Bagian 29

8.7K 401 9
                                    

Alder mengantarku pulang dengan selamat. Selama perjalanan menuju rumah, aku beberapa kali menangkap basah Alder senyum-senyum sendiri dan sesekali melirikku lewat spion. Terlihat jelas bahwa dia tengah bahagia, lebih tepatnya adalah bahagia karena hari ini kami sudah resmi berpacaran. Real! Bukan kontrak.

Sekarang, kami sudah berada di depan gerbang rumahku. Seperti biasa, aku menyerahkan helm yang telah kupakai padanya.

"Lo mau mampir dulu, Der?" tanyaku setelah merapikan rambutku yang agak berantakan.

"Pengennya, sih, mampir dulu, tapi gue ada janji sore ini."

"Oh, ya udah. Jangan ngebut bawa motornya. Kalo udah sampe rumah, jangan lupa itu lukanya diobatin, entar infeksi lagi," pesanku

Dia tersenyum. "Iya, iya, perhatian banget sih pacar gue." Alder mengacak-ngacak rambutku.

Aku tak tahan untuk tidak ikut tersenyum. Ditatap seperti ini oleh Alder, rasanya jantungku bakal meloncat keluar saking keras dentumannya.

"Perut lo udah nggak sakit lagi, Tar?"

"Hm? Perut gue?"

"Iya."

Aku ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kalau tadi hanya pura-pura sakit perut. Alder pasti marah. Tapi, jika diawali dengan kebohongan seperti ini, pasti akan ada kebohongan-kebohongan lain selanjutnya. Bagaimanapun juga, suatu hubungan harus didasari dengan kejujuran. Eh, tapi... tadi siang kan aku belum resmi jadi pacar Alder. Ah, bodo! Niatku sekarang adalah berterus terang padanya. Bagaimana tanggapan Alder nanti, kuserahkan pada Tuhan.

"Sebenernya tadi gue nggak sakit perut, Der. Gue cuma pura-pura. Gue nggak mau lo ribut sama Rakha di kantin tadi. Dan itu satu-satunya cara buat ngalihin perhatian lo dari Rakha. Sorry." Aku menunggu reaksi Alder setelahnya, namun dia tetap diam dan malah menatapku tanpa ekspresi.

Aku meneguk ludah. Berpikir kalau Alder pasti marah.

Alder turun dari motor dan kini sudah berdiri di hadapanku. Dia lumayan tinggi—tinggiku hanya sepundaknya—membuatku sedikit mendongak untuk menatapnya. Dia mendekat. Aku hanya mampu memejamkan mata, agak takut melihat ekspresi Alder saat ini. Kemudian aku merasakan sebuah jentikan di dahiku. Aku membuka mata.

"Lain kali jangan bohong lagi, gue tadi beneran khawatir sama lo."

Aku meringis. "Iya, nggak lagi-lagi. Gue juga khawatir kalo sampe lo ribut sama Rakha di kantin tadi. Ya walaupun lo akhirnya berantem juga di taman belakang sekolah, sih," cicitku.

"Tapi gue seneng lo peduli dan perhatian sama gue kayak tadi. Lo takut banget ya kalo tadi gue beneran mati?" Dia menarik kedua pipiku.

Aku manyun. "Pokoknya lo jangan ribut lagi kayak tadi, gue nggak mau lo kenapa-kenapa."

"Iya, gue usahain buat nggak ribut lagi."

"Ini, lepasin tangan lo, pipi gue sakit tahu." Aku menepuk-nepuk tangannya.

"Lo makan apa, sih, Tar? Pipi sampe ngembang kayak gini? Hahaha."

"Ish!"

Akhirnya dia melepaskan tangannya dari pipiku. Pasti pipiku sudah memerah.

"Ya udah, gue pamit pulang, ya." Dia beranjak naik ke atas motornya.

"Iya, hati-hati," pesanku lagi.

Dia tersenyum, kemudian melajukan motornya, dan perlahan sosoknya hilang di belokan. Aku pun masuk ke dalam dengan senyum terkembang di wajah. Akan tetapi, aku terlonjak kaget karena Rian sudah nangkring di depanku, tepat setelah pintu ruang tamu kututup.

Truth or Dare (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang