"Sha"
"Hm.."
"Sha"
"Apa?"
"Sha!"
"Apa sih, Dan?" tanya Nathusa geram pada Danka yang duduk tepat disisinya.
"Mau ngomong," jawab Danka sambil mempertipis jarak diantara mereka berdua.
Nathusa menyimpan ponselnya diatas meja saat mendengar nada serius dari cara bicara cowok disampingnya. "Ya udah ngomong." katanya sambil menatap Danka.
"Lo gak kangen sama dia? Inget gak terakhir kapan kita kunjungin makam dia? Udah lama banget, Sha. Gue yakin dia kangen sama lo. Gimana kalo sekarang kita kesana?" Danka menautkan sebelah alisnya meminta jawaban.
Nathusa tampak berpikir lalu mengangguk. "Boleh, bentar gue siap-siap."
Danka tersenyum menatap punggung Nathusa yang hilang di balik pintu. Danka mengira kalau Nathusa akan melupakan orang yang dulu bisa merekahkan senyum gadis itu setiap hari. Tetapi kenyataan tak sesuai ekspetasi, Nathusa masih sama seperti dulu. Cukup lama Danka tersenyum sendiri, hal tersebut membuat Nathusa mengernyit bingung. Nathusa berjalan menuju keranjang baju kotor untuk menaruh baju sebelumnya. Setelah itu, Nathusa beralih penuju lemari kecil sebelah nakas ruang tv. Nathusa mengambil kerudung berbentuk pasmina berwarna hitam dan memakainya.
"Ayo, Dan." ucap Nathusa menepuk bahu Danka.
"Eh-- yuk!"
Mereka berdua keluar dari apartement Nathusa bergegas menuju basement. Danka tersenyum menyapa petugas lantai sembilan belas dan Nathusa juga melakukan hal sama. Nathusa sedikit risih ketika orang-orang yang berlalu lalang menatapnya dengan tatapan aneh. Tetapi raut wajahnya tetap terlihat datar. Danka menatap sekelilingnya yang tengah memperhatikannya-- ralat memperhatikan gadis disebelahnya. Mengerti maksud tatapan tersebut, Danka meraih pinggang Nathusa dan merengkuhnya. Seketika semua tatapan tersebut mengalihkan pandangannya. Sesampainya di basement, mereka langsung masuk ke dalam mobil fortuner putih generasi terbaru. Mobil itu melesat cepat keluar dari basement dan melaju membelah kota jakarta yang lumayan ramai di siang hari.
...
Nathusa menatap sendu batu nisan yang bertuliskan sebuah nama tentang masa lalu kelamnya. Air mata gadis itu tak henti-henti untuk jatuh. Danka hanya bisa menatap Nathusa dengan tatapan iba lalu beralih pada nisan yang juga diusapnya. Danka memilih bergeming tanpa ada niat mengeluarkan satu kata pun, ia membiarkan Nathusa menyampaikan semua rasa rindunya dalam bentuk kristal permata.
"Dan.."
"Iya?" Danka tersentak dari lamunan. "Lo udahan?"
Nathusa hanya mengangguk kemudian berdiri dan berjalan mendahului Danka. Cowok itu tersenyum menatap batu nisan sahabatnya ini. Diusapnya sekali lagi.
"Gue balik ya, bro! Semoga kebahagiaan lo bertambah dengan adanya lo disana. Percaya kan sekarang? Kalau Tuhan lebih sayang sama makhluk-Nya yang baik hati kayak lo. Suatu saat nanti semua janji yang lo pinta ke gue, akan gue laksanain." Danka bergegas menyusul Nathusa yang sudah bersandar di pintu mobil bagian penumpang.
"Mau kemana dulu?" tanya Danka sesaat setelah ia sampai dihadapan Nathusa.
"Ke apart aja, gue capek." jawab Nathusa seraya membuka pintu mobil dan duduk anteng didalam sana.
Setelah Danka naik dan siap untuk melajukan mobil, cowok itu menginjak pedal gas. Mobil tersebut kembali menuju tempat semula. Di dalam, Nathusa diam tidak seperti biasanya. Danka tersenyum maklum, mungkin gadis disampingnya ini tengah berusaha melupakan semua yang terjadi setahun lalu. Dan ia berjanji akan membantu sebisanya.
Tak berselang lama. Gedung tinggi disertai puluhan bahkan ratusan lantai terlihat jelas. Danka menurunkan kaca mobil, tersenyum menyapa satpam. Danka sengaja memberhentikan mobilnya di pelataran lobby lalu menyuruh salah satu orang kepercayaannya untuk menaruh mobil tersebut di basement.
Nathusa memakai kaca mata hitamnya. Matanya bengkak juga merah, terlihat begitu jelas. Danka menggamit tangan Nathusa, menariknya cepat menuju lift.
Pintu lift terbuka ketika angka diatas pintu menunjukan angka sembilan belas. Lagi-lagi Danka menarik Nathusa agar cepat sampai. Cowok itu menyebutkan password yang kebetulan diberitahu oleh sang empunya untuk memudahkannya masuk saat Nathusa sedang butuh. Atau memang benar-benar butuh. Kedua masuk, setelah menutup pintu, Danka mendekap Nathusa. Nathusa tidak menolak. Ia sudah terlanjur nyaman berada disisi cowok itu. Nathusa merasakan kehadiran sosoknya yang dulu sering kali melindungi dari banyak pasang mata hendak menerkam. Nathusa membalas pelukan tersebut. Seketika tangisnya pecah. Entah apa yang terjadi dalam dirinya ia tidak tahu.
Danka mengusap pungung Nathusa, menenangkan tubuhnya yang sedari tadi bergetar akibat isak tangis. Bukan itu saja, Danka juga mencium puncak kepala Nathusa berkali-kali supaya gadis itu tenang. Kini, Danka mendudukan tubuhnya, merasa pegal di area kaki. Nathusa duduk tepat diatasnya, gadis itu tampak nyaman. Nyaman sekali. Beban yang selama ini Danka rasakan terlepas begitu saja. Gadis dipangkuannya ini memang banyak memberikan pengaruh baik dalam hidupnya.
"Sha.." Danka memanggil.
Tak ada jawaban.
"Udah ya, jangan nangis terus."
Masih sama.
"Mata lo udah bengkak." peringat Danka.
"Hei!" Danka mengangkat kepala Nathusa. Senyumnya mengembang melihat pemandangan damai pada wajah gadis itu. Tak tega membangunkan, Danka menggendong tubuh Nathusa kemudian meletakkannya diranjang dan berlalu pergi.
...
Kali ini segini dulu ya:)
Bsk janji deh kl ada waktu update nya lebih panjang dr ini👌
Akhir2 ini tugas lg byk:'(Votement guys♥
KAMU SEDANG MEMBACA
Hurt Again
Teen Fiction"Biarlah semua berjalan dengan apa adanya, berlalu dengan semestinya, dan berakhir dengan seharusnya." -Nathusa Delanva "Sudut bumi sebelah mana yang tak mengharuskan bertemu dengannya?" -Adhira Yumara Dilange "Mengikhlaskan lebih baik, daripada har...