VOTE!!VOTE!!VOTE!!
Sudah berapa kali aku mengunjungi tempat ini? Tempat yang tetap menjadi misteri, dingin, dan lembab. Beruntung, kali ini aku memakai alas kaki. Aku sama sekali tidak berniat untuk menemui Adrian, aku hanya duduk di bangku yang kemarin aku duduki bersamanya.
Setiap kali kemari, aku selalu berharap tidak ada seorangpun yang menyadari jika aku hanya memakai satu mantel yang sama setiap saat. Mungkin, kecuali Dri, karena pada dasarnya ini adalah mantel miliknya.
Sejauh ini tidak ada yang menarik perhatianku, semuanya terasa dingin dan abu-abu. Orang-orang berlalu lalang dengan langkah cepat dan mengeratkan matel mereka setiap saat. Tidak ada anak-anak yang tertawa cekikkikan atau para lansia yang akan menggerutu karena jalanan terlalu licin untuk dilalui. Jika saja aku tidak mulai terbiasa, mungkin aku akan menganggap mereka semua sangat angkuh.
"Apa kau bercanda?!! Aku yakin bahkan kau telah menguasainya sebelum kau lahir," suara teriakkan seorang gadis membuatku mencari darimana suara itu berasal. Ternyata memang benar seorang gadis, yang sedang meneriaki pria di depannya sambil terus berusaha mengimbangi langkahnya.
"Berhenti mempermalukan dirimu sendiri Rose," jawab si laki-laki sambil menghadap kearah gadis yang di panggil Rose tersebut. Entah bagaimana, aku merasa pernah mendengar nama Rose sebelumnya, dan membuatku melangkah semakin dekat ke arah mereka.
"AKU TIDAK PEDULI, AJARI AKU MANTRA ITU, DAN BERHENTI!!" Rose terlihat semakin marah, dan meneriakki Dri saat dia hendak kembali melangkah. Aku tahu itu Adrian, karena saat ini aku sudah sangat dekat dengan mereka. Cukup dekat untuk terkejut saat menatap wajah Rose.
"Cally?" Dri mengangkat satu alisnya tinggi-tinggi mempertanyakan kehadiranku.
"Siapa dia?" tanya Rose dengan menatapku sinis. Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaanku saat ini, saat aku melihat Rose yang terlihat sepertiku, benar-benar sepertiku. Kami memiliki tinggi yang sama, membuatku merasa lega untuk pertama kalinya karena sudah ku katakan jika orang-orang selalu lebih tinggi dari ku. Rose juga memiliki warna rambut yang sama persis dengan milikku, bedannya di sana terdapa sedikit semburat pirang pada beberap helainya. Aku yakin itu tidak asli, maksudku dia mewarnainya agar terlihat keren, mungkin. Warnya matanya adalah hijau, itu juga tidak asli, bukan berarti aku berharap ia memiliki warna mata yang sama denganku. Selebihnya kami terlihat sama persis bahkan bentuk tubuh dan kontur wajah.
"Dia Cally," jawab Dri sambil mendengus.
"Oh, senang bertemu denganmu," ujarnya, tetapi ekspresi dan nada bicaranya sama sekali tidak menyiratkan jika dia benar-benar senang bertemu denganku. Dia menatapku menilai dari atas sampai bawah, dari matanya, aku mampu melihat kecemasan dan kebingungan yang berusaha ia tutupi dengan ke angkuhan. Dia berusaha bersikap biasa saja seakan-akan ia sudah terbiasa bertemu dengan seseorang yang mirip dengannya setiap saat.
Aku memberinya senyum canggung, dan belum sepenuhnya tersadar dari keterkejutanku. Kami memang mirip, bahkan cenderung persis. Tapi entah bagaimana, aku merasa sifat kami sama sekali berbeda.
"Cally, sudah berapa lama kau berteman dengannya?" tanya Rose kepadaku sambil melirik Adrian. Aku tidak tahu harus menjawab apa, maksudku kami baru saja bertemu beberapa hari lalu, dan itu karena sebuah insiden memalukan.
"Cukup lama, kenapa?" aku mendongak menatap Dri yang saat ini sedang menatap Rose menantang.
"Aku bertanya padanya!" sentak Rose kesal. "Tapi baiklah, kalau begitu kau pasti bisa mengajariku man-"
KAMU SEDANG MEMBACA
DIMENSION
FantasyCallysta Josly tidak pernah bertemu dengan ayahnya, ibunya tidak pernah memberitahu dimana ayahnya berada. Ia terus menanyakan hal ini sampai ia harus berpisah dengan ibunya dan tinggal di rumah nenek dan kakeknya. Callysta tidak pernah menyangka...