empat.

75 14 0
                                    


-4-

"Baik pak, kami sudah melakukan survei ke salah satu rumah sakit ternama disini........baik pak......iya saya mengerti....terimakasih pak atas usulannya. Selamat siang." Sudah sekitar satu jam akhirnya tombol merah pada telepon dapat ku pencet.

Aku menghembuskan nafas panjang saat melihat sekeliling. Berantakan. Semua buku terbuka bertebaran dimana-mana dengan beberapa kertas kecil di sekelilingnya. Aktivitasku terhenti ketika telepon bordering kembali. "Ahh...aku mohon." Berbagai kutukan keluar begitu saja dari mulutku ketika hendak menjawab telepon.

"Selamat siang"

"Selamat siang."

"Apakah saya sedang berbicara dengan nyonya athaya?"

"Ya itu saya sendiri, ada apa ya?"

"Beberapa surat dari kantor pos. Maafkan atas kelalaian para pekerja kami disini, hingga kami baru bisa memberikannya kepadamu setelah tiga hari pengiriman surat."

"Surat? A-a-...ku akan kesana sekarang juga."

Denga segera, kusambar jaket yang berada pada gantungan baju di dekat pintu utama dan berlari menuju arah tangga darurat sebab liv apartemen sedang diperbaiki saat ini.

"Bisa saya ambil suratnya sekarang?" Nafasku masih tersenggal-senggal, tapi aku memaksakan untuk berbicara saking tidak sabarnya. Pegawai tersebut segera mengeluarkan beberapa amplop merah dengan nama pengirim sama. Mataku membelalak ketika melihat surat-surat ini, terlalu banyak untukku.

Jantungku berdebar tak karuan saat selesai membaca semua surat ini, isinya sama. Antara ancaman, hinaan, dan keinginan. Dulu, surat-surat macam ini sangat didambakan.

Tambah mumet saja, semua ini hanya mong kosong. Banyak sekali kejadian-kejadian aneh akhir-akhir ini, mulai dari surat, tabrak lari, ruang putih, hingga anak kecil di rumah sakit. Aku butuh pencerahan, walau hanya sedikit. Ditambah lagi ibu tidak pernah menelpon ku lagi.

Mengingat hal itu, pikiranku menjadi kalang kabut, membentuk sebuah ilusi-ilusi negative memuakkan. Apa harus aku pulang terlebih dahulu? Masalahnya, teleponku tidak diangkat-angkat.

"Hey, ada apa?" Clay? Sejak kapan dia disini? Rambutnya acak-acakan, namun masih terlihat bermode di mata orang. Jaketnya tidak ia buka sama sekali, yang ada dia langsung menempati sofa "Eh, awas buku-bukunya." Entah mendengar atau tidak, dia tetap tidur di atas sofa dengan berbagai macam buku di bawahnya.

"Bagaimana kalau kita makan di luar? Aku sedang ingin pizza."

Orang-orang lebih memilih diam di dalam rumah ketimbang berjalan-jalan keluar. Kendati demikian, toko pernak-pernik selalu penuh, tepat diseberang toko tersebut kami berdua duduk memandangi orang-orang yang beralalu-lalang.

"Terlalu banyak surat hari ini." Clay tidak menanggapi, ia hanya memandangiku sebentar lalu kembali menyantap pizza miliknya.

Tiba-tiba saja, ingatanku melayang ke kejadian anak kecil yang sempat menarik-narikku. Reece. Kira-kira dimana ia tinggal? Apa dia masih mengingat namaku? Tidak, apa yang sudah aku pikirkan?

"Bagaimana keadaan Marrisa?" Akhr-akhir ini ia jarang terlihat, terakhir kali kami bertemu pada saat penelitian ke rumah sakit. Sebelumnya ia memang sempat mengatakan bahwa hari-harinya semakin sibuk, mungkin sibuk menyusun hasil penelitan kami? Tapi, jika memang seperti itu, dia pasti menelpon kami, menanyakan tentang data-data dan fakta.

"Ada baiknya jika kita menengok sebentar. Tiga hari ini belum ada kabar."

Aku sedikit khawatir, ditambah akhir-akhir ini semakin hari semakin banyak surat ancaman berbalut amplop merah. Clay tahu semuanya, aku bercerita. Reece, apa semua ini berhubungan dengannya juga?

LONDONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang