Dua Puluh Enam

2.2K 103 0
                                    

Kini giliran Earnest memasuki ruang ICU untuk menjenguk Zweetta.

Kakinya bergetar hebat saat ia mulai melangkah masuk setelah memakai beberapa perlengkapan yang di wajibkan ketika hendak memasuki ruang ICU.

Hanya ada suara mesin pendeteksi tekanan jantung Zweetta yang terdengar. Selebihnya, ruangan itu begitu hening. Aroma obat-obatan mulai menyeruak memasuki indera penciuman Earnest.

Gagal pertahanannya untuk tegar begitu suara mesin itu terdengar semakin nyaring di telinganya. Belum lagi ketika ia melihat guedel yang terpasang pada bibir Zweetta.

"Oh God .... " sesaat Earnest terisak, ia berpegangan pada ujung hospital bed Zweetta karena ia merasa bahwa sekarang kakinya benar-benar tak berotot.

Earnest terisak. Lihat! Betapa rapuhnya ia ketika melihat Zweetta tak berdaya seperti ini. Ingin rasanya ia menggantikan posisi Zweetta diatas hospital bed itu. Memindahkan seluruh rasa sakit Zweetta ke tubuhnya. Masih akan banyak kemungkinan yang terjadi setelah Zweetta terbangun nanti dan Earnest tak sanggup membayangkan itu semua.

Dengan perlahan Earnest menyeret kakinya, meraih sebuah kursi yang di sediakan di samping hospital bed. Earnest menghempaskan bokongnya di atas kursi itu. Ia memandang Zweetta begitu dalam, meski tatapannya kali ini tak mendapat balasan dari Zweetta. Tak seperti biasanya, saat Zweetta selalu menatap balik mata Earnest dan tersenyum sangat manis.

Lagi dan lagi, pria yang terlihat cuek dan dingin itu terlihat begitu rapuh saat ini. Jika Earnest saja sangat rapuh ketika menghadapi keadaan ini, bagaimana dengan Nicole? Atau Ronald? Dan Elbert? Bahkan Earnest terlihat lebih rapuh dari Lorine saat tadi wanita itu berada di dalam ruang ICU ini. Tidak, Lorine juga rapuh, sangat rapuh. Ia hanya berpura-pura tegar karena ia tahu Zweetta sangat tidak suka melihat Mommynya menangis. Bagi Zweetta Lorine adalah wanita terkuat di hidupnya, ia tak pernah melihat Lorine menangis kecuali di hari-hari bahagia dan kejadian beberapa waktu lalu saat Aunty Arine menghina keluarga mereka.

"Wake up, Babe! Please... Wake Up, Zweetta!" Earnest terisak.

Kedua tangannya bertumpu pada buku-buku tangan Zweetta. Ia menggenggam tangan Zweetta dengan lembut.

"Please... Buka matamu untukku, Zweetta." Earnest memberanikan diri untuk menatap wajah Zweetta.

Namun, Apa yang terjadi, Earnest kembali terisak. Bahkan suara isakannya nyaris memenuhi ruangan ini.

Earnest bangkit dari duduknya, ia membungkuk tepat di depan wajah Zweetta.

"Bangunlah, Babe! Aku berjanji ketika kau sudah bangun, aku akan menuruti semua maumu, termasuk untuk menikah dengan keana. Aku berjanji, Babe! Bukalah matamu!"

Earnest mencium kening Zweetta sembari terisak. Bahkan ia nyaris kehabisan napas karena menahan agar suara isakannya tidak mengeras.

Ceklek!

Terdengar knop pintu ruang ICU diputar. Earnest menghapus air matanya kasar dan melihat siapa yang datang. Rupanya dokter Edwin, dokter yang menangani Zweetta memasuki ruangan ICU ini bersama seorang perawat.

"Permisi, Tuan. Mohon keluar sebentar karena kami akan melakukan pemeriksaan," ucap dokter Edwin dengan sopan.

"Baik, Dok," Earnest mengangguk. Ia berjalan meninggalkan Zweetta bersama dengan dokter dan perawat itu.

Saat tubuhnya telah berada tepat di depan pintu, Earnest memutar kembali posisi tubuhnya, ia memejamkan mata dan berharap semoga saat ia membuka matanya Zweetta telah terbangun dari tidurnya. Tapi nihil, Earnest menghela napas kasar lalu keluar dari ruangan ICU dengan mata yang sembab akibat menangis.

"Tante, Nicole, Ronald," bisiknya ketika ia telah sampai di depan pintu ICU.

Mereka hanya terlibat baku tatap. Lorine masih setia memandang  Zweetta dari luar ruangan ICU melalui kaca besar yang ada di hadapannya.

Mereka semua sama rapuhnya, dimana saat mereka harus kehilangan sang little Arizona dan juga melihat keadaan Zweetta yang sangat menyayat hati.

Berbagai macam alat medis terpasang pada tangan dan juga jarinya, hidung, dada dan juga bibir Zweetta. Siapa orangnya yang tidak tersayat melihat pemandangan seperti itu. Orang yang mereka sayangi sedang pergi entah ke mana.

"Kau kuat, Sayang. Anak Mommy kuat!" bisik Lorine seolah-olah Zweetta akan mendengarnya dari dalam sana. Air matanya terus mengalir begitu deras tanpa henti.

"Roy, bagaimana?" tanya Earnest pada Ronald.

Ronald yang sedang fokus menatap Zweetta di dalam sana terpaksa menoleh untuk memenuhi panggilan Earnest.

Ronald memberi kode kepada Earnest untuk duduk di sebuah kursi yang tersedia di depan ruang ICU. Meninggalkan Lorine dan Nicole yang masih setia memandang Zweetta di dalam ruangan ketat itu.

"Semua beres, dugaanmu benar, Er. Didi mencampurkan zat berbahaya ke dalam susu yang di minum Zweetta. Zat itu biasa di gunakan untuk praktik aborsi," jelas Ronald setelah ia menghempaskan bokongnya di kursi dan diikuti oleh Earnest.

"Tapi, tidak mungkin jika hanya didi pelakunya. Pasti ada dalang di balik semua ini, Roy," Earnest menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.

"Maura," ucap Ronald singkat.

"Maura?"

"Ya, mungkin dia."

Earnest berfikir, bisa jadi wanita itu yang berusaha mencelakai Zweetta.

"Kau tenang, soal Maura biar menjadi urusanku. Kita harus bekerja sama dengan polisi. Tapi jangan biarkan polisi maju sebelum rencanaku berjalan lancar."

"Ya, aku dan Nicole sudah mendatangi kantor polisi tadi. Kita akan atur semua dengan baik. Kita harus tangkap dan jangan beri ampun kepada Didi maupun penyuruhnya."

Earnest mengangguk tanda mengerti.

Sekarang yang perlu mereka semua fokuskan adalah kesembuhan Zweetta dan penyelidikan kasus ini.

Earnest, Nicole, Ronald, dan juga Lorine berdiskusi mengenai hal ini. Mereka masih menunggu kedatangan Elbert esok hari untuk mengambil keputusan terakhir dari rencana mereka.

Malam ini, mereka berempat menemani Zweetta dari luar ruangan ICU. Hanya Nicole yang menemani Zweetta di dalam ruang ICU.

Zweetta [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang