2. Ayah?

92 14 5
                                    


Play music
🔈🔉🔊

"Masya Allah Ibu." Adis memangku ibunya mereka berada tepat di tengah jalan.

Ibunya pingsan, tidak banyak orang yang lalu lalang di sana, bahkan hampir tidak ada sama sekali. Ia menggendong ibunya ke motor yang langsung ia lajukan ke rumah sakit terdekat, tangannya bergetar, jantungnya berdetak tak seirama,dari sudut matanya terlihat air matanya yang ingin jatuh di antara hujan yang masih setia menggiring mereka berdua.



Tepat di menit ke 30 mereka sampai di rumah sakit yang tak terlalu besar. Ibunya ditangani dengan cepat. Adis menunduk di depan ruang UGD tak banyak yang ia dapat lakukan. Hp-nya berdering beberapa kali. Sebuah telpon dari Ayahnya.

Gadis itu tau bahwa hubungan ibunya dan ayahnya sedang tidak harmonis, ia tidak ingin menambah fikirian ibunya. Alhasil telpon dari ayahnya berhasil ia abaikan. Adis mematikan ponselnya dan memasukannya ke dalam tasnya.

Ia masih memakai seragam sekolah dengan rok pendek di atas lutut dan baju yang membentuk lekuk tubuhnya. Bajunya basah kuyup dengan mata sayu dan tetesan air yang mengalir dari rambut coklatnya.

Tak lama kemudian laki-laki paruh baya keluar dari ruangan itu. Dia dokter yang baru saja menangani Ibunya. "Gimana keadaan Ibu saya Dok?" tanya Adis khawatir.

"Ibu kamu cuma mengalami demam, kecapean, Dia hanya perlu sedikit istirahat, ini resep obat silakan kamu tebus saya ke sana dulu." Laki-laki itu meninggalkan Adis yang sedang fokus memperhatikannya.

Anak itu masuk menemui Ibunya yang sedang terbaring lemas di atas kasur, ditemani oleh suara infus yang turun.

"Bu?" panggilnya pelan pada ibunya.

Tidak ada jawaban sama sekali dari ibunya, ia hanya pasrah dan mulai menunduk di tangan Ibunya yang dingin.

Beberapa menit kemudian tangan ibunya bergerak. Adis sontak mengangkat wajahnya dan menatap ibunya kembali, matanya sembab.

"Ibu jangan sakit," ucap Adis getir mengusap lembut rambut Ibunya.

"Ibu baik-baik aja sayang." wanita tua itu memeluk Adis penuh kasih sayang.

"Ibu, Adis telpon Ayah ya?" Ibunya hanya menggeleng dan memalingkan wajahnya dari Adis matanya menatap langit-langit di sudut matanya ada segelintir air yang siap jatuh membasahi pipinya.

"Kenapa?"

"Ayah kamu punya istri baru Dis." Ibunya mengusap wajahnya yang sudah basah oleh air matanya.

"Ibu gatau salah Ibu apa sampai Ayah kamu tega gitu." Ibunya cukup kuat.

"Sudahlah, ada Adis di sini," ucap Adis menenangkan.

"Adis keluar dulu." Gadis itu keluar ruangan dan mengutak atik ponselnya. Dia mencari nomor Aldy di daftar kontaknya.

Aldy: Hallo dek kenapa?

Adis: Kakak udah tau soal Ayah?

Aldy: Kakak tau sebelum kamu tau.

Adis: Kenapa kakak nggak ngasih tau Adis?

Aldy: Karna kamu belum saatnya tau.

Adis: Lalu sekarang Ibu sakit, Ibu dirawat di rawat di rumah sakit aku masih belum saatnya tau? Kak Adis juga anak Ayah sama Ibu.

Aldy: Ibu sakit?

Adis: Hm.

Aldy: Kakak ke sana sekarang SMS alamatnya.

Adis: Cepatlah ke sini, ceritain semuanya sama Adis.

Sambunganpun terputus. Adis kembali memasuki ruangan dengan banyak alat medis. Ibunya masih terbaring kaku di sana. Sesekali air matanya menetes, dan langsung dibalasnya dengan sebuah senyum tulus menguatkan dirinya.

Adis kembali tertidur di samping Ibunya. Anak itu terlihat lelah setelah seharian ia bersama Ibunya. Harusnya sekarang ia sudah istirahat di rumah neneknya. Dengan seragam basahnya gadis itu tertidur pulas.

"Dimana Ibu saya?" suara laki-laki yang tak asing baginya sontak membangunkan Adis dari tidurnya.

Adis menemui laki-laki yang berada di depan. Dia Aldy. Dengan wajah pucat ia menatap Adis penuh tanya, tanpa sempat Aldy bicara Adik perempuan semata wayangnya itu Adis menarik tangan Aldy keras dan membawanya ke taman.

"Kenapa Ayah?" tanya Adis to the point.

"Sudahlah, dia bukan Ayah kita." Aldy duduk di sebuah kursi.

"Kenapa?"

"Kakak udah tau sebelum Ibu tau dis, waktu tadi pagi bahkan sejak tadi malam Ayah sama Ibu itu berantem. Lalu entah kemana Ayah pergi dengan mobilnya malam itu.

"Ibu sama Kakak yang penasaran mengikutinya dengan sepeda motormu. Ayah mampir di suatu club malam. Tak lama ia keluar dengan satu orang perempuan yang kalo diliat sudah kenal lama sama Ayah."

"Lalu?"

"Yagitu. Kakak sama Ibu pulang terus besok pagi kakak kerja."

"Udah jelaskan? Dimana Ibu sekarang?" Tanya Aldy yang dari tadi khawatir.

"Sini." Adis menuntunya ke kamar Ibunya.

Aldy seketika memeluk ibunya erat, air matanya jatuh membasahi pipi ibunya. Adis hanya memaku melihat keduanya. Ketika dua orang yang dicintainya saling berpelukan. Gadis itu ikut memeluk Ibunya. Mereka bertiga saling menguatkan.

Ibunya kuat. Benar-benar kuat. Bahkan ketika dua pasang insan menjalin kasih lalu salah satunya pergi dengan wanita lain itu tak sedikit orang yang bercerita lewat social medianya, bahkan banyak.

Tapi Ibunya, ia punya 3 orang anak dan hanya bercerita pada satu anak. Bahkan Aldy pun tau tanpa diceritakan ibunya.

Setelah berpelukan beberapa saat sepasang kakak beradik itu duduk. Tepat di menit ke 20 Ibunya bercerita.

"Dulu Ayah kalian sering bilang buat sehidup semati. Sekarang? Kalian lihat sendiri hasilnya. Ia hanya pandai berkata-kata tanpa membuktikan."

"Dulu Ayah kalian sering larang Ibu kemana-mana cuma buat nemenin dia di rumah. Sekarang? Dia sendiri secara tidak langsung ngusir Ibu dari rumah, Ibu mau pisah."

"Ibu capek, kalo gini terus ini bukan sekali duakali Ayah kalian gini bahkan puluhan kali itu yang ketauan. Ibu selalu sabar, tetap baik seperti biasanya tapi tetap saja. Dia memilih orang yang belum tentu mau liat keriputnya dia, tua sama dia, bahkan yang meluk dia disaat dia sudah tak punya siapa-siapa." Ibunya bicara panjang lebar diiringi air matanya yang terus jatuh.

Adis melihatnya miris, bahkan tidak kuat, lalu ia memelih untuk keluar dari ruangan dan duduk di taman seraya mengingat ayah dan ibunya dulu.

Mereka berlima dulu sering duduk santai di taman kota hanya untuk sekedar melihat air mancur, mereka juga sering pergi ke bandara hanya untuk melihat pesawat lepas landas.

Dulu mereka tak sepunya sekarang, uang hanya cukup untuk makan dan sisanya ditabung atau hanya untuk sekedar jalan-jalan di sore hari.

"Kadang aku rindu kehidupan yang lebih sederhana daripada harus mempunyai mobil mewah dan rumah besar," batin Adis, ia kembali meringis air matanya kembali jatuh.

Keluarga kecilnya sering mengunjungi rumah neneknya dua minggu sekali, hingga akhirnya mereka mempunyai kehidupan yang mulai meningkat.

Ada dua mobil mewah di rumahnya, rumah besar, dan keluarga yang mulai dingin. Yang hanya bertegur sapa ketika makan malam. Bahkan ketika makan malam Ayahnya sering pulang larut malam yang membuatnya tak sempat menemui anak-anaknya.

Adis fikir semua akan baik-baik saja. Adis fikir ini hanya masalah sebuah pertemuan yang mulai renggang. Adis fikir keluarganya baik-baik saja. Adis fikir ia punya keluarga yang lebih harmonis dari sebuah sinetron tv yang sering ditontonnya.

"Kamu nggak boleh sedih." Aldy mengusap lembut punggung adiknya yang dibalas dengan senyum manis dari Adis.

"Aku hanya sedikit rindu."

Next?

Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang