II

696 39 16
                                    

Pagi ini cerah, sedikit berawan. Kami telah selesai makan pagi dan sekarang aku sedang duduk di tepian tempat tidur sambil menatap ibuku yang sedang membereskan kopernya. Ibuku bilang, akan ada bus sekolah yang akan mengantar dan menjemputku setiap hari,tetapi aku harus berjalan kaki ke perempatan jalan untuk itu; busnya akan menunggu murid-murid disana.

"Menurutmu, kanan"—sambil mengangkat tangan kanannya—"atau kiri ?"—sambil mengangkat tangan kirinya—ibuku telah selesai merapikan koper, dan sekarang ia sedang memilih pakaian yang akan ia kenakan nanti. Aku tidak mengerti mode, jadi aku hanya ,mengedikkan bahu dan menunjuk tangan kanannya.

"Yang itu terlihat baik," kataku masih menunjuk pakaian yang ada di tangan kanannya. Aku hanya berpegang teguh pada apa yang menurutku pantas.

"Baiklah, aku pilih yang ini," ibuku mengangkat tangan kirinya, dan menyimpan pakaian di tangan kanannya.

"Aku kira tadi aku memilih yang kanan," gumamku lirih.

"Memang, tapi aku suka yang kiri." Kalau begitu, apa gunanya pendapatku?

Aku meninggalkan ibuku yang akan berganti pakaian, dan pergi ke kamarku untuk mengambil tas sekolah. Nenek dan kakekku tengah berjalan-jalan di sekitar kebun anggur, bagaimana mungkin aku akan mengatakan jika cinta itu menyedihkan—seperti ibu dan ayahku—jika aku melihat bukti nyata cinta sejati di hadapanku saat ini?

"Cally..." suara ibuku. Aku menoleh dan melihatnya berdiri di ambang pintu kamar sambil menarik kopernya. Aku menghampirinya dan tersenyum.

"Kau akan berangkat sekarang?" tanyaku, ibuku akan memberiku tumpangan ke perempatan jalan.

"Ya... ayo.." dia menarik lenganku menuju keluar. Kami menghampiri nenek dan kakekku, ibuku berpamitan kepada mereka dan mencium kedua tangannya. Aku melihat ibuku mengatakan beberapa hal kepada mereka, aku tidak ingin mendengarnya. Setelah itu, ibuku dan aku menaiki mobil menuju ke perempatan jalan.

"Cally, nanti jangan lupa kerjakan tugas rumahmu, jangan lupakan makan, dan jangan buat onar; aku tidak di sampingmu, bukan berarti aku tidak bersamamu. Lakukan apapun sendiri sebisamu, jika memang sulit, barulah minta bantuan. Jangan terlalu merepotkan mereka—nenek dan kakekku—mereka sudah tua dan sudah cukup repot mengurus ladang." Ibuku berbicara panjang lebar sepanjang perjalanan kami.

"Tenanglah, denganku semuanya beres," aku berkata sambil mengacungkan dua jempol. Aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menangis.

"Aku percaya padamu," ibuku menghentikan mobilnya— perempatan tidak terlalu jauh ternyata—dan kemudian memelukku dan mengusap-usap rambut gelapku. "Aku mencintaimu." Dengan itu pertahanan air mataku runtuh, aku tidak bisa membayangkan bagaimana ibuku nantinya; dia pernah mengalami depresi berat saat aku kecil, itu membuatnya hampir bunuh diri, jika bukan karena dia mencintaiku, mungkin dia sudah melakukannya.

"Aku juga mencintaimu ma, lebih dari apapun yang kau kira," suaraku bergetar, dalam tenggorokkanku seperti ada sesuatu yang mengganjal, membuatku sulit berbicara.
"Jaga kesehatan oke, aku akan selalu menunggu kepulanganmu.jangan lupa untuk menelfonku," aku melepaskan pelukan kami. Ibuku memberiku beberapa tisu, aku membersihkan sisa-sisa air mata di wajahku. "Baiklah, sepertinya bus sekolahku sudah datang."

"Hati-hati," kata ibuku sambil melambaikan tangannya. Aku balas melambai dan tersenyum kaku.

Aku duduk di kursi paling belakang dekat jendela, bus masih lenggang, alasan aku duduk di sini hanyalah menghindari tegur sapa canggung dari murid-murid lain. Aku menarik nafas panjang-panjang dan memejamkan mataku untuk berpura-pura tidur.

"Huh...!! aku benar-benar membenci mereka, jika membunuh tidak dosa dan tidak membuatku masuk penjara, aku sudah akan melakukannya sejak dulu, bahkan sebelum mereka mengenalku." Gerutu seorang gadis yang baru saja menghempaskan tubuhnya di sampingku. Aku membuka mataku dan menoleh ke arahnya.

DIMENSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang