Swear It To The Sky - 05

444 80 17
                                    

Setelah melewati beberapa rangkaian kereta yang lumayan panjang, Inari akhirnya bisa tersenyum lega. Bangku untuknya sesuai dengan nomor yang tertera pada tiket akhirnya ia temukan juga.

Gadis itu segera bergegas.

Dia menoleh ke kanan kiri. Sekedar menyapa penumpang lain walau tidak kenal. Inari memang seramah itu. Tak heran jika ia selalu mendapat keberuntungan di setiap perjalanannya.

Seperti hari itu. Seorang pemuda menyelamatkannya.

Lalu sekarang, rangkaian dimana bangkunya berada sangat sepi. Hanya ada beberapa penumpang saja. Itu pun dengan letak duduk yang saling berjauhan.

Begitu tiba di depan bangkunya, Inari bertepuk tangan kegirangan. Perjalanannya ke Busan pasti akan sangat menyenangkan.

Setelah meletakkan ranselnya di bangku, sekarang Inari mencoba mengangkat kopernya untuk ditaruh di kabin barang yang menjulur di atas di sepanjang bangku-bangku penumpang.

Baru saja ia membungkuk setelah menurunkan pegangan koper, tiba-tiba sebuah tangan kembali menahan pergerakannya.

"Aku bantu, ya?"

Inari terkekeh. Pemuda itu lagi, pemuda itu lagi.

Sehun balas terkekeh sampai matanya menyipit sedemikian rupa. Belum juga disetujui, Sehun sudah mengangkat koper Inari lalu meletakannya di kabin dengan gampang.

Maklum, tubuh Sehun tinggi sekali. Bukan masalah rumit kalau dia mau menjangkau kabin.

"Thank you." Inari tersenyum lalu membungkuk sekilas. "kau menolongku lagi."

Sehun menoleh, "Tak masalah. Sudah seharusnya manusia saling membantu, kan?"

Kepala Inari mengangguk-angguk senang. Lalu duduk di bangkunya. Tapi, lagi-lagi dia terlonjak saat Sehun juga ikut duduk di sampingnya.

Inari menoleh, sementara Sehun pura-pura tidak tau apa-apa. "Kenapa?"

"Kenapa duduk di sini, Mister?"

"Kenapa? Apa aku salah nomor? Sebentar, ku lihat tiketnya dulu." Sehun mengambil tiket KTX-nya di dompet. Kemudian membacanya dan menoleh ke arah Inari. "benar kok. Aku memang duduk di sini, Agashi."

Inari menahan napasnya.

Tampaknya, perjalanannya ke Busan tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Bagaimana tidak, selama tiga jam ke depan dia harus duduk di samping pemuda Korea yang tampannya seperti pangeran turun dari langit. Apakah dia bisa santai?

"Mau sampai kapan terkejut seperti itu, Agashi? Tenang saja, aku tidak menggigit. Aku aman dan aku baik." Sehun tertawa sendiri melihat Inari yang justru malah terlihat risih berada di dekatnya.

Tidak bisa dibayangkan jika Inari itu salah satu penggemar beratnya. Bukan tidak mungkin wajah Sehun saat ini sudah tidak berbentuk lagi. Penggemar garis keras biasanya lebih anarkis dibanding haters. Sehun pernah mengalaminya ketika datang ke sebuah negara.

Turun dari pesawat, dia disambut oleh ratusan fans yang mengerumuni terminal kedatangan. Begitu lepas dari sana, ternyata tubuhnya luka karena terkena cakaran. Juga ada yang memar karena terdorong ke sana ke mari.

"Ah, kalau begitu, selamat menikmati perjalanannya," ujar Inari. Dia segera duduk dengan baik menghadap ke depan. Sesekali ia melirik ke arah Sehun yang masih saja tersenyum di balik masker hitamnya.

Tadi, perasaannya biasa-biasa saja saat Sehun mengajaknya berlari. Tapi sekarang rasanya beda. Inari merasa jantungnya berdetak dan berlomba dengan waktu.

Apa karena dia baru sadar bahwa Sehun itu sangat berkharisma?

Inari berdehem. Lalu mengambil air mineral dari ransel dan meminumnya. Setelahnya, Inari merasa lebih rileks. Ia bahkan tak segan-segan untuk menoleh ke arah Sehun dan memulai perbincangan.

"Aku naik KTX karena nonton Train To Busan loh. Jadi, sekarang aku sedikit paranoid. Takut ada zombie betulan."

Sehun yang mendengarnya langsung tergelak. Tangannya menepuk-nepuk pahanya sendiri. Inari itu sudah besar tapi masih merasakan hal yang seperti itu.

"Bahkan walaupun kau datang ke lokasi shooting Resident Evil, kau juga tidak akan bertemu dengan zombie, Agashi."

Inari terkekeh. Sehun benar. Secara tidak langsung, baru saja dia membuka aib bahwa dia ini penakut sekaligus berdaya imajinasi tinggi.

"Kau benar, Mister. Sekali pun aku datang ke Korea aku juga tidak bertemu dengan Gong Yoo Opa."

"Kau ternyata Korean addict juga, ya. Lucu sekali," ejek Sehun lalu melepas maskernya setelah memastikan bahwa tempat itu aman dari paparazi dan sesaeng fans.

Tapi untuk jaga-jaga, sekarang tubuhnya miring ke arah kanan, separuh menghadap Inari yang mulai menetralisir diri.

"Caramu mengatakan 'oppa' terdengar sangat kaku. Here, let me help you. Say oppa with your heart, Agashi. Bukan opa." kepala Sehun menggeleng, lalu tersenyum sambil mengedipkan mata, "tapi ouppaa! dengan nada dan perasaan."

Inari tergelak. Lalu menggelengkan kepala melihat tingkah Sehun. "Tidak, tidak. Aku tidak berencana untuk mengucapkannya lagi. Aku malu nih sekarang. Kau harusnya maklum, Mister. Aku kan bukan native speaker."

"Makanya aku akan mengajarimu berbahasa Korea. Oke?"

"Iya, iya. Baiklah. Jadi sekarang kau mau aku memanggilmu ouuppaaa? Seperti itu?"

"Tergantung berapa umurmu berapa sekarang. Aku dua puluh empat. Kalau kau lebih muda dariku, kau boleh memanggilku oppa."

Mata Inari membelalak. Bagaimana mungkin pemuda seimut Sehun sudah berumur dua puluh empat. Inari kira Sehun itu baru menginjak usia remaja. Wajahnya lembut dan lucu kalau dilihat baik-baik.

Tapi ternyata, Sehun bahkan sudah berada di umur layak menikah. Orang Korea ini keren sekali. Sudah tua pun terlihat muda.

"Kita sama. Aku juga dua puluh empat. Bagaimana?"

"Really?" Sehun terlonjak. "kau juga dua puluh empat? Eh tapi tunggu dulu. Di Korea, perhitungan umurnya beda. Umur internasionalku sekarang dua puluh tiga. Tapi umur Koreaku dua puluh empat."

"Bagaimana bisa seperti itu? Kenapa jadi lebih tua satu tahun?"

Sehun tersenyum menanggapi ketidaktahuan Inari. "Kau benar-benar tidak pernah dengar, ya? Kalau begitu kau memang bukan K-Popers. Haha. Begini, usia orang di Korea itu sudah dihitung satu sejak mereka lahir. Makanya kami punya dua perhitungan umur yang berbeda."

Inari melongo. Lagi, dia mendapatkan cerita baru mengenai Korea.

Tentang keretanya yang nyaman dan tertib, tentang warganya yang disiplin, tentang musim semi yang indah, tentang perhitungan umur dan ...

tentang teman sebangku yang sangat tampan.

"Tapi daripada kau memanggilku mister, tak apa, kau panggil aku oppa saja, dan aku akan memanggilmu noona."

Inari mengangkat jarinya, lalu menunjuk hidungnya sendiri. "Me? Nuna?"


***Swear It To The Sky!***

SWEAR IT TO THE SKY! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang