Adhira berjalan menyusuri sebuah pemakaman dengan keranjang berisi bunga campur yang dijual dipinggir jalan serta setangkai mawar. Adhira sempat kebingungan, karena ia lupa dimana tempat pusara sahabatnya berada. Ketika seorang petugas lewat, Adhira lantas bertanya.
"Pak, pusara blok C dimana ya?" tanya Adhira.
"Sebelah barat Mas, nanti ketemu pohon besar ke kanan." jawab petugas itu.
"Makasih, Pak!" setelah itu Adhira melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda.
Tak membutuhkan waktu lama bagi cowok itu mencari pusara sahabatnya. Saat hendak menghampiri, Adhira melihat dua orang, laki-laki dan perempuan juga sedang berziarah ke sana. Adhira tidak tahu itu siapa, ia menyipitkan mata tetapi tetap saja tidak bisa menebak. Yang cowok memakai kacamata hitam dan yang cewek memakai pasmina sebagai penutup kepala.
Dua orang itu bergegas tetapi yang cewek terlebih dahulu, Adhira langsung mengumpat di balik pohon dekat sana. Beberapa menit kemudian, si cowok menyusul dengan sedikit berlari. Adhira menghampiri pusara sahabatnya saat dua orang tersebut sudah benar-benar pergi. Ia tersenyum miris.
"Al, lo apa kabar? Sorry, gue baru bisa jengukin lo disini. Akhir-akhir ini tugas gue semakin menumpuk, Al. Seandainya ada lo, mungkin tugas-tugas gue bisa lebih ringan."
"Lo tau gak? Kemarin Bu Siska nyuruh salah satu siswi buat tutorin gue. Nilai gue di mapel dia jelek Al, turun drastis."
"Al, kenapa lo harus pergi sih? Gue masih gak percaya kalo lo udah di alam sana. Gue gak tau lagi harus curcol kemana selain sama lo." Adhira tersenyum simpul. "Semenjak lo pergi, gue kesepian Al. Bahkan Danka juga udah jarang ngumpul. Dia sibuk. Gue gak terlalu tau jelas, apa alasan dia setiap mau kumpul. Cuma bilang sibuk. Itu aja."
"Lo tau, Flavi tinggalin gue juga Al, selang beberapa bulan setelah lo pergi. Dia hamil, diluar nikah sama selingkuhannya. Gue kecewa Al. Bukannya dapet semangat atas keterpurukan lo pergi, malah dapet masalah yang baru."
"Woy, ngomong dong jangan gue terus yang ngomong! Capek tau. Gue yakin besok gue bakal mogok ngomong."
"Gue mau ngomong sesuatu boleh kan? Semoga lo denger ya diatas sana." kata Adhira. Sebelum itu, ia menarik nafas panjang dan menghembuskan secara perlahan.
"Gue minta maaf Al. Karena gue lo jadi begini. Coba aja pas itu lo gak nyelametin gue, mungkin gue yang ada disini. Gue merasa bersalah banget, seandainya kejadian tawuran satu tahun lalu gak terjadi. Pasti lo masih bisa senyum dan kasih motivasi juga saran yang baik buat gue maupun Danka." tanpa sadar Adhira menitikkan air mata.
"Danka semakin jauhin gue Al, seakan dia benci sama gue. Benci banget. Waktu ketemu di mall aja dia buang muka, pura-pura gak kenal. Gue mau nyapa tapi ego gue gak bisa dikendaliin. Liat orang yang dulu selalu ada di samping gue, perlahan satu-persatu pergi. Pertama lo, kedua Flavi dan sekarang Danka."
"Entah apa yang Tuhan rencanain setelah ini, gue gak tau. Cuma bisa pasrah dan berdoa. Semoga kita bisa berkumpul lagi." Adhira tersipu malu meraba pipinya basah akibat cairan bening dari matanya. "Kan gue jadi nangis, lo si ah!"
Adhira menyirami pusara Alver dengan dua botol air mawar, dilanjutkan dengan menaburkan bunga dan menancapkan setangkai mawar yang dibawanya tadi di dekat papan nama.
"Gue pulang ya, Al. See you soon. Gue janji bakal sering-sering ngunjukin lo kesini. Dah!" pamit Adhira. Ia beranjak menuju parkiran. Setelah menemukan mobil kesayangannya, Adhira bergegas menuju rumah.
...
Nathusa bersandar di kursinya sambil menatap ponsel dengan senyum mengembang. Suara seseorang diseberang sana membuat gadis itu tak beranjak dari kelas untuk sekedar membeli minuman di kantin sekolah.
"Apasih!" Nathusa menggaruk hidungnya sendiri. Hal yang dilakukan ketika menahan malu.
"Udah gak usah ditutupin lagi, udah ketawan sayang."
"Udah ihh, jangan dibahas."
"Jangan gitu dong, kan ini topik yang paling seru buat dibahas." Danka menggigit bibir bawahnya, menahan tawa.
"Topik pembicaraan itu masih banyak, bukan cuma ini doang."
"Kalo ini yang paling seru diantara lainnya gimana?" ejek Danka.
"Duh, Nathusa ku sayang gak bisa jawab. Makin sayang deh!"
"Danka ih!" Nathusa kesal setengah mati dengan manusia satu ini. Ingin sekali gadis itu mewujudkan keinginannya yang terunda selama ini, yaitu menenggelamkan bahkan kalau bisa membunuhnya sekalian.
Seseorang di balik dinding menghentikan langkahnya ketika mendengar sebuah nama disebut dari dalam salah satu kelas di koridor kelas XII. Tubuhnya membeku, hendak menghampiri seorang gadis di dalam pun di singkiran dahulu. Nama itu, nama yang selama ini ia rindukan. Selama ini tak berjumpa. Rasa penasaran muncul, ia menajamkan pendengarannya lagi dengan berpura-pura duduk di salah satu kursi panjang dekat kelas itu.
"Sha," panggil Danka.
"Hm.." gumam Nathusa.
"Gue sayang lo."
"Me too."
Keduanya sama-sama tersenyum. Walaupun jarak dan tempat memisahkan keduanya, tetapi rasa sayang mereka tidak pernah pulus begitu saja. Tentunya rasa sayang sesama sahabat. Tidak lebih, tidak kurang.
Adhira membelalak, benar dugaannya. Ya itu suara yang selama ini sudah lama asing di pendengarannya. Cowok itu berdiri dan langsung nyelonong masuk ke dalam tanpa mengetuk pintu.
Nathusa terlonjak ketika Adhira masuk ke dalam kelas secara tiba-tiba. Dengan cepat ia mematikan sambungan video call bersama Danka lalu memasukan ponsel ke saku seragam. .
"A..ada apa?" tanya Nathusa sedikit gugup, takut kalau cowok itu mendengar semua pembicaraannya lewat ponsel.
"Gak, cuma mau bilang siang jangan lupa, jadwal tutor!" jawab Adhira, menghela nafas.
"Ohh, nanti lo ke apartment gue aja ya. Gue gak bisa ke rumah lo."
Adhira mengangguk. "Hm.." setelah itu pergi meninggalkan kelas Nathusa.
-------
Tugas lg sedikit ringan, jd ya alhamdulillah bisa update:)
Maaf ya kalo gaje, akutu pusing😂 sm pelajaran yg semakin lama semakin byk, ditambah lagi fullday:(
Intinya, Votement nya tolong dibantu. Banyakin Vote nya aja key?👌♥
KAMU SEDANG MEMBACA
Hurt Again
Teen Fiction"Biarlah semua berjalan dengan apa adanya, berlalu dengan semestinya, dan berakhir dengan seharusnya." -Nathusa Delanva "Sudut bumi sebelah mana yang tak mengharuskan bertemu dengannya?" -Adhira Yumara Dilange "Mengikhlaskan lebih baik, daripada har...