Seorang gadis menatap nanar indahnya langit malam yang dipenuhi dengan bintang. Tatapannya begitu sendu ketika sebuah bintang memancarkan cahaya yang lebih terang dari bintang lainnya. Setetes permata tak diundang pun jatuh dari pelupuk matanya. Gadis itu menangis. Menangis dalam diam. Menangis tanpa suara. Menangis karena hatinya begitu sakit ketika mengingat semua kejadian yang telah merenggut seseorang paling berarti dalam hidupnya. Gadis itu sangat hebat. Ia bisa menutupi semua luka yang diderita dengan menampilkan raut datar serta aura dingin disetiap hari-harinya. Andai semua orang tahu, bahwa dirinya begitu rapuh, amat rapuh. Gadis itu menghela nafas berat lelah dengan semua ini. Lelah dengan semua cobaan yang diberi. Lelah dengan semua keadaan yang terjadi. Lelah dengan semua, semua, dan semua yang terjadi pada dunia ini.
"Aku tau Engkau adil dalam segala hal, termasuk mengambilnya lebih dulu. Aku tau Engkau sayang padanya, karena itu Kau mengambilnya. Aku tau dan percaya Engkau pasti akan memberikan yang terbaik untuk makhluk ciptaan-Mu. Dan aku hanya ingin bertanya," Gadis itu menunduk. Menyeka buliran permata yang semakin deras. "apakah ada penggantinya untukku di dunia ini? Kalau ada, dekatkanlah, aku ingin merasakan kebahagiaan bersamanya lagi. Kalau tidak, jauhkanlah, aku akan mencoba mencarinya sendiri sampai ke ujung dunia."
Dering ponsel mengejutkan gadis itu, dengan cepat ia meraih benda pipih tersebut dan menempelkannya pada telinga tanpa melihat nama yang tertera.
"Hallo.." sapanya dengan suara serak khas habis menangis.
"Hallo," gadis itu tampak terkejut saat mendengar balasan sapaan dari seberang sana. Ia menarik ponselnya dari telinga dan menatap layar yang menyala itu. Ia membaca dalam hati, 'Adhira'. Seketika tubuhnya menegang, ragu-ragu gadis itu mendekatkan lagi benda pipih tersebut dengan telinganya. "Sha? Ganggu gak?" tanya Adhira.
"G-gak, kenapa?"
"Gue ada pr nih, kebetulan gak bisa kerjain."
"Kebetulan apa males?" tanya Nathusa memutar bola mata malas.
"Males." jawab Adhira santai. "Bantuin bisa donk? Kan lo tutor gue!"
"Tutor bukan berarti robot." celetuk Nathusa.
"Yaelah! Ayolah, Sha, bantuin gue! Mau ya? Ya? Besok gue traktir deh. Janji!"
"Kok lo jadi cerewet sih!" sentak Nathusa membuat Adhira bungkam seketika. Cowok itu baru menyadari kalau sedari tadi ia banyak sekali ngomong bahkan lebih dari hari-hari biasanya. Adhira menggaruk tengkuknya yang tidak gatal merasa salah tingkah.
"Ini tuh genting, makanya gue cerewet!" sahut Adhira asal.
"Gak, kerjain sendiri! Berusaha!" Sedetik kemudian sambungan telepon diputus secara sepihak oleh Nathusa. Adhira mendengus sebal, gadis yang sekarang menjadi tutornya itu memang keras kepala. Membantu sedikit saja tidak mau.
...
"Kamu tuh ya, kerjaannya ngapain aja di rumah heh? Kamu tahu kan apa peraturan yang ibu buat selama jam pelajaran berlangsung dan diberikan tugas?" tanya Bu Dora beruntun menatap tajam Adhira.
"Tau." jawab Adhira cuek tak menghiraukan ekspresi guru gendut di hadapannya.
BRAK!
Semua murid XII IPA 6 terlonjak kaget mendengar gebrakan meja itu. "Kalau tau kenapa tugas ini tidak di kerjakan?!" Bu Dora semakin mempertajam tatapannya.
"Kalau saya tidak bisa bagaimana?"
"Adhira kamu it----"
Tok.. Tok.. Tok..
Pintu terbuka, menampilkan sosok gadis yang sangat familiar. Bu Dora tersenyum kemudian memberi isyarat agar siswi itu masuk. Sejenak melupakan masalah tentang Adhira. Setelah berada di depan Bu Dora gadis itu menyalami punggung tangan guru gendut tersebut.
"Sha, ibu denger kamu yang tutorin Adhira? Apa itu benar?" tanya Bu Dora mengundang perhatian para murid.
Nathusa mengangguk kecil. "Iya bu."
Bu Dora menghela napas. "Ibu mau kamu juga tutorin Adhira dalam mata pelajaran ibu. Dia itu terlalu bodoh untuk berfikir, otaknya terlalu cetek seperti sawah!" para murid menahan tawa dengan menggigit bibir bawah mereka.
Adhira mendelik tajam. "Maksud ibu apa menghina saya seperti itu?" tanyanya dingin membuat beberapa siswa bergidik ngeri.
"Memang kenyataannya seperti itu kok, ibu mah ngomong sesuai fakta. Kamu kan anaknya bengal, susah untuk diatur, bahkan tentang pelajaran pun masih saja anjlok. Masih mending kamu dikasih tutor yang sabar seperti Nathusa. Coba kalau yang lain? Mungkin udah pingsan kali! Walaupun orang tua kamu donatur terbesar disini, ibu gak peduli. Mungkin dulu orang tua kamu seperti ini ya? Jadi turun ke kamu sifatnya."
Adhira mengepalkan tangannya, wajahnya merah padam terlihat menahan emosi yang akan meledak. "Ibu boleh menghina saya tetapi jangan sekali-sekali bawa orang tua saya!"
"Ibu tidak membawa orang tua kamu kok, hanya mengatakan bahwa sifat mereka menurun pada kamu."
Ketika Adhira hendak mengangkat tangannya dengan sigap Nathusa menahan. "Dhir, stop! Lo gak boleh begini, bagaimana pun juga Bu Dora itu guru lo. Orang yang udah kasih banyak ilmu ke lo!"
Emosi Adhira sedikit menurun ketika menatap manik mata Nathusa yang kali ini memancarkan kelembutan. Cowok itu sempat terpaku, sebelum tangannya ditarik keluar oleh gadis itu. Tanpa Adhira ketahui Bu Doralah yang menyuruh Nathusa untuk membawa cowok itu pergi dari kelas.
Entah kemana gadis itu akan membawanya pergi, ia hanya mengikuti. Beberapa menit kemudian, mereka sampai ditempat yang sangat tersembunyi. Adhira sempat mengerutkan keningnya bingung, sebelumnya ia tidak pernah melihat tempat seburuk ini. Lokasinya dipaling belakang sekolah, suasananya juga tidak baik, kotor, banyak sampah. Sepertinya tak pernah ada yang membersihkan tempat tersebut.
"Gue gak suka lo kayak gitu ke orang yang lebih tua, gak sopan!" kritik Nathusa.
"Dia duluan, Sha! Gue tau maksud dalam kata-katanya itu apa, dia nyindir gue secara halus." elak Adhira, cowok itu masih dengan sifat keras kepala dan emosi yang melanda.
"Kalo gitu hadapin dengan kepala dingin, jangan pake emosi."
"Gimana gue gak emosi, dia itu ngehina masa lalu orang tua gue. Jujur, dulu Papa emang begini sifatnya sama kayak gue. Sedangkan Mama, dia kayak lo, sabar!" nafas Adhira tersengal-sengal.
"Seenggaknya lo bisa ngadepin tanpa emosi, Dhir."
"Lo gak pernah rasain, Sha, karena lo tinggal sendiri tanpa orang tua disamping lo!"
Nathusa menatap Adhira datar, begitu dingin membuat bulu kuduk orang lain yang jika melihatnya berdiri. Merinding istilahnya.
"Tau dari mana lo soal kehidupan gue?" tanya Nathusa.
Tak ada jawaban dari bibir Adhira. Nathusa menoleh menatap cowok bertubuh tinggi itu dari samping yang malah membuang muka.
"Jawab!" sentak Nathusa.
"Gue selalu ngelacak siapa pun orang yang deket sama gue, termasuk lo!" akhirnya Adhira menjawab. "Karena lo tutor gue."
Tanpa ba-bi-bu, Nathusa pergi meninggalkan Adhira di tengah sepinya taman belakang tak terurus itu. Nathusa tak menoleh lagi, niat untuk berbalik pun tak ada. Gadis itu lebih baik kembali ke kelasnya dari pada harus mengurus orang yang sangat keras kepala walaupun ia sendiri juga begitu.
Adhira pikir Nathusa akan berbalik dan menasehatinya lebih. Tetapi tidak. Kenyataan tak sesuai ekspetasi. Gadis itu hilang entah kemana. Adhira juga tak ambil pusing. Hanya saja pikirannya mengarah pada jadwal tutor siang nanti dengan gadis itu. Otaknya berkerja keras berusaha menebak-nebak, apakah gadis itu akan datang untuk mentutorinya atau tidak. Kinerja otaknya tiba-tiba terhenti karena perutnya berbunyi. Ya, tadi pagi ia tak sempat sarapan bersama kedua orang tuanya. Cacing di perut Adhira semakin meronta-ronta meminta makanan. Karena sudah tak tahan cowok itu berjalan menuju kantin yang kebetulan letaknya tak jauh dari tempatnya berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hurt Again
Teen Fiction"Biarlah semua berjalan dengan apa adanya, berlalu dengan semestinya, dan berakhir dengan seharusnya." -Nathusa Delanva "Sudut bumi sebelah mana yang tak mengharuskan bertemu dengannya?" -Adhira Yumara Dilange "Mengikhlaskan lebih baik, daripada har...