikan ruang santai. Minimalis dan hangat.

Atha terlihat letih. Ya, dia kadang begadang karena membantu mengerjakan tugas kantor papa yang selalu dikirim email kesini. Dengan kata lain, Atha menjalankan perusahaan papa dengan jarak jauh. Wonderful, huh? Ia selalu mempunyai kelas pagi dan pulang malam karena kegiatan kampusnya. A busy boy? Namun gue tak pernah mempermasalahkannya selama ia masih memperhatikan kesehatannya.

"Ujian masih lama?"

"Iya. Kamu?"

Ia pun mengangguk. Tubuhnya luruh di sofa. Ia benar-benar letih, kasihan suami gue ini. Well, ya, hubungan kami semakin membaik semakin kesini. We're trying to be tough here. Gak mudah memang, tapi kami tetap mencoba. Dengan panggilan manis dan sopan, itu lebih baik.

"Gimana sekolah?"

Gue mengedikkan bahu dan memijat lengan Atha. Ototnya terasa amat kaku. Ia tersenyum. "Besok aku libur"

Gue menatapnya lurus, "Tumben. Bolos, ya?"

Dia menggeleng. "Dosen besok gak datang dan gak ada deadline tugas. Gimana kalau kita jalan?"

Gue tersenyum, "Aku sekolah, remember?"

Dia menghela nafas, "Aku jemput pulangnya"

Gue tertawa. Ia mengatakan menjemput seakan ia benar menjemputku dengan kendaraan. Ya, tentu kami mempunyai kendaraan; sepeda. Lucu? Entahlah. Kami tak berniat menambah polusi di kota bersih ini. Kami terlalu cinta lingkungan. Inilah hidup baru. Lagipula tak mudah memiliki kendaraan karena harus melewati proses dengan pihak berwenang mengingat passport kami masih student passport.

The Journey ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang