07

66 10 4
                                    

Aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan saat ini? Jika saja aku tahu keadaan diluar ruang rawatku dimalam hari sangat menakutkan, diriku pasti akan lebih memikirkan dalam jangka waktu yang cukup lama. Namun, begitu mengingat diriku yang tidak memiliki kegiatan lain didalam sana selain terdiam menatap tubuhku sendiri. Bayang-bayang wajah Park Jimin tiba-tiba saja terlihat, kemudian muncul selama beberapa kali atau bahkan per detik. Bukan hanya itu saja, memori lain yang tersimpan diotakku ialah wajah-wajah sendu para teman-temannya tadi pagi.

Ingin rasanya aku meneriaki nama Park Jimin, tetapi ketika sepasang netraku menangkap senyapnya suasana rumah sakit dimalam hari. Jika diwaktu itu, aku dan Park Jimin terlibat dengan makhluk-makhluk menakutkan saat pagi hari. Lalu, bagaimana dengan diriku saat ini yang hanya seorang diri berada digelapnya malam? Meskipun aku tahu, seluruh permukaan tubuhku kini nampak lebih bercahaya berada dalam koridor rumah sakit yang terlihat lumayan gelap. Tentu saja, kini aku tengah memikirkan hal selanjutnya yang akan kulakukan. Mustahil rasanya jika aku tidak melakukan apapun, setelah tidak memikirkan resiko yang bisa saja ku alami saat ini.

Namun, lagi dan lagi aku selalu ingat Lee Yoora. Kalimat gadis itu yang secara terang-terangan mengatakan diriku yang munafik, selalu ada disetiap keadaan atau pun suasana semacam ini. Ya, Lee Yoora. Aku bahkan bukan sekedar munafik, kufikir kini diriku tengah mencoba menjadi pahlawan kemalaman. Disaat seperti ini, fikiranku bertarung tiba-tiba. Membuatku semakin bingung dan kalut, bagaimana jika aku tidak sanggup? Dalam hal, melihat mereka saja membuatku sulit bernafas. Dan, saat ini aku seorang diri. Bagaimana jika mereka berniat buruk padaku, kemudian tidak ada yang tahu?

Aku ingin mati saja. Keringat dingin membanjiri seluruh tubuhku, entah apa yang terjadi diujung sana. Hembusan angin yang begitu terasa, membuatku tubuhku nyaris bergetar. Aku ingin berteriak, saat kini sesuatu muncul dari sana. Nampak bercahaya, sangat. Demi Tuhan, aku mengutuk diriku yang selalu saja terjebak dalam rasa penasaran. Aku, tidak tahu apa yang harus kulakukan? Namun, sebagian akal sehatku membuatku berfikir untuk tetap berjaga-jaga. Tanpa sadar atau tidak, kini diriku telah mengambil posisi persis seperti atlet tinju. Ya, aku tidak bisa bayangkan. Betapa panik dan gilanya diriku, malam ini.

Jika aku tahu, apa yang kulakukan kini tengah mengundang humor sosok semacam diriku. Ini menyebalkan. Demi Tuhan, aku ingin meninju sosok itu saat ini juga. Emosiku semakin memuncak tatkala mendengar tawa kerasnya menggema disepanjang koridor, meskipun aku tahu hanya yang semacam diriku saja yang mendengarnya. Kedua tanganku yang telah bersiap sedari tadi, kini terlihat gemetar. Mataku menatap tajam sosok itu yang berhenti dengan sikapnya yang menjadi penyebab diriku malu setengah mati, aku frustasi. Ya, aku tidak dapat mengontrol diriku. Hingga pada akhirnya, senyuman sosok itu meluntur ketika salah satu tanganku sukses melayang tepat pada salah satu pipinya.

"Ya! A-pa yang kau lakukan?" Ia terlihat tak terima, persetan dengan itu. Aku lebih tidak terima, diriku kini semakin kacau. Ia tidak mengerti bagaimana paniknya diriku, ia tidak tahu bahwa aku adalah seorang pengecut.

Aku maju selangkah, dan kini membuat kami dalam jarak yang begitu dekat. Kutatap matanya dengan kedua mataku yang terasa perih, kedua tanganku masih setia mengepal. Aku masih belum bisa mengontrol diriku, perasaanku bercampur aduk. Dan hal itu yang menyebabkan diriku terlihat kacau saat ini, sosok didepanku terlihat masih tak terima dengan sikapku barusan. Aku menelan ludah, perlahan kurasa tubuhku yang gemetar. Ia terlihat bingung, melihat diriku yang masih menatapnya tajam namun dengan beberapa tetes air mata yang tiba-tiba mengalir.

"K-kau kenapa?" Ia bertanya dengan dirinya yang terlihat tidak lagi mempedulikan rasa sakitnya, seolah lupa dengan perlakuanku tadi padanya. Ia kini menyentuh kedua bahuku yang kurasa sendiri sudah gemetar sedari tadi.

Aku tidak menjawab, diriku masih saja setia menatapnya seolah mengirim rasa emosiku yang menyulut padanya. Biar saja, aku tidak peduli dengan pertanyaannya itu. Yang kupedulikan saat ini adalah, harga diriku. Ya, ia adalah penyebab diriku mengambil posisi layaknya atlet tinju. Dia juga yang membuat emosiku menyulut dengan tawa kerasnya, karna tak sengaja menatap posisiku yang terlihat memalukan tadi. Karnanya juga, kufikir dia adalah kelompok dari makhluk-makhluk menakutkan itu.

Dia, Park Jimin.

"Tidak apa-apa, ini tidak sakit. Kau tidak perlu merasa bersalah." Ujarnya lembut, membuatku melepas kepalan dikedua tanganku. Kalimatnya barusan, seakan membuatku lupa terhadap kekesalanku kepadanya. Aku larut dalam ketenangan yang perlahan tercipta, namun juga merasa bingung. Mengapa Park Jimin selalu punya cara dalam mengusir emosi dan kekalutanku?



































tbc.

welkom juli~

i know his as ghostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang