Arga - 1. Switched
Perlahan, Arga membuka mata dengan susah payah. Menurutnya, tidak ada yang lebih menyebalkan daripada harus bangun pagi di hari Senin.
Tunggu, tunggu.
Ini bukan kasurnya. Itu bukan meja belajar Arga. Itu juga bukan lemari pakaiannya. Berarti ini ... bukan kamarnya?
Anjrit, gue dimana? batin Arga panik.
Ia melihat sekeliling ruangan. Seprai dengan aksen pink-putih, meja belajar putih, tembok yang dicat pink-putih, dan gorden pink. Semuanya serba pink dan putih. Berarti, bukan kamar adiknya--Abigail--juga.
Mata Arga tertumbuk pada jam yang tergantung di dinding. Pukul enam pagi. Arga buru-buru beranjak dari kasur dan berjalan menuju pintu putih yang ada di dalam kamar itu.
Pasti kamar mandi. Gue yakin, pikir Arga dengan sok taunya.
Perkiraannya tepat. Memang, itu adalah kamar mandi. Arga masuk ke dalamnya lalu menutup pintu. Tanpa pikir panjang, ia membuka pakaiannya dengan cepat. Arga tak sengaja melihat pantulan wajahnya di cermin dan ....
"HOLY SH ...," teriakan Arga terpotong saat menyadari bahwa ia tidak memakai baju sama sekali. Dengan wajah merah padam, Arga mengambil handuk putih yang ada di dalam toilet.
Ini tidak mungkin. Masa dirinya, Arga Araditya Lesmana, sekarang berubah wujud menjadi ... Arin?
"Anjrit, kenapa gue jadi di badan cewek bacot itu?" tanya Arga pada dirinya sendiri. Ia langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan, baru menyadari betapa bodohnya suara yang keluar dari mulutnya. Suara Arin, tentunya. Suara paling cempreng yang pernah Arga dengar.
Sialan. Sekarang, gue mandek di tubuh Arin-Arin kampret itu? Gimana bisa? Arga bertanya-tanya dalam hatinya.
Setelah sedemikian lama berpikir, Arga tetap saja tidak mendapat jawaban logis mengapa jiwanya ada pada raga Arin. Tanpa disadari, sudah nyaris 10 menit Arga merenung.
"ARIN! UDAH MANDI BELOM LO? LAMA BANGET SIH!" teriak seseorang sambil menggedor-gedor pintu kamar Arin. Suara cowok. Arga berasumsi bahwa itu merupakan salah satu kakak Arin.
Tanpa membalas teriakan kakak Arin, Arga keluar dari kamar mandi lalu mengambil pakaian dalam dan seragam sekolah milik Arin. Sambil memejamkan mata, ia mengenakan pakaian. Susah, banget malah. Tapi Arga tidak peduli. Ia takut pingsan jika melihat apa yang ada di bawah baju yang sekarang sudah ia kenakan.
Bukan pingsan karena terkesima, tetapi pingsan karena trauma.
Arga mengusir pikiran tersebut jauh-jauh. Ia menyemprotkan bajunya dengan salah satu parfum milik Arin sampai wangi sekali, mengingat dirinya yang belum dan tidak mau mandi.
"Udah, gue udah selesai ... Kak," sahut Arga sambil keluar dari kamar dengan canggung.
Arta, kakak Arin yang tadi meneriakinya, menaikkan satu alisnya. "Tumben lo manggil gue pake 'Kak'. Biasanya, lo manggil nama doang."
Arga berusaha sok-sok cuek. "Lagi pengen manggil 'Kak' aja."
Tiba-tiba, muncul seorang cowok yang berwajah sama persis dengan Arta. Tentu saja, ia adalah Arza, saudara kembar Arta. "Halah, masih aja nggak jelas lo, sampe sekarang. Ayo, berangkat sekarang."
"Tapi gue belom sarapan. Laper tau," gerutu Arga.
Arza menaikkan satu alisnya. "Sejak kapan lo sarapan di rumah? Biasanya, lo maunya 'kan sarapan di sekolah biar bisa modus sama cowok lo."
Arga terdiam, berpikir.
Cowoknya Arin siapa ya? tanya Arga dalam hati. Selama ini, ia memang tidak terlalu peduli dengan pasangan-pasangan yang ada di angkatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Switch - Arga
Teen FictionArga merasa seperti ketiban durian busuk saat tau bahwa Arin tinggal di depan rumahnya. Sepertinya, cewek itu selalu saja mengganggu hidup Arga. Setiap Arin membuka mulut atau melakukan sesuatu, ingin sekali Arga menimpuk kepalanya dengan bola tenis...