VOTE!!VOTE!!VOTE!!
Aku menegadahkan kepalaku menatap langit-langit kamar dan menggerang, aku tidak ingin pergi sekolah, dan aku benar-benar kesal melihat langit-langit kamarku yang sangat kotor. Kapan terakhir kali mereka membersihkannya? Aku mungkin bisa membersihkannya sendiri, tetapi sayangnya aku tidak mau.
Entah bagaimana, hari ini aku merasa semua orang berubah menjadi musuhku dalam satu malam dan mengancam kejiwaanku. Aku baru saja berniat memarahi seseorang yang terbatuk sesaat setelah aku melintas di hadapannya, tetapi aku tidak ingin menarik perhatian.
Aku belum melihat Lucy sepagian ini, aku merasa dikhianati karena Lucy tidak menceritakan apapun padaku tetangnya, dan malah menghilang begitu saja. Aku merasa jika selama ini Lucy tidak benar-benar menganggapku sebagai teman. Kalau memang begitu kenyataannya, aku tidak apa-apa, toh aku memiliki... sial!! aku tidak memiliki teman lain.
Tiba-tiba suara kursi yang berderit membuyarkan pikiranku dan membuatku menatap siapa pelakunya. Aku segera tergagap mencoba menangkap minuman kaleng yang Kevin lemparkan ke arahku. Sudah ku katakan jika aku tidak menguasai cabang olah raga apapun, jadi jangan salahkan aku jika tangkapannya meleset, dan membuat kami menjadi pusat perhatian.
"Huh!! Dasar payah..." Kevin memungut minuman kaleng yang tadi terjatuh membentur lantai dan menimbulkan suara cukup keras untuk membuat setiap orang di kantin ini menolehkan kepalanya ke arah kami.
"AK-" aku sudah menyiapkan rentetan kalimat yang akan aku teriakkan di depan wajahnya, tetapi aku mengurungkan niatku untuk melakukannya karena aku tidak ingin mencari keributan di saat kejiwaanku terancam.
"Ini, ku perhatikan, kau terus saja melamun akhir-akhir ini," ujar Kevin seraya menyerahkan salah satu minuman kaleng di tangannya. Aku pikir, perkataan Lucy tentang Kevin sangatlah berlebihan, aku tidak merasa menjadi korban saat ini, melainkan sebaliknya.
"Aku hanya memikirkan Lucy, kau tahu kemana perginya?" ujarku sambil menerima minuman kaleng tersebut, dan menggumamkan kata terimakasih untuknya.
"Lucy, gadis gembira yang selalu bersamamu itu?" dia tergelak menertawakan leluconnya sendiri. Aku tidak mengerti di mana letak ke lucuannya. Aku memutar-mutar minuman kaleng di tanganku, dan menyadari jika terdapat beberapa bagiannya yang penyok.
"Ya, dia selalu gembira kan? Aku kira kau cukup dekat dengannya," ujarku sambil membuka tutup kaleng, dan terkejut saat sodanya berhamburan keluar dan membuatku meloncat untuk menghindarinya.
Kevin kembali tergelak sampai hampir menangis, aku menatapnya tajam, dan menyiramkan minuman tersebut ke arahnya. Sayang sekali dia berhasil mengelak, dan membuatku menjadi tersangka yang membasahi lengan seseorang tak bersalah. Sekarang wajahku memanas karena malu, aku terus saja menunduk dan menggumamkan kata maaf pada orang tersebut.
Aku mendengar Kevin kembali tergelak, dan membuatku mendongak dan menyadari jika sejak tadi aku hanya meminta maaf pada udara tak kasat mata. Sial!! Aku tarik kembali ucapanku tentang Lucy yang berlebihan membicarakan Kevin.
Aku mendengus kesal dan berjalan cepat meninggalkan Kevin yang terus saja tergelak di belakangku. Sekarang, aku benar-benar merasa dipermalukan. Aku semakin mempercepat langkahku menuju toilet untuk mencuci tanganku yang lengket akibat soda sialan itu.
Aku meninggalkan toilet dengan terburu-buru, sehingga aku menabrak bahu seseorang, aku mendongak untuk melihat siapa yang aku tabrak, dan dengan seketika aku memasang wajah terkejut saat menyadariorang itu adalah Lucy. Bukan Lucy seperti biasanya, dia tampak berbeda dengan mata yang membengkak dan lingkar hitam di bawah matanya. Dia terlihat seakan-akan menghabiskan seluruh waktunya untuk menangis, dan bukannya tidur atau yang lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIMENSION
FantasyCallysta Josly tidak pernah bertemu dengan ayahnya, ibunya tidak pernah memberitahu dimana ayahnya berada. Ia terus menanyakan hal ini sampai ia harus berpisah dengan ibunya dan tinggal di rumah nenek dan kakeknya. Callysta tidak pernah menyangka...