10. Cinta?

36 1 0
                                    

Happy reading😈

04.30

Lagi-lagi sebuah pecahan gelas kaca memenuhi ruangan, suaranya menggema jelas pada kamarku meski jaraknya mungkin cukup jauh.

Suaranya memang cukup terbiasa bagiku bahkan, bisa dikatakan sebuah alarm. Rasanya hidup memang sebuah ketidak adilan, dilahirkan disebuah keluarga yang sungguh sangat jauh dari kebahagiaan, aku pernah bahagia, dulu sebelum ayahku naik pangkat, sebelum ayahku punya uang lebih.

Memoriku masih mengingat jelas masa-masa itu, pernah suatu ketika aku dan ayahku berkeliling kota untuk melihat petasan pada malam lebaran, atau hanya sekedar melihat naga Cina wkwk,sederhana, bahagia memang bukan selalu tentang uang tapi kenyataan menuntut kita untuk punya uang, dan itu sungguh menggoda.

Aku juga masih ingat jelas bagaimana awal dari kekacauan ayah dan ibuku, dimana ia lebih memilih Meli untuk mennghabiskan uangnya, berkeliling pulau bahkan kaki jenjangnya sudah menginjak berbagai negara, berbeda dengan nasib ibuku yang kalo keluar pulau pun hanya ke padang, aku merindukan kota itu.

Waktu itu meli datang ke rumahku dengan pakaian seksinya, kaki jenjang yang ditambah heels, tak lupa lipstik merahnya, dan satu lagi rambut ikal yang berwarna merah.

Ia mencari Tio, karna ada tagihan kartu kredit yang belum dibayar oleh lelaki itu, ibuku yang membuka pintu waktu itu

"siapa?" tanya ibuku.

"Oh ini istri tua Tio?" ia menatap sinis ibuku.

"Apa maksudmu?"

"Tidak apa, mana Tio? kau sembunyikan dimana dia?"

sejak kejadian itu ibuku bisa dikatakan hampir gila, berpakaian kacau bahkan rambut yang biasa ia rawat mendadak menjadi gimbal acak-acakan.

Keadaan mendadak kacau entah kemana ingin mengadu, sedangkan Tio ia lebih memilih bersenang-senang bersama istri barunya. Keuangan? menyusut seketika, bahkan untuk makanpun harus menjual barang-barang yang ada.

Laki-laki memang begitu, ia diuji dengan harta dan pangkat dan hampir semuanya ga bisa nahan itu, setelah punya harta dan pangkat ia akan berfikir untuk mencari yang lebih dari apa yang belum ia punya.

Apa ini cinta? bukankah ini pilihan terbaik dari Tuhan? bagaimana jika pilihan terbaikpun akan tetap menghancurkan? apa cinta memang hanya tentang luka? bukan tentang sebuah kebahagiaan, bukan pula tentang sebuah kesetiaan tapi tentang bagaimana kita menjalankan prosesnya dengan nyaman, tapi bagaimana rasanya jika ini terlampau sakit?

Mana yang lebih sakit dari lukanya anak yang melihat ibunya di khianati? anak mana yang bisa menahannya? beritahu aku bagaimana cara menahannya.

Setelah beberapa bulan berlalu, Tio yang hanya balik kerumah cuma buat makan dan sekedar mandi lalu pergi, apalagi kalo bukan menemui Meli. memang begitukah?

Ibuku yang diam berbulan-bulan kali ini muak dengan tingkahnya yang selalu begitu terkadang pulang malam membawa Meli untuk tidur dikamarnya, sedangkan ibuku? ia memintanya untuk tidur bersamaku.

Pernah suatu ketika ibuku menarik rambut Meli dan mendorongnya hingga mengenai guci di rumah kami, bisa dibilang kekerasan tapi siapa wanita yang tahan dengan kelakuan Meli yang makin hari makin semaunya?

Apa cinta memang tentang mengkhianati? percayalah tak heran jika sebagian orang terjerumus dalam pergaulan malam yang memilukan, pikirku itu mungkin karna rasa kecewa dengan lingkungannya, tak mudah menjalaninya tapi hidup memang harus terus berjalan.

Kring kringg kringgg

Ponselku bergetar, sebuah telpon masuk dari nomor tak dikenal, siapa lagi yang menelponku pagi-pagi buta seperti ini? aku tak menghiraukannya dan langsung menyimpan ponselku di bawah bantal.

Malas sekali untuk bangun pagi ini,  mungkin sebagian orang juga akan sepertiku uring-uringan sampai matahari tepat di atas kepala.

Tak mudah terlahir di keluarga yang seperti ini, tak mudah juga menahan luka ketika yang lain memilih pulang ke rumah untuk berteduh, sedangkan aku lebih memilih halte jalan untuk berteduh.

Ting

Love🐽
Kok ga masuk sekolah?

Love🐽
Kamu di mana?

Love🐽
Aku di depan rumah kamu, kok sepi?

Pesan singkat dari Alfi membuatku langsung meloncat ke arah pintu, aku mengintipnya di jendela, suasana rumah hening setelah pertengkaran hebat melalui telpon genggam mereka memilih diam sesaat, karna diam memang jalan satu-satunya mengentikan perdebatan.

Tak sengaja mataku bertemu dengan mata Alfi di balik jendela, ia terlihat kesal, bajunya basah kuyup. Di luar memang hujan deras sejak tadi malam, entahlah ini bukan musim hujan tapi beberapa pekan terakhir hujan selalu mengguyur kota kami.

Aku mengambil payung putih bermotif bungaku "mari masuk, jangan di sini. Hujan." Alfi hanya menurut memarkirkan motornya dan berjalan mengikuti punggungku.

"Kamu kenapa ke sini? bukannya kamu sekolah?" tanyaku sembari menyapukan handuk ke wajah dan rambutnya.

"Kau tak menghubungiku sejak kemarin malam dis, aku khawatir, aku menelponmu sejak tadi malam dan tidak ada jawaban di sana, hanya operator." ia diam sejenak menunduk "Aku kira kau tertidur, paginya aku menelponmu dengann nomor sekolah dan kau juga tidak menjawabnya, kau muak denganku?" ia berkata pelan, terlihat wajahnya sedikit kecewa, ada rasa curiga di sana.

"Apa maksudmu?"

"Kau menemukan yang lebih baik dariku." aku memegang kedua wajahnya, menatap dalam mata sendunya "Aku yang lebih dulu mengejarmu, aku yang lebih dulu mencintaimu , dan aku yang berjuang lebih dulu, dan kau fikir apa semudah itu aku melepasmu? tidak Al, ini hanya masalah kecil yang kau besar-besarkan."

"Bukan begitu maksudku..." lirihnya.

"Apa aku pernah mengecewakanmu? hanya satu malam aku tak mengabarimu dan kau telah berfikir macam-macam tentangku, sedikit itukah kepercayaanmu?"

"Aku khawatir." kali ini ia menatapku tegas seakan-akan semua yang ku katakan bukanlah kebenaran, aku memeluknya lekat "aku mencintaimu, aku nyaman denganmu, aku takut kau menemukan yang lebih baik dariku karna dari awal memang bukan aku yang mengejarmu lebih dulu." Alfi meneteskan air matanya, ia terlihat lemah dan membalas pelukanku lebih erat.

"Aku baik-baik saja, berfikir baiklah tentangku, aku menyayangimu al." tanpa sadar aku juga menangis dipundaknya, berkata baik-baik saja itu tak mudah, ada luka yang tak bisa diceritakan di sana, ada banyak tangis, ada banyak beban.

Ting ting ting

Suara sendok macam paman bakso keliling dari belakang menyadarkan kami, sontak kami melepas pelukannya dan menoleh ke belakang "ada gue di sini, dilarang keras pacaran kallo ada gue titik!" kami tertawa melihat Aldy yang seolah-olah ia cemburu wkwk.

"Lagian salah siapa ga punya pacar, jelek sih." lidahku melet dan aku sontak tertawa keras memenuhi ruangan, rasanya ruangan yang berbulan-bulan lalu sepi baru hari ini di penuhi dengan tawa.


Thanks...

Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang