I

1.1K 47 10
                                    

Kami telah berkendara selama kurang lebih tiga jam dan belum ada tanda-tanda kami akan segera sampai. Cuaca panas membuatku terpaksa menurunkan kaca mobil di sampingku dan membiarkannya terbuka. Selama perjalanan, kami tidak pernah berbicara. Ibuku terlihat sangat fokus pada jalanan di hadapannya. Aku mengenakan kaus tebal dan jaket hitam yang membuatku benar-benar menyesalinya; Pasalnya, setelan itu membuatku merasa terpanggang.

Kami berkendara menuju sebuah kota kecil bernama Byzray dimana nenek dan kakekku tinggal. Aku akan dititipkan sebagai cucu baik dan penurut selama ibuku bekerja. Ibuku baru saja diterima sebagai salah satu pegawai bank di kota, dan ia pikir ia akan sangat sibuk sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk mengurusku; meskipun sebenarnya, aku telah mengatakan jika aku sudah dewasa untuk mengurus diriku sendiri, bahkan besok adalah ulang tahunku yang ke limabelas. Tetapi, ibuku tetaplah ibuku. Dia lebih mengikuti kata hati daripada mendengarkan ocehanku tentang seberapa dewasanya aku. Apa yang bisa aku lakukan selain menurut?

"Cally," panggil ibuku untuk pertama kalinya, membuatku mengalihkan pandangan dari jalanan ke arah ibuku. Ibuku melirikku sekilas kemudian, "Jadilah anak baik, jangan buat nenek dan kakekmu menyesali keputusan ini; aku sudah mendaftarkanmu di Qarray-salah satu sekolah tingkat tinggi di disini, di Byzray-jangan membuat ulah di sana," ibuku mengatakan itu seakan-akan akulah si pembuat onar selama ini.

"Ya, pasti," jawabku lirih. Kami telah hidup bersama-hanya aku dan ibuku-selama kurang lebih sebelas tahun, ayahku meninggalkan kami ketika usiaku tak lebih dari tiga tahun. Aku masih ingat bagaimana ekspresi ibuku saat aku menanyakan keberadaan ayahku kepadanya, saat kunjungan pertamaku ke Museum Candence; anak-anak lain pergi didampingi kedua orang tuanya, sedangkan aku hanya bersama ibuku.

"Ma... apakah mereka yang disebut ayah?" aku masih ingat aku bertanya sambil menunjuk kearah pria-pria yang berjalan bersama beberapa temanku.

"Ya..." jawab ibuku sambil tersenyum.

"Lalu, dimana ayahku ?" aku mendongakkan kepalaku untuk menatap ibuku.

Ibuku berjongkok di hadapanku untuk mensejajarkan pandangan kami, membuatku tidak perlu mendongak. "Ayahmu..."--suaranya bergetar--"Dia ada di suatu tempat yang tidak pernah kau pikirkan..."

"Kenapa? Kenapa dia tidak bersama kami? Apa dia tidak menyukaiku?" suaraku juga bergetar saat menyadari jika pernyataan itu mungkin saja benar. Ayahku tidak menyukaiku.

Ibuku tidak menjawab, dia hanya diam menatapku. Hal itu membuatku semakin yakin jika ayahku tidak menyukaiku. Air mata mulai memburamkan pandanganku, aku memeluk ibuku dan menyembunyikan air mata yang mengalir deras di pipiku. "Jadi benar, dia tidak menyukaiku? Jadi itu alasan dia pergi?" aku terisak membasahi setiap helai rambut ibuku.

"Shhh..." ibuku mengusap-usap punggung kecilku.

Mengingat itu membuat mataku berair, aku mengalihkan pandangan ke arah jalanan; dan mataku membelalak saat aku menyadari kami sudah berada di Byzray. Cepat-cepat ku usap mataku dan menegakkan dudukku.

Ibuku memberhentikan mobilnya di depan rumah yang sudah tidak asing lagi bagiku. Rumah sederhana dengan hamparan kebun anggur yang sangat luas sebagai halamannya. Kami turun dan memutar menuju bagasi mobil untuk mengambil koper-koperku. Aku menarik koperku melewati satu-satunya jalan aspal di antara kebun anggur, aku merasa seperti kurcaci di sini.

"Hati-hati langkahmu...!!" seru ibuku dari belakang, aku menoleh dan mendapati ibuku sedang kesulitan melangkah dengan dua koper di kedua tangannya. Aku tersenyum ke arahnya dan meneruskan langkahku.

Mendengar suara ibuku, nenek dan kakekku segera menghampiri kami dan membatu kami membawakan koperku. "Aku kira kalian tidak jadi datang," kata nenekku sambil mengelus puncak kepalaku.

DIMENSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang