"Aku pulang!!" seruku saat aku menaiki tangga rumah ini. Nenek dan kakekku tersenyum ramah ke arahku, aku membalasanya sambil melambai.
"Makananmu ada di meja makan," nenekku berkata sambil mengusap pundakku lembut. Aku mengangguk dan tersenyum kearahnya. Dia mengekoriku sampai ke kamar dan mengatakan jika tadi ibuku menelfon ketika aku masih di sekolah. Sayang sekali, aku melewatkan telfon pertamaku darinya.
Aku mengganti seragam sekolahku dengan kaos dan jins pendek, di sini sangat panas membuatku ingin berenang; bukan berarti aku bisa berenang.Aku memakan makananku di temani nenekku. Kami membicarakan banyak hal, sampai aku meihat sebuah pintu di dekat dapur. Aku mencoba mengingat ruang apa itu, tetapi tidak berhasil.
"Aku penasaran, ruang apa itu nek?" tanyaku sambil menunjuk pintu yang ku maksud
"Oh itu, dulu kami menyimpan hasil panen di sana, sebelum ada pondok kecil di samping." Di samping rumah ini memang ada rumah kecil untuk menyimpan anggur, dulu aku sering kesana hanya untuk mencuri beberapa butir anggur.
"Dan sekarang tempat itu adalah?" aku masih penasaran, aku bahkan baru menyadari keberadaannya.
"Kosong?" nenekku malah terdengar sedang menannyakan hal itu kepadaku. Aku menautkan alisku bingung. "Dulu, ibumu sering bermain di sana, entah apa yang ia lakukan, dia selalu mengunci pintunya."
"Dimana kuncinya?"
"Ada pada ibumu," tukas nenekku cepat. Dia membereskan meja makan dan kembali keluar untuk duduk bersama kakekku.
Aku menatap pintu itu lekat-lekat, berpikir bagaimana cara aku membukanya. Mungkin aku bisa menanyakan hal ini pada ibuku saat ia menelponku nanti, tapi entah kapan ia akan menelponku lagi. Aku menggenggam kalung pemberian ibuku kuat-kuat, aku merindukannya.
Tiba-tiba aku tersadar, aku menatap kalung itu lagi, kunci; apakah mungkin ? aku berjalan mendekati pintu itu dan menunduk. Aku memeriksa keadaan dan yakin jika tidak ada yang memperhatikanku. Aku memasukkan kunci kedalam lubang kunci dan "cklek" mataku membelalak tidak percaya, ibuku memberikannya padaku!!
Aku memutar knop pintu secara perlahan, dan "Wussszzz...." angin dingin menerpa tubuhku. Aku segera berlari masuk dan mengunci pintu di belakangku; takut jika nenek atau kakekku akan membukanya. Aku menatap lorong di depanku, aku seperti berada di lorong sempit di antara dua gedung. Kanan-kiriku adalah batu bata yang tersusun rapi. Gigiku bergemletuk kedinginan, "Sekarang atau tidak sama sekali!!" seruku bersemangat. Aku melangkahkan kakiku dan baru menyadari jika tempat ini bersalju. Aku memekik kegirangan, aku belum pernah melihat salju secara langsung sebelumnya, aku tinggal di negara tropis, dan aku bersumpah di balik pintu itu masih tetap negara tropis dengan panas yang menyengat.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan segera menyesalinya, di sini bernafas terasa menyakitkan. Aku membungkuk dan mengambil salju di dekat kakiku. Saljunya lembut, tetapi kakiku bahkan tidak bisa merasakannya, kakiku mati rasa. Aku menyesali pilihan bajuku sepulang sekolah tadi, pakaian ini tidak membantu sama sekali.
Lorong ini gelap, dan saljunya cukup tinggi. Itu berarti tidak pernah ada orang yang kemari sebelumnya. Aku berjalan perlahan menelusuri lorong ini, kemana ia akan membawaku? Aku sudah setengah menyerah saat aku mendengar suara bising dan cahaya menyilaukan dari ujung lain lorong ini, membuatku harus sedikit menyipitkan mataku. Aku segera berlari ke arah cahaya dan menubruk seseorang yang sedang berdiri di depan lorong sebelumnya.
"Ah sialan!!" dia berteriak sambil meraba-raba salju di sekitarnya, dia jatuh telungkup menghadap salju.
"Um... maaf," ucapku lihih masih sambil menatapnya.
"Dimana kacamataku?"
"Aku tidak tahu"
"Carikan bodoh!!"dia berteriak membuatku terkejut, aku segera berjongkok mencari kacamatanya. Aku sudah mencari dan tidak menemukan apapun. Gigiku semakin bergemletuk dan kakiku samasekali tak terasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIMENSION
FantasíaCallysta Josly tidak pernah bertemu dengan ayahnya, ibunya tidak pernah memberitahu dimana ayahnya berada. Ia terus menanyakan hal ini sampai ia harus berpisah dengan ibunya dan tinggal di rumah nenek dan kakeknya. Callysta tidak pernah menyangka...