04

116 11 1
                                    

Kufikir, apa yang kulakukan itu benar.

Aku berlari secepat mungkin, tetap mengatur nafasku yang terasa sesak. Ini benar-benar melelahkan sekaligus menyebalkan, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selain melarikan diri. Jika saja aku masih berada didalam tubuhku sendiri, dapat kupastikan bahwa diriku ini telah tidak sadarkan diri. Yang benar saja, aku bahkan belum sempat mengisi energi. Semalaman sibuk membuang tenaga dengan terus menangis, kemudian dilanjutkan dengan olahraga pagi. Hah! Kegiatan menjadi arwah lebih melelahkan dibanding kegiatan manusia.

"Ssh.. difikirnya aku ini atlet lari?" Merasa situasiku sedikit dapat teratasi, berbeda dari beberapa detik yang lalu. Kini, aku kira sudah tidak ada yang mencoba untuk mengejar atau menyerangku. Aku bahkan jadi lupa, sebenarnya ini dunia seperti apa? Aku jadi merasa seperti didalam dunia game, jika saja aku tahu siapa yang mengendalikan karakterku. Akan kujamin keselamatannya dalam tanda kartu kuning.

Aku masih sibuk mengatur nafas, bahkan sampai melupakan dimana keberadaanku sekarang. Namun, aku tidak masalah. Jika difikir, kondisiku saat ini memang sedikit lebih baik daripada yang tadi. Namun yang mengganggu adalah, aku jadi sedikit sulit mengatur dimana aku ingin mengambil tempat istirahat. Tidak ada celah disini untuk sekedar menaruh bokong, suasanya terlihat begitu sepi. Dan.. mengapa begitu banyak kain putih terpampang jelas diatas ranjang pasien?

"Tidak mungkin." Gumamku pelan, sangat pelan. Mendadak kurasakan, tenggorokanku kering. Jadi, mustahil rasanya jika kembali menggemakan suaraku lagi. Tiba-tiba saja, aku menjadi lupa bagaimana mengontrol nafasku yang kini kembali memburu.

Pemikiranku salah, menjauhi mereka ternyata tidak semudah yang kukira. Bagaimana bisa? Aku terjebak disituasi yang hampir sama? Bahkan dikatakan lebih dari yang pertama. Bola mataku hampir saja keluar, menatap beberapa cahaya putih mirip denganku terbangun dari masing-masing ranjang yang tertutup rapat oleh kain putih itu. Tadinya memang tidak semua, namun ketika mereka semua memutuskan untuk bangkit kemudian melangkah mendekat. Hal itu semakin membuatku, kalut. Dengan sangat menyesal. Aku menyadarinya bahwa, aku berada ditempat yang salah.

Aku melangkah mundur semampuku, aku bahkan tidak dapat merasakan kedua kakiku yang menapak. Mereka semakin mendekat, dan hal itu tentu saja membakar keyakinanku untuk tetap dalam pendirianku agar mampu menghadapi mereka. Tidak, kufikir ini bukanlah adegan film-film. Dan tentu saja, aku bukan artis yang pandai berakting mengikuti alur cerita. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya terhadapku.

"Ck, mengapa kau suka sekali dekat-dekat dengannya?" Dapat kulihat sosok berdiri didepanku secara tiba-tiba. Kedua tangannya terentang, aku tidak tahu apa tujuannya. Yang kufikirkan kini adalah diriku sendiri. Namun, aku tidak ingin melakukan hal yang sama. Ya, cukup sudah aku meninggalkannya tadi ketika aku melihat sosok-sosok mengerikan itu berada didekat kami. Pada intinya, aku tidak akan membiarkan dia sendirian menghadapi mereka. Meskipun aku tahu dan paham, aku ini sangat takut pada mereka.

"Apa yang kau tunggu? Cepat, pergi!" Kudengar dia sedikit berbisik mengatakan hal itu padaku, aku menatapnya yang sedikit menoleh ke arahku. Aku menggeleng, sejujurnya itu diluar dugaanku. Aku tidak tahu untuk apa aku menggelengkan kepala, padahal diriku sendiri benar-benar sedang kalut.

"Kau, pergi atau tidak?!" Demi Tuhan, aku ingin menangis lagi. Dia meluncurkan kalimatnya dengan nada tinggi, dan hal itu sukses membuatku semakin panik. Namun, aku hanya diam dengan kedua kakiku yang gemetar hebat.

"Apa yang kau lakukan, sih?!" Dia membalik tubuhnya, dan kini telah sepenuhnya menghadap ke arahku.

"A-ku.. tidak bisa." Ujarku semampunya, kini aku benar-benar merasa tenggorokanku telah sangat mengering. Ia terdiam, menatapku. Tatapanku beralih pada yang lain, tepat dibelakangnya. Aku mulai panik lagi, merasa harus ada yang kulakukan untuk melindungi kami.

"Aku membutuhkanmu." Ujarku selanjutnya tanpa sadar kemudian menarik lengannya, membawa kami berlarian. Lagi.

Aku tidak bisa berfikir jernih, yang kufikirkan kini hanyalah keselamatan arwah kami. Jangankan untuk menatap mereka, membayangkan akan bertemu dengan mereka saja aku tidak bisa. Bagaimana bisa? Mereka ada dimana-mana, hal itu sukses membuatku gila. Satu hal yang teriang difikiranku ialah, kapan semua ini berakhir? Aku lelah.

"Tunggu." Aku berhenti, kemudian menoleh menatapnya yang tiba-tiba saja mengintruksi langkahan kami.

"Mengapa kau lakukan itu?" Raut wajahku berubah, aku tidak mengerti dengan pertanyaannya. Ah, jangankan untuk itu. Untuk mengatur nafasku saja kini sulit. Bagaimana bisa ia mengajukan pertanyaan disaat-saat seperti ini?

"Kau bisa meninggalkanku sebelumnya. Lalu mengapa tadi, tidak?" Tambahnya, kulihat dia menatap tautan tangan kami. Saat itu juga, aku melepas genggaman kami, karna memang aku yang menggandengnya tadi.

"Mau kabur lagi?" Dia bertanya ketika kini tubuhku tidak lagi menghadap ke arahnya, aku hanya diam dan melangkah pelan. Tidak berniat menjawab atau semacamnya, karna memang aku tak ingin. Apa ia tidak dapat membaca raut wajahku yang terlihat menyedihkan? Persis seperti habis mengalami trauma berat.

"Kau ini.. tidak beda dengan Min Yoongi, ya." Biarkan, biarkan saja. Toh, diriku juga tidak kenal siapa yang disebutkan olehnya.

"Jadi.. kau meninggal karna apa?" Refleks, diriku menoleh setelah sempat berhenti melangkah begitu saja. Dia ini..

"Eh? Salah?" Aku mendecih, kurasa dia tidak dengar. Karna memang decihanku keluar ketika diriku kembali membalik tubuh.

"Baiklah, jadi.. kau penunggu ruang apa?" Sialan. Dari kalimatnya barusan, secara langsung atau tidak. Ia baru saja menyamakanku seperti mereka?

"Atau.. kau sama sepertiku?" Aku yang tadinya kembali melangkah, lantas berhenti lagi untuk kedua kalinya. Aku memejam sejenak, sekilas aku menyimpulkan ia mirip dengan Lee Yoora. Banyak bicara.

"Apa kau.. pasien yang sedang mengalami masa koma, sama sepertiku?" Hatiku mencelos, itu hanya kalimat pertanyaan biasa. Namun entah mengapa? Aku menjadi sedikit sensitif terhadap bagian dari kalimatnya. Kenyataan memang seperti itu, kenyataan memang membuktikannya seperti itu. Kenyataan membawaku menjadi arwah seperti saat ini.

"Kuharap, dokter berbohong pada kita mengenai masa koma yang sedang Sungrin alami."

Aku menarik kemudian membuang nafasku perlahan, mengepalkan kedua tanganku kuat-kuat. Aku berharap tidak lagi menangis, karna aku sudah cukup lelah. Niatku hanya untuk membalas kebaikan lelaki dibelakangku saat ini, yang telah mencoba menyelamatiku sebanyak dua atau bahkan tiga kali. Harapanku tandas, kufikir kali ini air mataku akan bosan untuk terus mengalir. Namun, ketika gambaran keadaan Ayah dan Ibu saat itu terbayang. Aku menjadi tidak sekuat dengan apa yang kuinginkan.

"Y-ya." Ujarku dengan nada suara gemetar.

Walaupun kini diriku bukan manusia, tetapi aku pernah menjadi manusia. Wajar rasanya jika arwah semacamku, banyak menumpahkan air mata.

























tbc.














Welcome april~

i know his as ghostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang