Irene mengamati kalung hitam di tangannya yang teracung tinggi. Menatapnya lekat-lekat dan menilai setiap sudutnya. "Biasa saja." batinnya. Irene mendudukkan dirinya setelah merebahkan dirinya diatas kasur empuk berwarna purple soft.
Tadi, secara tiba-tiba, halmoni penjual barang antik memberinya kalung hitam itu. Sisi antiknya benar-benar tidak ada. Ini hanya kalung biasa. Katanya sebagai balasan karena sudah berbaik hati kepada anak kecil tadi. Halmoni itu juga mengatakan, bahwa orang seperti dirinya sudah cukup limit di dunia ini. Karena bagi sebagian besar manusia, dirinya lebih penting daripada orang lain.
Bagi Irene, menolong adalah kewajiban. Karena manusia adalah makhluk sosial dan butuh bantuan orang lain. Mungkin tidak sekarang. Besok, lusa atau entah kapan. Irene selalu berpikir
"Aku menolong orang saat ini, aku tidak butuh balasannya sekarang. Nanti saja juga tidak mengapa, balasanya anak cucuku tidak akan kelaparan dan kesusahan itu sudah cukup."
Tiba-tiba, perkataan halmoni itu masih terngiang-ngiang di benaknya.
"Semoga saja, kalung ini bisa berguna bagimu suatu saat nanti."
Irene menghela napas lalu memakai kalung itu dilehernya. "Aku ga tau pasti kapan kamu bakal berguna. Tapi, semoga aja perkataan itu benar."
Irene melirik jam dinding dikamarnya. "Astaga!" pekiknya. "Bodoh! Kenapa bisa lupa begini!!??"
Irene berjalan cepat keluar dari rumahnya dan menyusuri tangga menuju lantai 2. Rumah dihadapannya begitu sepi. Selalu. Sebenarnya bangunan rumah sewanya memang sangat sepi.Lantai pertama-rumah sewa paling bagus- sudah 1 tahun ini kosong tidak berpenghuni. Penghuninya pindah ke Busan karena sudah menikah. Lantai kedua dihuni oleh anak anti sosial campuran Korea-Manchester bernama HeRin Seo.
Dan rumah sebelahnya di huni oleh Byun BaekHyun. Pemuda kelewat imut yang bekerja sebagai photographer disebuah studio photo terkenal di kawasan gangnam. Terkadang, pemuda itu sering pergi keluar negeri untuk menulis catatan perjalanan lalu diterbitkan. Sebenarnya, pemuda itu menyenangkan. Ia bisa membuat suasana bangunan ini hidup. Namun, sayangnya ia jarang dirumah. Dan jujur, terkadang Irene rindu dengan tetangganya itu. Mengetahui suasana segaring ini, tentu tetangga menyenangkan pasti dirindukan bukan?
Dan dilantai 3. Adalah rumahnya sendiri. Irene tidak punya tetangga samping rumah. Ia suka dengan tempat tinggalnya. Walaupun tidak terlalu besar, Irene punya jatah halaman luas dan bisa digunakan untuk bersantai melihat bintang. Kadang, Irene suka mengerjakan pekerjaannya di luar.
Irene memencet bel rumah HeRin Seo dengan hati-hati. Ia tidak pernah bertamu dengan gadis itu sebelumnya. Hanya kebetulan bertemu lalu menyapa. Sudah itu saja.
"Oh, Irene-ssi."
Irene menyukai HeRin Seo memanggil namanya. Logat Britishnya sangat kental dan enak didengar. Namun, Irene menyadari bahwa nada bicara HeRin terdengar lebih santai daripada tadi siang.
"Mianhae, aku sampai lupa kalau atasanku menitipkan sebuah novel untukku. Maaf menganggumu malam-malam begini."
"Ah, ga masalah. Sepertinya kau sibuk hari ini. Kau mau masuk, Irene-ssi?"
Tuhkan! Nada bicaranya lebih santai. Walaupun masih dengan kata-kata yang lebih formal. Irene menggeleng kuat.
"Ga perlu. Nanti aku bakal lebih ngerepotin kalau sudah masuk kedalam."
"Chankkaman."
HeRin masuk kedalam. Tidak berapa lama, ia kembali dengan sebuah amplop coklat yang menonjol karena didalamnya ada sebuah novel. HeRin menyerahkan amplop itu kepada Irene.
"Kamsahamnida, HeRin-ssi."
"Cheonmaneyo, Irene-ssi."
Sesampainya dirumah, Irene mengamati amplop tersebut. "Kenapa begitu besar dan lebar? Tidak seperti novel." pikirnya. Irene membuka amplop tersebut. Irene mengernyit. "Ini bukan novel. Ini,,, sebuah buku catatan?"
"Jadi, darimana kamu dapetin buku catatan ini?"
Irene membuat perjanjian mendadak dengan SuHo selaku atasannya dibidang penerbitan. Irene menuntut penjelasan pasti tentang buku ini.
Pasalnya, ini tidak biasa bagi Irene. Suho selalu mengirimkan naskah yang sudah berbentuk novel lalu Irene akan menerjemahkannya. Tapi saat ini, Suho malah mengirimkan buku catatan kelewat lusuh dan berukuran besar persis seperti yang ada di drama saeguk yang Irene tonton.
"Aku juga ga tau. Tiba-tiba, di depan rumahku ada paketan berisi buku ini. Sayangnya aku ga bisa mengartikannya sendiri. Ini bahasa Korea zaman Goryeo. Ya ampun aku nyesel banget ga belajar pelajaran itu." keluhnya. "Bahkan, tidak ada nama pengirimnya. Kau lihat kan di amplopnya? Aku bahkan belum mengganti amplop itu dengan amplop yang baru. Omong-omong, kamu udah baca belum?"
Irene menghela napas. Lalu menyeruput strawberry punchnya. "Belum."
Suho mengangguk. Gadis dihadapannya ini pasti kelewat bingung. Sampai belum membaca buku itu. "Tapi, kamu bisa bahasa Korea lama kan?"
Irene mengangguk. "Aku bisa. Aku pernah belajar. Walaupun zaman sekarang, bahasa itu gak pernah kepake. Ga nyangka juga sih bakal kepake juga."
"Ga salah ya, aku rekrut kamu jadi bawahan aku. Kamu emang berguna banget."
"Omong omong, kalau catetan ini selesai aku terjemahin, apa bakal di terbitin?"
Suho menggedikan bahunya. "Entahlah, aku aja gak tau isinya apa. Mungkin, kalau isinya bagus dan menjual bisa diterbitin. Tapi,,,"
Irene menunggu kelanjutan perkataan Suho. "Kenapa aku merasa bahwa pengirimnya ingin hanya kita saja yang tau tentang buku ini?"
Siapa nungguin Oh SeHun??
Ohoo.. Sabar yaa,, ini ada yang berisik sekali gegara sehunnya ga nongol nongol wkwkwk...
Kalo kalian ga bisa bayangin rumah Irene, rumah Irene persis sama rumah di
Revolutionary Love. Kebayang ga??
Sesungguhnya aku tidak PD dengan cerita tidak jelas ini..
Tapi thanks banget yang masih mau baca..
KEEP VOMENT OKEE
Aku tidak menyangka.. FF ini dapet rate -_-
KAMU SEDANG MEMBACA
When You...
Fantasy[[Update suka suka]] Ketika kamu dekat... Aku tau, aku akan baik baik saja... Ketika kamu jauh... Aku tau, aku merasa kehilangan Tetapi ketika kau semakin dekat.. Aku tau, itu hanyalah angan... Karena aku tau,,, Semakin dekat dirimu... Akan sulit me...