VOTE!! VOTE!!
Kami telah menggati kaos olahraga menjadi seragam sekolah,beberapa waktu lalu setelah insiden tenggelamnya aku. Semuanya telihat pucat dan dengan malas melangkah ke dalam bus. Aku tidak yakin bagaimana aku terlihat saat ini, yang jelas aku merasa tidak ada yang lebih baik selain meninggalkan kolam renang itu. Aku menatap ke arah Lucy yang sedang merapikan isi tasnya.
"Lu, beritahu aku siapa orangnya," ujarku saat bus mulai bergerak meninggalkan tempat ini.
"Aku suka donat, dan sekarang aku lapar," Lucy menggumam-gumamkan sesuatu yang tidak penting.
"Lucy!!" aku menggoyang-goyangkan pundaknya untuk menarik perhatiannya. Sekarang Lucy menatapku bosan, aku sudah menanyakan tentang ini beberapa kali, namun Lucy selalu bisa mengelak.
"Kau tahu, semalam aku dan ayahku menonton sesuatu tentang sihir!!" sekarang matanya berbinar, dan dia terlihat antusias. Dia selalu berusaha mengalihkan pembicaraan, dan sialnya aku sangat mudah dialihkan.
"Sihir itu tidak ada," ujarku tidak yakin, jika sebelumnya mungkin aku akan meneriakkan kalimat itu tepat di depan wajahnya, lain halnya dengan sekarang-setelah aku menemukan tempat aneh di balik pintu itu-aku hanya mengucapkannya dengan datar.
"Tanpa sihir, ayah dan ibuku tidak akan bertemu," ujarnya sedikit memaksa.
"Itu bukan sihir, itu tak-"
"Oh ayolah!!" Lucy menginterupsi ucapanku. Aku hanya memutar bola mataku jengah.
Kami hanya terdiam setelah pembicaraan itu, Lucy terliahat sangat kesal karena aku tidak sependapat dengannya tentang sihir. Aku tidak peduli, aku memang tidak percaya; apa benar aku tidak percaya? Sekarang pikiranku dipenuhi dengan segala sesuatu yang membuatku kembali merasakan perasaan aneh yang menghantuiku sejak pagi. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku kuat-kuat untunk menghilangkan perasaan itu, dan baru menyadari jika bus kami sudah teparkir di dekat gerbang Qarray.
Aku melangkah menuruni bus, dan terlonjak kaget saat seseoramg menepuk bahuku cukup keras dan membuatku menoleh ke arahnya. Aku segera memutar bola mataku saat mengetahui siapa orang tersebut, kevin.
"Bagaimana rasanya?" kevin bertanya padaku saat kami melangkah beriringan menjauhi bus. Aku mengerutkan dahiku bingung, rasa apa?
"Apa maksudmu?" aku menghentikan langkahku, dan menatapnya.
"Kau tahu? aku tidak pernah tenggelam, aku terlahir sebagai perenang yang handal," ujarnya sambil menyeringai. Cih! Simbong sekali dia. Mendengar kata tenggelam, aku membelalakkan mataku, dan segera menatap sekitar mencari-cari keberadaan Lucy. Lucy tidak terlihat dimanapun, bahkan bus sekolah yang kami tumpangi telah beranjank pergi menuju tempat parkir di belakang sekolah.
"Aku menunggu jawaban," Kevin menginterupsi kegiatanku.
"Aku juga," jawabku sambil kembali berjalan meninggalkannya.
***
Aku tidak bertemu dengan Lucy sepanjang sisa hari ini, mungkin aku akan bertemu dengannya di dalam bus. Aku mempercepat langkahku menuju ke arah bus yang telah siap mengantar kami pulang. Aku tidak melihat keberadaan Lucy dimanapun, jadi aku segera duduk di tempat biasa di dekat jendela. Sudah beberapa menit berlalu, sampai beberapa kursi telah terisi, Lucy belum juga datang.
Sang supir bus biasanya akan menunggu sampai semua kursi penumpang terisi penuh, dia akan berteriak "Apa ada yang tertinggal?!!" dengan sangat nyaring, itu merujuk pada murid maupun barang-barang kami. Namun kali ini berbeda, beliau tidak meneriakkan kalimat tersebut, dan segera mengendarai bus ini meninggalkan sekolah. Dimana Lucy? Apa dia marah padaku karena aku tidak sependapat dengannya mengenai sihir? Atau dia hanya berusaha menghindariku, lebih tepatnya pertanyaan itu. Untuk apa dia selalu mengelak dari pertanyaanku? Maksudku, jika dia tahu, kenapa tidak dia katakan saja siapa pelakunya. Pikirannku berkecamuk, sampai aku tidak menyadari jika bus telah kosong, pak supir bahkan sekarang sedang menatapku bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIMENSION
FantasyCallysta Josly tidak pernah bertemu dengan ayahnya, ibunya tidak pernah memberitahu dimana ayahnya berada. Ia terus menanyakan hal ini sampai ia harus berpisah dengan ibunya dan tinggal di rumah nenek dan kakeknya. Callysta tidak pernah menyangka...