10

64 11 0
                                    

Biar saja, kuharap aku benar-benar tidak peduli padanya.

---










Aku tahu ini kasar, tetapi akal sehatku tiba-tiba saja bekerja. Park Jimin, lagi-lagi melakukan hal bodoh. Belum selesai diriku cukup malu dengan kejadian sebelumnya, dan kemudian ia lanjutkan dengan berniat yang tidak-tidak terhadapku. Keinginanku agar hidup kembali benar-benar besar saat ini, aku ingin diriku seolah tidak lagi bertemu dengannya. Park Jimin, ia masih saja menatapku tak suka dengan salah satu tangannya yang terlihat terus mengusap bekas kemerahan dipipi. Kurasa, lengkap sudah. Karna aku sudah benar-benar membuat tanda dikedua pipi lelaki itu, biar saja. Bahkan tanda itu, kurasa masih belum cukup.

"Sungrin, kufikir kau.." Belum juga menyelesaikan kalimatnya itu, bibirnya seolah mengerti maksud dari tatapanku. Ya, aku segera layangkan tatapan tajam padanya. Aku hampir ingin menangis karna kesal padanya, sudah berapa kali ia membuatku kesal? Hingga aku hilang kendali, berakhir meneteskan air mata ketika menyakitinya. Aku tidak tahu, dan tidak paham dengan sebabnya.

"Maafkan aku. Kufikir, jika aku kembali. Maka semua akan baik-baik saja. Aku.. berniat kembali untuk meminta maaf padamu, karna telah membentakmu." Kini diriku tak lagi menatapnya, kalimatnya barusan seakan membuatku benar-benar menyesali perlakuanku padanya tadi. Park Jimin, mampu membuatku ragu setiap ingin kesal dengannya.

"Aku muak dengan semua ini. Dokter mengatakan, seharusnya kemarin aku telah sadarkan diri. Seharusnya, aku sudah dapat merasakan sentuhan Ibu dan Ayah." Aku menelan ludah, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kalimatnya itu seperti tengah menggambarkan betapa hancurnya ia, dan sayangnya aku cepat mengerti itu. Aku jadi benci padanya, karna ia membuat hatiku menangis. Ya, bagaimana tidak? Karna nyatanya, aku sedang berada diposisinya. Kami sama. Sama-sama menunggu hari dimana kami sendiri tidak tahu kapan hari itu akan terjadi.

"Aku tetap tersenyum, menatap tubuhku yang terlihat lemah. Kecelakaan itu, membuat diriku seakan membenci kehidupanku sebagai seorang idola." Aku menoleh, menatapnya. Saat sebelumnya, kutatap tubuhku yang terbaring lemah itu.

"Aku tidak mengatakan bahwa hidupmu aneh karna tidak mengenalku. Hanya saja, aku cukup terkejut. Apa yang membuatmu tidak tertarik terhadap orang-orang seperti diriku?" Ia bertanya dengan nada suaranya yang menjadi sedikit serak. Astaga, aku jadi menyesal menamparnya tadi. Kuharap itu bukan tipuan untuk membalas dendam.

"Tidak tahu." Mungkin sifat Ayah menurun padaku. Ya, sepertinya benar. Kulirik Park Jimin kembali terdiam, ia terlihat berbeda. Tidak ada ekspresi menyebalkannya disana, bahkan garis senyum yang tak pernah tertinggal pun tidak ada.

Aku menghela nafas, kalau begini aku merasa seperti orang yang menghapus harapan Park Jimin. Ya, begitulah yang kurasakan. Aku hanya menamparnya karna kesal, dan ia melakukan hal yang diluar perkiraanku. Kemudian ia meminta maaf padaku, serta mengucapkan kalimat yang benar-benar membuat hatiku ingin berteriak bahwa aku tidak kuat mendengarnya. Karna, aku tidak ingin membiarkan diriku larut ke dalam kalimatnya. Aku tidak ingin merasa putus harapan untuk kembali hidup. Aku tidak ingin seperti Park Jimin.

Kulirik kembali dirinya, lalu aku pun mendecih. Kurasa ia tidak tahu, karna saat ini sibuk mengamati keadaan diluar melalui kaca jendela. Hal yang sama seperti biasanya kulakukan, jika berada didalam ruang rawatku. Aku membenarkan posisi dudukku, menatap ke arah ranjang pasien dengan tatapan mengosong. Asal kau tahu saja Park Jimin, aku pun merasakan hal yang sama sepertimu. Tapi sepertinya, dialah yang paling berat diantara kami. Tiba-tiba saja, perasaan yang paling kubenci ini datang. Kalian tahu apa? Ya, penyakit penasaranku kambuh lagi.

"Jika kau merasa lebih baik untuk terus bicara, maka bicaralah." Ujarku yang kemudian menutup kedua mataku dengan punggung yang sepenuhnya menyender pada dinding.

"Tapi.. bukankah kau bilang ingin mencobanya? Temanmu masih tertidur, sebaiknya-"

"Sebaiknya cepat katakan sekarang, sebelum aku mulai tidak selera mendengarkanmu bicara." Potongku kemudian mengambil posisi tubuh menjadi ke arah samping. Ya, aku kini terlihat membelakanginya.

"Kau tertarik dengan kehidupanku?" Aku mendercak, tidak habis fikir. Mengapa ia sulit sekali memahami kalimatku, sih?!

"Ah, baiklah. Semakin hari, kau terlihat mirip dengan Min Yoongi." Mataku yang sebelumnya terpejam, lantas terbuka.

"Siapa dia?" Tanyaku tanpa berniat mengubah tubuhku menjadi ke posisi sebelumnya.

"Menurutku, kami ini sudah seperti keluarga." Aku membalik tubuhku tiba-tiba, kufikir itu tidak mengejutkannya. Karna saat ini ia menatapku, kami saling bertatapan.

"Seperti apa dia?" Tanyaku yang dibuat semakin penasaran. Ya, aku sedikit menyesal karna dibuat tak sabaran begini. Kuharap ia tidak memikirkan apapun yang membuat diriku malu lagi pada akhirnya. Aku mengeryit, saat sebelumnya kami sempat terdiam. Ia terlihat menampakkan senyumannya, senyuman yang seakan menjadi traumaku sendiri. Karna, ada saja peristiwa yang terjadi ketika aku melihat senyumannya itu.

Aku kembali membalik tubuhku, kini kami tidak lagi saling bertatapan. Aku terdiam dan kembali menutup mata. Benar, ini salahku. Salahku yang mencoba ingin tahu mengenai kehidupan laki-laki aneh itu, kudengar ia tak kunjung bergeming. Membuatku semakin kesal, karna aku memang sedang menunggu jawabannya. Seperti apa dia, yang disamakan denganku. Jika aku tahu, aku ingin meminta pendapatnya. Kalau, pasti ia memiliki tanggapan sama sepertiku mengenai Park Jimin. Ya, setidaknya aku tidak sendirian dalam menyimpulkan Park Jimin itu menyebalkan.

"Ya sepertimu." Tch, jawaban apa itu? Ingin kuusir saja dirinya saat ini juga, jika saja aku tidak ingat kalau aku benar-benar ingin tahu mengenai sebab dirinya bernasib sama sepertiku.

"Ah, dia itu.. cantik." Sontak, kedua mataku terbuka. Apa.. apa yang dikatakannya barusan? Apa aku salah dengar? Demi Tuhan, aku merasakan hawa panas menyeruak didalam diriku. Haruskah? Arwah sepertiku memiliki kegiatan lain untuk mandi?

"Kalau dia perempuan. Sayangnya, ia laki-laki." Mataku kembali terpejam, menarik nafas secara perlahan. Kufikir itu kurang, karna ia telah membuatku berada diatas puncak emosi lagi.

"Sepertinya, kau tidak tertarik dengan ceritaku ya. Pada intinya, aku mengalami kecelakaan. Dan, itu terjadi lagi-lagi karna aku merasa terganggu oleh paparazi. Kau tahu kan? Kehidupan sepertiku, tidak asing lagi dengan orang-orang semacam mereka? Saat itu.. aku panik, supir kami pergi entah kemana. Mereka terus mengikutiku, hingga akhirnya aku nekat mengendarai mobilku sendirian." Ya, aku mendengarkanmu meskipun tadinya aku sudah tidak selera. Kejadian yang hampir sama, mengapa para supir itu seolah menjadi malaikat maut sih?

Kurasa cukup sudah, aku mulai lelah. Dan juga, Lee Yoora baru saja pergi meninggalkan kami. Rencanaku untuk mencoba tubuhnya gagal, dan sekarang. Aku jadi tidak tertarik.

"Kau tertarik pada Yoongi hyung, sampai melupakan keinginanmu." Hei, aku dengar. Ya, kali ini kau benar Park Jimin. Aku memang tertarik mengenai seperti apa dia? Tetapi, kenyataan aku justru larut dalam kisahmu yang membuatku lupa dengan keinginanku.































tbc.

welkom oktober~

i know his as ghostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang