03

138 15 0
                                    

Kini, aku tidak berbeda dengan Lee Yoora.


Hampir semalaman, aku tidak tertidur. Hampir semalaman juga, aku hanya sibuk menangis. Lagipula, jika difikir. Memang apa yang bisa dilakukan arwah sepertiku, selain terdiam meratapi nasib? Berharap Tuhan kembali menarik arwahku ini masuk ke dalam tubuhku yang terlihat sangat lemas tak berdaya itu, ini lebih menyebalkan dibanding harus menghadapi sikap kekanakan dari Lee Yoora. Yang benar saja, aku bahkan tidak dapat menyentuh siapapun. Aku ingin memeluk Ayah, aku ingin menghapus air mata Ibu.

Tapi, mau bagaimana lagi?

Kini aku benar-benar berbeda dari mereka, tidak sama lagi. Kini aku merasa seperti berada dijarak yang sangat jauh, padahal mereka selalu berada didepan mata. Melihat Ibu yang tidak menyerah memanggil namaku, sekarang aku mengerti. Bahwa Ibu memang menyayangiku, hanya saja caranya yang berbeda. Mungkin ia sedikit kecewa padaku, yang terlalu menurut dan selama ini hanya dapat mengabulkan keinginan Ayah. Atau mungkin.. kegiatan menikmati acara televisinya selalu terganggu karnaku?

Ini menyebalkan, demi Tuhan. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, aku ingin kembali menangis. Jika saja Yoora tahu, pasti ia akan menertawaiku karna terlalu sering mengatakan dirinya itu gadis 'cengeng'. Karna memang, saat ini aku bahkan terlihat seperti dirinya. Lee Yoora, apa yang sedang ia lakukan saat ini disekolah? Apa dia tahu mengenai diriku? Apa.. dia tidak peduli padaku? Sepertinya, karna memang aku terlihat seperti sahabat yang buruk untuknya selama ini.

"Bibi!" Mataku yang terasa sedikit bengkak, kini samar-samar melihat seseorang dengan rambut yang dibiarkan tergerai bebas. Gadis itu terlihat semakin manis dengan hiasan pita dirambutnya, akan tetapi terlihat sedikit buruk dengan banjiran air diwajah.

"Yoora-ya.." Lirihku menatap sosok Yoora yang mendekat ke arah Ibu, kemudian memandangi tubuhku dengan aliran air mata yang terlihat semakin deras.

"Sungrin-ah, mengapa kau tidak masuk hari ini? Aku mencarimu, mengkhawatirkanmu." Ya, Lee Yoora. Aku mendengarmu disini, aku bahkan menyaksikan dirimu. Air mataku kembali menetes, peristiwa ini membuatku menemukan sosok diriku yang lain. Aku ternyata tidak beda dengan Yoora, aku mudah sekali menumpahkan air mata sejak kemarin.

"Yoora, darimana kau tahu?" Kulihat Ibu berucap sembari menghapus jejak air matanya, ia sama sekali tidak melepas tautan tangannya pada tanganku. Seandainya aku dapat merasakan sentuhan hangat Ibu, pasti itu akan terasa lebih baik. Setidaknya, akan mengurangi tumpahan air mataku hari ini.

Kulihat Yoora hanya terdiam, namun tak lama gadis itu tersenyum. Kemudian menggeleng, Ibu hanya diam dan kembali menatapku. Apa-apaan dia? Apa itu pantas dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan Ibu? Aish, bahkan disaat diriku sudah menjadi arwah. Dia tetap berhasil membuatku penasaran. Aku harap Tuhan dapat segera menarikku ke dalam tubuhku sendiri, agar segera menarik ujung rambut gadis manis itu karna telah membuatku selalu merasa penasaran.

"Bibi, membawa banyak camilan. Itu.." Ujar Yoora menatap camilan didalam kantung yang terletak dinakas. Ya, sebenarnya aku juga tertarik dengan hal itu. Aku menunggu seseorang mewakilkan pertanyaanku, dan syukurlah Lee Yoora ternyata memiliki pemikiran yang sama denganku.

Ibu terlihat menarik nafas, kemudian menatap camilan milikku dengan tatapan sendunya. Lantas Ibu pun berucap, "Aku berharap ia segera membuka mata, setelah tahu keberadaan camilan didekatnya saat ini." Demi Tuhan, aku tidak tahan lagi. Aku segera bangkit berdiri, kemudian berniat keluar. Dan syukurlah, seorang perawat datang. Hal itu tentu saja membuatku tidak menyia-nyiakannya, segera aku keluar dari ruangan yang membuatku merasa sesak didada jika membiarkan diriku berada didalam selama mungkin.

Namun, detik berikutnya. Aku merasa sangat menyesal karna telah memutuskan untuk keluar dari dalam sana, tubuhku gemetar dengan bola mata yang membulat. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan saat ini? Begitu banyak sosok menakutkan disini, entah dari sisi manapun. Semua begitu menakutkan, hingga tubuhku kini terasa kaku untuk sekedar menghindar dari mereka. Ya, jumlahnya lumayan banyak. Dan semuanya terlihat menatapku dengan tatapan lapar, seakan aku baru saja membuat masalah pada mereka.

Perasaanku kalut sekarang, tidak ada yang bisa kulakukan selain berteriak sekencang-kencangnya. Namun, hal itu terlihat tak merubah apapun. Karna nyatanya, kini salah satu dari mereka justru menerjang tanganku. Hal itu semakin membuatku takut, dan tanpa ragu semakin memekik kencang. Aku tidak pernah membayangkan hal ini didalam hidupku, bahkan hanya untuk dijadikan sebuah mimpi. Aku bahkan tidak pernah berfikir bahwa diriku akan menjadi arwah seperti ini. Tidak pernah.

"Menjauh darinya!" Kurasakan tubuhku yang gemetar dengan keringat dingin ini, sedikit menghangat. Sesuatu sedikit membuatku tenang, namun tidak sepenuhnya. Karna dengan tiba-tiba tubuhku tertarik dan kakiku pun ikut melangkah dalam kecepatan yang begitu cepat. Hah, aku bahkan tidak pernah mengira bahwa diriku memiliki kecepatan lari yang lumayan bagus.

Aku tidak tahu apa yang terjadi, karna memang aku memutuskan untuk memejam setelah tanganku berhasil digenggam oleh salah satu dari mereka yang begitu menakutkan. Nafasku terasa memburu, keringat terus membanjiri tubuhku. Aku tidak tahu harus lakukan apa? Selain berdiam diri, membiarkan sesuatu menopang sekaligus menghangatkan tubuhku yang terasa dingin akibat keringat dingin. Sungguh, yang tadi itu benar-benar menakutkan. Aku bahkan tidak perduli dengan keadaanku saat ini. Ya, aku kembali menangis.

"Hiks, Ayah.. aku hanya ingin Ayah." Ujarku dengan tubuh yang semakin bergetar, aku semakin memejam juga mencengkram sesuatu. Aku tak dapat mengontrol diriku sekarang, karna bayang-bayang wujud mereka yang terlanjur terekam difikiranku.

Sedetik kemudian dapat kurasa punggungku terusap lembut. Menyalurkan ketenangan yang luar biasa, aku bahkan kini dapat mengatur nafasku dengan benar. Aku hampir saja larut dengan ketenanganku, kini sebagian fikiran jernihku membuatku tersadar. Ketenangan yang kubuat bukanlah berasal dari diriku sendiri, bahkan kini aku dapat menyimpulkan dengan sangat baik. Tubuhku yang kini telah terasa hangat, bukan sepenuhnya berasal dari diriku sendiri.

"Siapa kau?!" Tanyaku langsung setelah berusaha menarik tubuhku yang terasa lumayan lemas, namun kini kembali terasa gemetar ketika irisku tengah bertatapan dengan sepasang netra yang berada tepat didepanku saat ini.

"Aku.. sama sepertimu. Aku berbeda dari mereka." Kulihat ujung bibirnya terangkat, disusul dengan kedua matanya yang perlahan membentuk eyes smile. Aku terdiam, membiarkan kedua tanganku memeluk diriku sendiri. Melangkah mundur secara sadar atau tidak sebanyak dua kali, kemudian kembali menatap sosok yang berada dalam jarak dua langkah dariku saat ini.

"Aku.. Park Jimin." Begitu banyak air mata dan keringat yang keluar dariku hari ini. Namun melihat senyum lelaki didepanku saat ini, haruskah aku membalasnya dengan hal yang sama juga? Haruskah aku mempercayai kalimatnya itu? Bagaimana jika ia hanya menipuku saja? Bagaimana jika ia telah bekerja sama dengan mereka semua?

Jadi, aku harus apa?

























tbc.




welkom maret~

i know his as ghostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang