Arga - 5. Dinner
"Arin!" panggil seseorang sambil mengetuk pintu kamar Arin.
Arga menoleh dan membuka pintu. Tampak salah satu kakak laki-laki Arin, entah Arta atau Arza. Arin bilang, Arza lebih tinggi dari Arta dan Arta rambutnya lebih acak-acakkan dari Arza.
Sebenarnya, mereka berdua tampak sama saja di mata Arga. Tetapi ia yakin bahwa yang baru memanggilnya adalah Arta.
"Kenapa?" tanya Arga singkat.
"Sepuluh menit lagi makan malem," ucap Arta lalu menuruni tangga.
Arga menutup pintu kamar lalu mengerutkan keningnya.
Makan malam sekeluarga bareng-bareng gitu maksudnya? tanya Arga dalam hati.
Aneh. Ini adalah suatu hal yang tidak pernah Arga lakukan bersama keluarga aslinya. Untuk apa makan bersama? Toh, bisa makan sendiri-sendiri juga. Tidak penting, hanya membuang waktu, begitu menurut Arga.
Seumur hidupnya, Arga benar-benar tidak pernah mengalami makan bersama keluarganya. Ibunya adalah wanita karir yang gila kerja. Ayahnya juga merupakan manager salah satu hotel, tapi ia tidak sesibuk istrinya. Tapi Arga sudah menganggap beliau bukan ayah kandungnya karena ayah Arga sering main fisik terhadap anaknya sendiri.
Cukup dengan segala curhatan ini, pikir Arga sambil membuang jauh-jauh ingatannya tentang kedua orang tuanya. Ia keluar dari kamar Arin lalu berjalan cepat menuju ruang makan.
Di meja makan, tampak ibu Arin sedang duduk di salah satu kursi, dengan kursi kosong di sebelahnya. Ada kedua kakak kembar Arin yang sedang asyik mengobrol dengan ayah Arin tentang pertandingan bola semalam.
Melihat anak perempuannya sudah datang, ibu Arin langsung tersenyum. "Nah, semuanya udah lengkap. Ayo, Rin, cepetan duduk."
Arga duduk di sebelah ibu Arin. Ini aneh. Banget.
Ayah Arin berdeham lalu memimpin keluarganya berdoa. Sungguh, Arga bahkan tidak bisa fokus berdoa karena masih merasa aneh dengan segala acara makan malam ini.
Seusai berdoa, semuanya mulai mengambil makanan, kecuali Arga. Ia masih mengumpulkan napsu makan dan niat untuk menjadi semirip mungkin dengan Arin. Sulit, mengingat biasanya Arga sangat amat cuek dan datar, serta tajam.
"Arin, kok belom mulai makan?" tanya ibu Arin.
Arga berdeham. "Eh, iya ... Ma."
Ia mengambil lauk untuk nasinya dan makan dalam diam. Belum sampai 5 menit, ayah Arin sudah membuka pembicaraan.
"Gimana di sekolah, Ta, Za, Rin?" tanya ayah Arin.
"Minggu depan banyak tugas, Pa," jawab Arza.
Arta mengangguk setuju. "Aku juga banyak ulangan sama tugas."
"Arin?" tanya ayah Arin.
Arga berhenti makan. "Eh, ada ulangan Kimia, hari Senin besok. Nanti malem sama besok mau belajar, Pa. Takut kalo nilainya jelek, nanti nggak naik kelas. Terus nggak lulus. Nggak dapet kuliah. Nggak dapet kerja, terus jadi perawan tua deh."
"Ah, kamu udah terlalu sering belajar. Jalan-jalan aja lah dulu, refreshing dikit," celetuk ibu Arin.
Sering belajar? Arin katanya sering belajar, tapi sempet-sempetnya pacaran. Nyeh, komentar Arga dalam hati.
Ayah Arin mengangguk. "Kamu jalan aja, ke mana gitu. Daripada di rumah melulu, belajar mulu."
Keluarga ini yang aneh atau keluarga gue yang aneh? batin Arga.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Switch - Arga
Teen FictionArga merasa seperti ketiban durian busuk saat tau bahwa Arin tinggal di depan rumahnya. Sepertinya, cewek itu selalu saja mengganggu hidup Arga. Setiap Arin membuka mulut atau melakukan sesuatu, ingin sekali Arga menimpuk kepalanya dengan bola tenis...