Hurt Again - Five

39 5 0
                                    

Mulmued Adhira-Nathusa

----------------------

Adhira memejamkan mata sambil bersandar pada sandaran kursinya. Ia lebih memilih berdiam diri di kelas daripada harus pergi ke kantin bergabung dengan teman-temannya. Sedangkan Nathusa, gadis itu tengah membantu Pak Reno mengurus beberapa surat untuk kepindahan salah satu siswa ke luar kota. Sebenarnya itu memang bukan urusan Nathusa tetapi Pak Reno yang meminta hanya sekedar memfotocopy, mengetik, dan lainnya.

Sementara ada seorang gadis lain tengah menghampiri Adhira di kelas cowok itu. Kini ia sudah mendaratkan bokongnya pada kursi tepat sebelah Adhira. Gadis itu sedikit ragu untuk menepuk bahu cowok disampingnya, yang ia kira tengah terlelap. Ketika ada pergerakan dari tubuh Adhira, gadis itu kembali menarik tangannya yang hampir mencapai bahu tegap itu. Rasa takut semakin memburu. Bukan karena Adhira menyeramkan atau apa, cuma gadis itu takut kalau Adhira menolaknya lagi.

Satu tarikan nafas di hela cukup berat. Pergerakan gadis itu sangat lambat ketika menepuk bahu Adhira. Tiga detik. Adhira membuka matanya, menoleh kesamping. Raut wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Lebih datar dan aura dingin lebih mencekam. Menakutkan. Gadis itu tak berani menatap manik mata Adhira, ia menunduk menenggelamkan kepalanya dalam-dalam.

"Ngapain lo?" tanya Adhira ketus.

"Ini.." gadis itu menyodorkan kotak bekal berwarma biru laut pada Adhira.

"Gak perlu." Adhira memalingkan wajahnya, berusaha tidak menatap gadis disampingnya.

"Dhir, aku udah susah payah loh bikin ini." gadis itu membuka kotak bekal yang tadi ia sodorkan. Rupanya berisi sandwich. "Hargain perjuangan aku dong, Dhir, sekali aja." pintanya.

"Mending buat lo aja." ujar Adhira, beranjak dari kursi dan hendak pergi keluar kelas.

"Adhira!"

"Apaan sih?"

"Kapan sih kamu berubah? Kapan kamu hargai aku yang selalu ada di depan kamu? Kapan kamu sadar kalo aku itu sayang sama kamu? Bahkan kamu liat aku aja nggak!" tangis gadis itu seketika pecah. Adhira berusaha menahan agar ia tak berbalik badan dan membawa tubuh mungil tersebut kedalam dekapan hangatnya. "Apa kurangnya aku, Dhir? Aku cantik, baik, pintar, famous, apa lagi?!"

"Hati nurani." sahut Adhira namun terdengar tegas. "Hati nurani yang gak lo punya, Mor!"

Adhira tertawa mengejek, lalu ia membalikkan tubuhnya. "Lo tau apa jawaban dari semua pertanyaan lo tadi?" cowok itu menghela nafas. "Pertama, gue gak akan berubah. Karena percuma aja kalo gue berubah, lo juga tetep kayak gini kan? Kedua, buat apa gue ngehargain orang munafik kayak lo? Gak ada untungnya. Ketiga, gue sadar kalo lo sayang sama gue, tapi gue cuma anggep lo sebagai teman gak lebih. Keempat, gue selalu liat lo di depan mata gue, setiap detik, menit, bahkan jam." jelas Adhira.

Tangis Amora semakin menjadi hingga mengundang tatapan siswa siswi yang tengah berada di koridor. Adhira tak menghiraukan gadis itu. Ia sudah terlanjur kecewa dengan semua perbuatan yang Amora lakukan padanya.

"Dan satu lagi, gue minta sama lo. Mulai sekarang, jauhin gue! Lupain semua tentang kita yang dulu. Sekarang status kita udah beda,"

"Kalo aku gak mau gimana?" Amora menyeka air matanya dan tersenyum sinis.

"Gak mau? Gampang. Tinggal gue seret!" sahut Adhira enteng.

"Kamu jahat banget sih, Dhir!"

"Emang. Kenapa lo mau protes?"

"Berarti percuma dong perjuangan aku selama ini ke kamu sampe bela-belain pindah sekolah ke sini?"

"Nah, itu tau." Adhira menganggukan kepalanya. "Makanya, mending lo berhenti deh. Daripada nanti mewek liat gue sama cewek lain. Oya, inget! Jangan hasut nyokap gue lagi, gak kasian apa sama orang tua di hasut mulu."

Hurt AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang