tiga

2.2K 152 10
                                    

Mobil yang di kendarai keluarga Ilham membelah di padatnya jalanan kota Jakarta. Ilham memandang ayahnya dari kaca spion yang mengenakan baju batik rapih dan disebalahnya Ada bundanya yang sama menggenakan batik yang sangat cantik.

"Ham," panggil Dila-bundanya.

"Iya bun?"

"Bunda gak sabar deh."

"Gak sabar kenapa? Ilham bingung deh. Kenapa Bunda ngajak Ilham pergi dengan pakaian seperti ini. Padahal bunda tau kan aku sebentar lagi skripsi...?"

"Sudahlah. Nanti kamu juga tau sendiri," timpa Yusuf-ayahnya.

Tak lama kemudian, Yusuf mengarahkan Ilham untuk berbelok masuk ke dalam perumahan. Mengatakan bahwa ia harus berhenti di rumah berwarna putih.

"Ini rumah siapa Yah?" Tanya Ilham setelah keluar dari Mobil.

Yusuf tak menjawab. Ia justru menggandeng tangan istrinya dan mengajaknya masuk. Ilham bingung, ia hanya mengekor dari belakang sambil melihat bangunan yang menurutnya sederhana tapi indah.

"Assalamualaikum," Yusuf mengetuk pintu rumah itu. Dan keluarlah sepasang suami istri yang mengenakan baju serba putih.

Ilham membisikan sesuatu di telinga bundanya. "Bun. Ibu itu kenapa mukanya di tutup?"

Dila tersenyum. Rupanya anak sematawayangnya ini tak tau apa-apa. "Itu namanya cadar Ham."

Ilham manggut-manggut. Dan mengikuti kedua orang tuanya masuk ke dalam rumah. Ilham takjub melihat isi rumah ini.

"Bagaimana?" Tanya ayahnya ketika telah menduduki sofa single.

"Dia telah menerimanya Yusuf," kata pria yang menggenakan baju putih.

"Alhamdullilah," ucap Dila. "Segera panggilkan dia Fatma. Aku sudah tak sabar."

Ilham semakin bingung dengan ke adaan ini. Di tambah dengan ke datangan wanita yang juga menggenakan cadar. Yang hanya terlihat ke dua matanya. Mata yang indah, batin Ilham.

"Ilham kenalkan. Dia Aisyah, calon istrimu," kata bunda.

"Hah!" Aku kaget. Bunda membimbing Aisyah mendekat kepadaku, dan membuka sedikit cadar Aisyah agar aku dapat melihat wajahnya. Bidadari, batinku lagi. Kemudian. Bunda menutup kembali cadar Aisyah dan menyuruhnya duduk di dekat kedua orang tuanya.

"Bagaimana nak Ilham," Tanya pria berpakaian putih yang tak lain adalah ayah Aisyah. "Dia Aisyah. Khansa Aisyah Putri."

"Ilham. Ini namanya proses ta'aruf." Ayah mengatakan itu kepadaku. Aku sepertinya tak asing dengan nama Aisyah. Ah! Apa dia Aisyah mahasiswi baru fakultas bahasa. Kalau iya. Berarti dia yang aku ajak kenalan kemarin. Tanpa pikir panjang aku mengatakan sesuatu yang membuat dua keluarga di Sana bahagia.

"Ilham mau yah!" Kataku lantang.

"Alhamdulilah," ucap mereka.

"Lalu. Bagaimana denganmu Aisyah. Aakah kamu menerima putra saya," Tanya Yusuf.

Bismillah, batin Aisyah. "Iya."

Semuanya mengucalkan syukur dan segera menetalkan tanggal pernikahan. Aisyah berpamitan masuk ke dalam kamarnya. Sesampainya di kamar. Ia merenung. Memikirkan ucapan Cinta kemarin.

Ilham suka mempermainkan hati wanita.

Kata-kata itu terus berputar di otak Ku.

"Tidak Aisyah. Kamu tak boleh berpikiran jelek tentang calon suamimu."

***

Sepulang dari kediaman Aisyah. Ilham berpamitan ke pada kedua orang tuanya untuk menemui para sahabatnya.

"Ham, tumben lo tadi gak ngampus?" Kata Yudis membuka topik.

"Tau nih, inget bentar lagi kita skripsi woy," ujar Fahri sambil menerima minuman kaleng yang diberi oleh Dion.

Kini, mereka-Ilham, Yudis, Fahri, dan juga Dion sedang berkumpul. Bukan berkumpul di tempat yang mewah, hanya di sebuah warung yang nyaman untuk dibuat santai sambil bercanda ria.

"Gue mau nikah." Setelah sekian lama terdiam, Ilham mengucapkan sepatah kata yang membuat teman-temannya tersedak.

"HAH!" kata mereka.

"Becanda lo gak lucu Ham. Kata lo mau ngedeketin cewek aneh di kampus yang pakai penutup muka." Dion memandang Ilham dengan artian meminta penjelasan.

"Justru. Itu cewek yang bakalan gue nikahin," jelas Ilham. Ia menyalakan satu batang rokok yang sedaritadi hanya ia pegang.

"Lah? Becandaan lo ga lucu hari ini ham," kata Yudis sambil menghembuskan asap rokok.

"Gue gak bercanda. Gue cabut." Ilham bangkit, sebelum itu ia mengatakan pada sahabtnya bahwa Lusa adalah hari pernikahannya.

***

Semua Karena AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang