06

83 10 0
                                    

Sepertinya dia belum tahu namaku.

----















Sejak peristiwa itu, aku memutuskan untuk tidak akan menampakan diri didekatnya lagi. Kufikir ada keuntungannya menjadi arwah, karna di film-film. Bukankah arwah itu mudah menghilang dan berpindah tempat tanpa ada yang tahu bagaimana ia pergi dan dengan cara apa? Tetapi, kini yang kualami sangat jauh dari semua itu. Ya, aku seperti menjalani kehidupan menjadi manusia. Bedanya adalah, aku tidak dapat berkomunikasi dengan manusia. Karna memang itu bukan hal yang biasa, kecuali memang manusia itu memiliki kekuatan spiritual lain.

Hari ke hari kulewati, ini sudah lewat dari satu minggu. Dan keadaannya masih sama, aku bahkan hampir saja merasa mati karna bosan menatapi tubuhku yang ternyata masih saja betah berada diatas ranjang. Aku bahkan hampir lupa cara makan, jika saja tak ada satupun manusia yang hadir menemaniku diselipi dengan kegiatan makan mereka. Biar aku koreksi, bukan menemaniku. Tapi, menemani tubuhku. Ah, menyedihkan sekali. Ingin aku keluar dari dalam ruangan ini, akan tetapi bayang-bayang peristiwa minggu lalu selalu teriang. Jadi, inilah sebabku setia menunggu nasib baik datang.

Aku bisa mati atau tidak? Jawabannya sudah ku ketahui, aku dapat kembali atau tidak? Jawabannya itu seperti teka-teki menurutku. Aku rindu Ayah, aku juga ingin memeluk Ibu yang tiada pernah henti memelukku setiap hari. Apa Ibu tahu? Jika sebenarnya sia-sia ia memeluk tubuhku, karna sejujurnya yang merasa dingin bukanlah tubuhku. Melainkan arwahku ini, wahai Ibu. Segera ku alihkan tatapanku ke arah lain, tepat pada kaca jendela. Jika tidak, maka air dimataku ini pasti akan meluap lagi. Dan, aku benci itu.

Sepasang irisku dengan jelas, menangkap banyaknya orang yang nampak berkumpul pada satu tempat. Membawa begitu banyak barang, diantaranya bunga. Wajah-wajah sendu itu menyambut beberapa orang lainnya yang nampak keluar dari dalam sebuah mobil, mereka nampak berbaris dengan sangat rapih. Tersenyum dengan air mata yang juga mengalir, aku tahu itu. Wajar saja, air mata itu.. untuk Park Jimin bukan?

"Kurasa dia orang baik, mereka bahkan menangisinya." Gumamku. Entahlah, aku sendiri belum begitu yakin. Karna, kenyataan tidak begitu membuatku yakin. Minggu lalu, bahkan Park Jimin telah membentakku sebanyak dua kali. Hal itu bahkan masih sangat mulus terbayang difikiranku, kami baru saling kenal dan dia berani berteriak padaku. Menyebalkan.



















----


















Melangkahkan kaki saat ini, membuatku teringat dengan perkataan Lee Yoora. Baru saja aku menyebutkan ia menyebalkan, tetapi kini aku dibuat sedikit penasaran terhadap apa yang terjadi sebenarnya. Begitu banyak penggemarnya berkumpul, dan memang bukan hari ini saja. Namun, kali ini paling banyak. Ya, aku dapat menyimpulkan itu. Karna, hari ke hari kuhabiskan hanya untuk menatap kondisi luar dari kaca jendela itu. Memang, kegiatan seperti apa lagi yang dapat kulakukan?

Omong-omong tadi aku membawa nama Lee Yoora? Hm, apa kabar dengan gadis itu? Sudah empat hari ia tidak datang menjengukku seperti biasa, apa ia sibuk dengan dunianya itu? Sehingga melupakan aku yang masih saja terjebak di dimensi lain, haruskah aku mendatangi Lee Yoora? Kemudian memberikan peringatan bahwa aku merindukannya? Ah, tidak. Bahwa aku.. aku kecewa padanya yang tidak menjengukku, lagi. Lee Yoora sama menyebalkannya seperti Park Jimin.

"Tch, bukankah mereka mirip?" Gumamku menatap ruangan yang kini letaknya tidak begitu jauh dari keberadaanku, dari luar terlihat tiga laki-laki yang terduduk tepat didepan ruangan itu. Tetapi, dimana yang dijenguk itu? Mengapa Park Jimin seolah tak terlihat?

"Ini tidak mungkin. Ia seharusnya sudah selesai melewati masa komanya, hyung." Salah satu dari tiga lelaki itu terlihat bangkit setelah berucap, menatap ke arah kaca jendela ruangan didepan mereka.

Bisakah aku memohon kepada Tuhan untuk setidaknya hari ini saja agar tidak merasa begitu penasaran mengenai Park Jimin? Tetapi, sepertinya memang Tuhan tidak berada dipihakku saat ini atau justru aku yang memohon dengan tidak sungguh-sungguh? Sepertinya pemikiran yang kedua benar, karna nyatanya aku lebih fokus dengan langkahanku saat ini yang membawaku semakin dekat pada mereka. Tatapanku tak henti-hentinya menatap mereka, namun sesaat kemudian teralih mengikuti tatapan laki-laki yang berucap tadi.

Park Jimin tidak ada. Itulah yang kusaksikan saat ini, bukankah lelaki itu biasanya akan terus hadir jika ada saja manusia yang menjenguknya? Seperti.. waktu itu, Kim Jong In yang pada waktu itu mendatanginya kemudian menceritakan beberapa keluh kesahnya. Dan berakhir pada Park Jimin yang bermonolog, seolah membalas setiap kalimat Kim Jong In. YaTuhan, bahkan aku sendiri masih mampu mengingat semua peristiwa minggu lalu itu. Tapi.. bagaimana bisa? Biasanya, aku akan cepat melupakan sesuatu walau terjadi dua detik yang lalu.

Tatapanku menjadi sendu, menatap masing-masing wajah sedih manusia didekatku saat ini. Ah tidak, bahkan manusia didalam ruangan itu ada yang menangis. Jika saja aku tahu dimana Park Jimin, maka saat ini juga akan kuseret ia menghampiri kalian. Tetapi.. ada yang aneh menurutku, aku lantas membenarkan posisiku. Menghadap lelaki didepanku saat ini yang masih setia menatap ke arah kaca, pertanyaannya akan Park Jimin kembali terdengar ditelingaku. Ada apa ini? Park Jimin menghilang? Tidak mungkin. Bahkan Jika ia masih menjadi manusia, lucu rasanya terdapat kertas pengumuman yang terpajanga jelas dijalan-jalan dengan gambar seorang Park Jimin kemudian tertera keterangan hilang.

Apa arwah itu bisa menghilang? Atau terjadi sesuatu pada Park Jimin?
































tbc.

welkom juni~

i know his as ghostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang