Arga - 9. Sorry
Gue nggak tau apa yang baru gue lakukan.
Arga berbaring di atas kasur Arin, menatap langit-langit kamar cewek itu dengan kosong. Perlahan, ia menyentuh bibirnya sendiri. Kesambet apa dia, sampai berani-beraninya mencium Arin? Kenapa ia bisa-bisanya mencium Arin? Kenapa?
Pertanyaan itu masih terngiang-ngiang di telinga Arga, memenuhi otaknya sampai ia tidak bisa tidur.
Kenapa gue nyium orang yang gue benci?
Arga beranjak dari kasur Arin lalu mengacak-acak rambutnya--rambut Arin. Gue nggak bisa diem gini aja. Gue butuh si Pocong yang telah menyimpan kunci gue selama ini. Antisipasi juga, kalo tau-tau Arin kepo dan buka kotak itu.
Ia memakai sandal Arin lalu keluar dari kamarnya. Berbekal sebuah senter dan jaket Arin yang tebal, Arga keluar dari rumah Arin. Dengan langkah panjang, Arga berjalan menuju rumah aslinya.
Seperti biasa, Arga melempar kerikil ke jendela kamarnya yang ditempati Arin. Sampai kerikil ke-9, tidak ada sahutan sama sekali.
Sialan. Masa gue harus dobrak ke dalem? pikir Arga sambil merogoh saku jaket Arin yang di dalamnya terdapat kunci cadangan rumah aslinya. Coba sekali deh. Demi si Pocong.
Arga melempar kerikil lagi, kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Tetap saja tidak ada sahutan apapun. Kesal, Arga akhirnya membuka pintu rumahnya dengan kunci yang ada di tangannya dan dengan bantuan senter, ia berjalan menuju kamar aslinya.
Perlahan, Arga membuka pintu kamar yang ada di hadapannya. Ia langsung mendapati Arin sudah tertidur dengan lelap, padahal Arga jelas-jelas menyinari Arin dengan senternya.
"Kebo," ejek Arga pelan sambil mendekati kasur dengan langkah kecil-kecil.
Baru saja tangan Arga menyentuh guling pocong kesayangannya, mata Arin tiba-tiba terbuka. Refleks, Arga mematikan senternya.
"Gue tau lo ada di sana, Ga. Ngapain lo ke sini, hah? Nggak puas lo, udah menghilangkan keperawanan bibir gue? Gue tau gue pernah nyium Alexis, tapi waktu itu, gue mingkem tau. Jadi, itu nggak gue itung sebagai ciuman. Intinya, gue nggak terima lo cium-cium gitu aja. Lo kira gue boneka?!" semprot Arin dalam kegelapan.
Arga gelagapan mendengar nada tinggi dari suara Arin. "Gue--"
"Pergi lo, Setan! Lo kira, lo doang yang bisa jahat? Gue tuh, udah mati-matian ngebelain lo di depan orang tua lo. Gue udah berhasil bikin mereka luluh. Gue berhasil memperbaiki hidup lo, seperti apa yang lo bilang waktu itu. Terus yang gue dapet apa?" potong Arin dengan kesal.
Sekali lagi, Arga terkesiap dengan omelan sosok di hadapannya. "Gue ke sini cuma mau--"
Dalam kegelapan, mata Arin memancarkan kemarahan. "Mau apa lagi lo? Mau ngancurin hubungan gue sama Davin? Mau bikin hidup gue sengsara? Mau ngelakuin hal-hal jahat lagi ke gue? Kenapa sih, lo selalu aja--"
Perkataan Arin terpotong karena Arga sudah membekap mulutnya. Entah bagaimana caranya, ia berhasil menemukan mulut Arin--mulutnya sendiri--dalam kegelapan.
"Gue cuma mau ngambil si Pocong, oke? Nggak usah heboh gitu," ucap Arga pelan.
Arin menggeleng sambil menjauhkan tangan Arga dari mulutnya. "Lo udah kelewat batas. Lo kira, gue selancang itu apa? Walaupun gue tukeran tubuh sama lo, bukan berarti gue jadi pengen tau semua hal tentang lo. Lo tau yang lancang! Asal buka-buka diary orang, pake nyium-nyium segala. Dasar cowok mesum! Dan gue nggak mau ngasih pocong lo karena Arta, Arza, sama ortu gue pasti bakal kaget setengah mati kalo ngeliat ada pocong di kamar gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Switch - Arga
Teen FictionArga merasa seperti ketiban durian busuk saat tau bahwa Arin tinggal di depan rumahnya. Sepertinya, cewek itu selalu saja mengganggu hidup Arga. Setiap Arin membuka mulut atau melakukan sesuatu, ingin sekali Arga menimpuk kepalanya dengan bola tenis...