08

55 7 0
                                    

Kufikir kau hantu.




















Aku menelan ludah, peristiwa tadi membuat lidahku kelu. Padahal, telingaku hingga saat ini terus saja mendengar ocehan Park Jimin. Aku tidak tahu mengapa? Yang kurasa saat ini adalah, aku sangat malu. Tawa keras Park Jimin masih saja menggema ditelingaku, kukira dia akan berhenti melakukan itu. Karna demi apapun, ternyata ia lebih menyebalkan dari sikap Lee Yoora yang kekanakan. Ia begitu cerewet, bahkan melebihi Ibu yang suka sekali mengoceh jika menonton acara televisi. Rasa-rasanya aku ingin sekali bicara pada Ibu saat itu, untuk berhenti memberi komentar atau pun bertanya-tanya seorang diri.

Aku merasa kasihan. Ya, bagaimana tidak? Posisinya aku selalu berada disamping Ibu, tetapi Ibu selalu enggan bicara mengenai itu semua padaku. Alasannya, aku tidak akan nyambung padanya. Sejujurnya memang begitu, tetapi tetap saja. Setidaknya jika Ibu tetap bicara, maka aku pasti akan dengarkan. Walaupun aku tidak mengerti sama sekali. Hah, aku jadi muak dengan diriku sendiri. Aku rindu Ibu. Kulirik Park Jimin yang kini memilih terduduk tepat disampingku, ia terlihat sibuk mengatur nafasnya akibat terlalu lama tertawa. Ya, rasakan itu.

"Ya, kau ini lucu sekali sih." Ia bergumam dengan jari telunjuknya yang mengetuk-ngetuk punggung tanganku. Aku hanya diam, kemudian menarik tanganku hingga membuat jari telunjuknya berhenti bergerak.

"Jadi, kau sangat marah padaku?" Segera kubuang wajahku ke arah lain, ketika kini Park Jimin terduduk tepat didepanku dengan senyumannya yang terlihat lebar. Aku menggigit bibir dalamku, demi Tuhan ia benar-benar mirip dengan Lee Yoora. Sama-sama menyebalkan, dan menggemaskan.

"Kau kira aku ini mereka, ya?" Ia bertanya dengan nada bicara yang dibuat-buat, sukses membuatku mual. Namun tetap, aku masih diam. Memang, apalagi yang harus kulakukan? Karna sejujurnya, aku tidak tahu apa yang terjadi padaku saat ini. Aku seakan sedang menahan sesuatu didalam diriku, bayang-bayang garis senyumnya itu terlintas. Membuatku sulit untuk berucap. Demi Tuhan, ini menyiksa.

"Omong-omong, aku belum tahu namamu." Ucapnya, yang lagi-lagi direspon keheningan. Suasana malam hari dikoridor rumah sakit ini, begitu sunyi. Namun tidak menenangkan, karna Park Jimin yang rupanya belum menyerah untuk tidak bicara.

"Ya, tidak adil rasanya. Kau tahu namaku, dan aku-"

"Dari awal aku juga tidak ingin tahu." Baiklah, kuharap ini akan menjadi akhir bagi Park Jimin untuk berhenti bicara. Kepalaku benar-benar pusing, kuharap ia mengerti dengan keadaanku saat ini. Karna, aku masih marah padanya. Yang tadi itu begitu memalukan.

"Benar juga." Gumamnya yang mau tidak mau kudengar, karna keadaan yang begitu sepi. Jadi, jika saja aku menutup telinga rapat-rapat. Pasti tetap akan dengar.

"Yasudah, aku yang ingin tahu. Bagaimana?" Saat itu juga aku menoleh, dan dengan terpaksa mempertemukan mata kami.

"Aku ingin tahu namamu." Ujarnya lagi dan dengan nada bicara yang lembut, aku hanya diam. Tubuhku jadi kaku, sama halnya dengan tatapanku yang kini semakin terpaku padanya. Namun, itu tidak berlangsung lama. Aku teringat dengan hal tadi pagi, mengenai kedatangan teman-temannya itu. Hah, gara-gara dia. Aku jadi melupakan tujuanku keluar ruangan.

"Tadi pagi, teman-temanmu datang." Ucapku, kulihat perubahan air mukanya. Ada apa? Apa aku melakukan kesalahan? Ekspresinya kini terlihat begitu berbeda dari beberapa menit yang lalu.

"Aku tahu." Aku membenarkan posisi dudukku, kemudian menatapnya dengan wajah yang entah mengapa terasa sedikit menegang.

"Kau tahu? Tetapi, aku tidak lihat kau disana." Ujarku cepat, tak lupa setia menampilkan mimik wajahku yang terlihat begitu tegang. Tak lama, aku merasakan sesuatu didalam diriku. Tepatnya, didalam perasaanku sendiri. Entah mengapa? Inilah yang membuatku lebih suka membisu jika bersama makhluk Tuhan didepanku saat ini, haruskah? Kuladeni ia? Menatap ekspresinya yang begitu menjengkelkan itu, membuatku malas untuk kembali bicara.

"Eoh? Jadi.. kau menguntit?" Tanyanya menyolek daguku, aku sempat terkejut. Bahkan dapat kurasa diriku semakin menegang, yang dilakukannya itu benar-benar mengejutkanku. Lagi-lagi Park Jimin semakin membuat dirinya terlihat menyebalkan dimataku.

"Sebelumnya kau seakan tak mengenalku, kau seakan benar-benar tak mengenal para idol dinegara sendiri. Dan, sekarang. Kau jadi begitu penasaran mengenaiku, itu.."

"Aku kasihan pada teman-temanmu, juga para penggemarmu." Potongku begitu saja, dan kali ini sukses membuatnya diam.

"Aku memang tidak mengenalmu, bahkan teman-temanmu. Lebih tepatnya, aku tidak seperti para penggemar remajamu." Lanjutku, kulihat ia menelan ludah. Aku tidak tahu apa yang ada difikirannya mengenaiku, namun aku tahu ia pasti sedang berencana untuk mengejekku lagi. Tenanglah Park Jimin, aku sudah biasa dengan hal itu. Karna memang kenyataan, aku tidak mengenalmu.

"Aku paham dengan Kim Jong In, itu karna temanku yang begitu mengidolakannya. Yang kutahu hanya dia." Tutupku pada akhirnya, kudengar ia menghela nafas. Ada apa dengannya?

"Tapi, sekarang kau sudah mengenalku juga." Ujarnya penuh percaya diri, aku tersenyum masam.

"Ya, aku mengenalmu. Park Jimin, sebagai hantu atau arwah sepertiku. Bukan seorang idol." Ujarku dengan salah satu sudut bibir yang terangkat, sukses melunturkan senyumannya itu.

Maafkan aku, kufikir kau telah kecewa. Ya, sepertinya benar. Itu terlihat sangat jelas diwajahmu, tetapi percayalah. Kenyataan memang begitu menyakitkan, bahkan hingga kini aku sendiri masih sulit menerima kenyataan hidupku. Menjadi arwah sama seperti dirimu, Park Jimin. Aku tahu, ini terdengar kasar. Bahkan, mengatakan kalimat barusan padanya. Hal itu seakan menusuk diriku sendiri, karna kenyataan kalau kita sama.



























tbc.


welkom agustus~

i know his as ghostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang