3. Apa Aku Lancang?

91 10 0
                                    

Happy reading❤

Adis masuk ke rumah dan seketika mereka langsung disambut oleh laki-laki yang bahkan dia tidak ingin menatapnya.

"Ngapain Ayah di sini?" Aldy dengan emosinya menyaringkan nada suaranya.

"Jaga omonganmu Aldy!" laki-laki paruh baya itu menunjuk Aldy dengan lantang.

"Apa? Apa yang mau Ayah lakuin di sini? mau bilang ke kita semua kalau Ayah punya Istri baru? Hah!?" Adis dengan suara nyaringnya berhasil membuat keheningan dalan ruangan itu beberapa saat.

"Diam! Ayah nggak pernah ngajarin kalian ngomong kayak gitu! Tutup mulut kalian dan masuk ke kamar!"

"Apa Ayah pernah ngajarin kami sopan santun? Apa Ayah sekarang sering perhatian sama kami? Nggak yah! Adis rindu suasana rumah kita yang waktu kecil dulu."

"Adis rindu jalan-jalan ke mall, ke rumah nenek, taman kota. Apa Ayah sekarang pernah ngomong atau basa-basi masuk ke kamar Adis? Nggak yah! Semua berubah semenjak Ayah punya istri baru!"

"Apa kamu bilang!?" Laki-laki itu mengangkat tangan kanannya bermaksud untuk menampar Adis.

"Apa Tio? Belum cukup kamu sakitin saya? Belum cukup kamu hancurin hati saya? Belum cukup kamu hancurin rumah tangga kita yang dari dulu kita buat susah-susah. Dan sekarang? Kamu juga ingin hancurin hati kecil dari buah hatimu? "

"Dan sekarang, biarlah kami bahagia di sini. Jangan ganggu kebahagiaan kami. Pulanglah ke rumah barumu bangun keluarga yang lebih indah dari keluarga kecilmu ini. Lupakan kami." Ibunya berlalu meninggalkan Tio yang masih memaku dan disusul oleh ketiga anaknya.

"Baik. Jangan pernah cari saya lagi." Tio keluar dan menuju mobil sedan hitamnya lalu melajukan mobilnya seketika.

***

Udara Bandung di pagi hari cukup membuat Adis terbangun di pagi hari. Ditambah lagi suara burung yang mengiringi paginya. Dengan secangkir coklat panas yang membuat semangat paginya kembali.

Adis menaiki motor maticnya dan langsung melajukan motornya menuju sekolah. Jarak dari rumah dengan sekolahnya tak jauh, bahkan hanya butuh 20 menit lebih untuk ke sana.

Pagi ini rasanya damai sekali, udara Bandung yang sejuk ditambah jalanan yang benar-benar jauh dari kata macet.

Ia berangkat sekolah ketika mentari mulai muncul di permukaan bumi. Semilir angin selalu menyapu pori-pori kulitnya di pagi hari.

Tepat di menit ke dua puluh Adis memasuki gerbang sekolah. Beberapa temannya sudah ramai hilir mudik, bahkan yang tak sedikit murid yang sudah duduk manis du depan kelasnya hanya untuk bergosip ria atau melihat para lelaki seksi di pagi hari.

"Pagi pak." Sapa Adis di depan pos satpam seraya menyondorkan sekotak bekal nasi.

Ia biasa membawakan bekal pada satpam sekolah, bahkan ia sudah menganggap satpam di sekolahnya adalah pamannya sendiri, Adis akrab dengan semua orang dia ramah.

"Pagi neng. Ceria amat mukanya." Suparman si satpam sekolah menyapanya.

"Ya gitu deh pa, oh iya bapak liat cowok yang keturunan Jerman itu ga?"

"Yang mana?"

"Pokoknya yang paling ganteng deh," tukas Adis.

"Kayaknya nggak ada deh neng, mungkin belum sampai kali." Suparman menebak-nebak.

"Nanti kalo ada dia, sampaikan rindu saya padanya oke?"

Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang