Chapter 9

1.5K 88 0
                                    

Adakalanya kita harus berhenti berharap
Bukan berarti tidak mampu lagi
Melainkan yakin bahwa ada yang lebih baik lagi
***

"Yuk bang berangkat!" Aisyah membuyarkan lamunan Hasan yang entah sedari tadi apa yang ada dipikirannya sampai tidak menyadari adik kecilnya ini sudah duduk disampingnya.

"Eh.. Eee anu Syah.. Kita mau kemana ya? Abang lupa"

Aisyah berdecak sebal, bisa-bisanya Hasan disaat-saat begini penyakit pikunnya kambuh.

"Iiihhh nyebelin banget tau! Kita ke toko buku Baang!! Anterin Aisyah nyari buku kumpulan soal-soal kimia buat belajar" Aisyah mengatakannya tepat ditelinga Hasan membuat Hasan mau tak mau harus menutup kupingnya,mercon.

Hasan mengangguk malas dan langsung menjalankan mobilnya ke tempat yang Aisyah mau. Sepanjang perjalanan Aisyah hanya diam menatap jalanan yang sedang dilaluinya.

Hasan menepuk pundak adiknya, Aisyah menoleh dan tersenyum. Hasan tau dari mata Aisyah saja sudah menjawab semua pertanyaan di hatinya.

"Tumbenan diem. Biasanya nyerocos kaya toa masjid, bahas Rizal lah bahas Ilham lah inilah itulah. Lagi kenapa?" mendengar nama Rizal disebut Aisyah tersenyum kecut.

Aisyah kembali menatap jalanan diluar yang mulai ditemani rintikan hujan kecil dari sang langit.

"Bang" jedanya. "Semua yang kita lalui apapun itu pasti bakal jadi masalalu ya?" lanjutnya. Aisyah menelan ludahnya susah payah, mengapa Ia bertanya demikian pada Hasan yang berarti Ia harus rela menyumbangkan telinganya untuk mendengarkan ceramahnya.

Hasan yang diberikan pertanyaan sedemikian itu sedikit terkejut namun berusaha menetralkan air mukanya kembali.

"Kenapa nanya gitu? Udah kaya Inul Daratista aja bahas masalalu, atau jangan-jangan cita-cita kamu mau jadi penyanyi dangdut ya?" goda Hasan.

Harus ekstra sabar ngadepin Abang yang sifatnya jahil ngga ketulungan kaya Hasan. Dimintain pendapat malah di goda. Eh tapi malah bagus, kan Aisyah bisa mengalihkan topik pembicaraan ke yang lainnya itukan yang Aisyah mau?

"Ih pake digoda-godain segala. Dasar penggoda, kaya banci jalanan!"

Hasan tersenyum. Ia menarik nafas gusar sebelum menjawab pertanyaan Aisyah tadi.
"Jelas semua yang telah kita lewatin itu semua masalalu Syah, bahkan 1 detik yang lalu adalah masa lalu, tapi anehnya banyak yang bilang masalalu itu mantan. Kan ngga harus mantan yang jadi masa lalu, pacar juga bisa"

"Sama aja bego! Otak Lo ditaroh dimana ya? Atau jangan-jangan di taroh disitu" potong Aisyah yang sekarang tengah meraba dasbor mobil.

Hasan tertawa. Entah kenapa saat sedang bersama Aisyah Ia merasa semua beban pikirannya lenyap, tak perlu pacar! Asalkan Aisyah terus disampingnya dan tetap menjadi adik kecilnya yang manja itu sudah lebih dari cukup.

"Hidup kita itu kaya langit Syah, tetap menaungi orang yang ada di bawah kita" Ia menatap langit yang tampak gelap karena mendung.

"Iya! Tapi kita sering dapet ujian tuh, sering nangis" Aisyah ikut melongok dari jendala menatap ke langit.

"Betul! Tapi bukannya jika ujian itu sebagai hujan dan hasil kesabaran kita adalah pelangi itu baguskan?" Hasan bertanya pada Aisyah yang tengah merenung, kemudian mengangguk mantap. Sungguh menyenangkan mempunyai seorang kakak seperti Hasan walaupun kadang isengnya ngga ketulungan.

Do'a dan Diam KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang