tiga

139 13 0
                                    

-3-

Kami telah memutuskan untuk melakukan penelitian di dalam kota, selain dari biaya yang akan bertambah, kami juga tidak mau mengambil resiko besar dengan apa yang akan terjadi disana.

" kita bisa mengunjungi beberapa rumah sakit disini." Marissa menggendong tasnya, clay memasukan semua buku yang ia pinjam dari perpustakan kemarin, aku yang mendengar pernyataan Marissa hanya mengangguk dan mulai berjalan keluar kamar.

Jam masih menunjukan pukul tiga pagi, jalanan sangat sepi, Clay yang duduk disampingku tertidur, Marissa yang duduk di bagian belakang sedang sibuk dengan handphonenya, mataku mulai terasa berat, aku tidak suka menyetir saat-saat jam tidur.

Tinggal beberapa meter lagi kita akan sampai ke sebuah rumah sakit ternama di London. Hanya tersisa satu belokan lagi, dan kita akan sampai. "ATHAYA!!" Marissa berteriak tiba-tiba yang membuatku secara refleks membanting stir ke sebelah kanan, dan setelahnya terdengar suara sesuatu terbanting.

"Kalian tidak apa-apa?" aku menatap clay dan marissa bergantian. Bersyukur tidak ada yang terluka diantara kami termasuk mobilku. "Suara apa tadi?" Tanya Clay kebingungan sekaligus kaget, nada bicaranya saja gemetar. "Biar aku yang periksa." Ucapku seraya melepaskan sitbelt dan membuka pintu.

Pertama, yang aku lihat saat keluar dari mobil dan berjalan kearah sebelah kiri mobil adalah seorang pria yang terkapar di aspal dengan darah yang berceceran dimana-mana, "Astaga, maafkan aku. Ini salahku." Gumamku seraya mendekatinya.

Saat tanganku terulur untuk membantunya, ia menoleh sehingga wajahnya terlihat dengan jelas. Ia memang seorang pria, dengan wajah yang pucat pasi, tangannya mulai mendekap tanganku yang sedetik kemudian, dunia berputar dengan sangat cepat.

****

Yang terakhir aku ingat adalah berada di jalanan berniat menolong seorang pria yang tak sengaja tetabrak. Tapi yang aku lihat saat ini adalah ruangan bercat putih bersih dengan berbagai macam furniture berwarna merah.

Mataku membelalak ketika seseorang menyodorkan segelas air putih kepadaku. Wajahnya sangat pucat, tidak berekspresi, seperti mayat hidup. Padahal, parasnya sangat cantik. Air putih yang telah ia berikan aku minum hingga setengahnya, tiba-tiba saja tenggorokanku menjadi kering.

"ahh, kau sudah bangun?" gelas yang ada di dalam genggamanku jatuh dan pecah saat tiba-tiba seorang pria muncul dihadapanku. "M-aa-af.." Gumamku seraya beranjak dan berusaha untuk mengambil serpihan beling.

"Tidak, kau diam saja. Biar pelayan yang membersihkannya." Pria itu menahan lenganku yang hendak mengambil serpihan. Beberapa detik kemudian, wanita cantik tadi datang dengan sapu di tangannya.

"Athaya meliana." Kepalaku mendongak ketika mendengar ucapannya, dari mana ia tahu? Pria tersebut menyeringai namun aku anggap itu adalah sebuah senyuman termanis dan terhangat sejak pertama kali ia berada dihadapanku.

"Ada yang ingin kau tanyakan?" Pria itu beranjak dari duduknya dan berjalan menuju jendela dekat dengan meja kecil dengan satu buah vas bunga merah. Sangat dramatis. Aku hanya bisa diam seribu kata, tidak ada bahan pertanyaan. Yang aku ingikan adalah pulang, mengerjakan tugas dari dosenku.

"Bawa aku pulang." Ucapku dengan suara agak gemetar. Pria itu berbalik dan tersenyum seraya berjalan mendekat, tubuhku terasa dingin tiba-tiba. Sejurus kemudian, ia menjulurkan tangannya. Dahiku berkerut tidak mengerti apa maksud dari semua ini.

"Sampai bertemu lagi di minggu yang akan datang." Pria tersebut meraih tanganku paksa dan dunia seakan berputar kembali. Sejurus kemudian, jiwa dan ragaku berada di jalanan menuju rumah sakit. Dan yang anehnya, tidak ada jejak apapun mengenai pria tadi. Bahkan ceceran darah yang sempat aku lihat sebelumnya.

LONDONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang