VOTE! VOTE! VOTE! VOTE DULU LAH SAYANG, APA SUSAHNYA
KOMEN JUGA DONG SAMYANG, AKU SUKA BACA KOMENAN KALIAN, KALO SEMPET, PASTI AKU BALESSS
EH SAYANG
Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk membuat pergi kesekolah adalah kegiatan yang menarik. Satu-satunya alasan yang aku miliki hanyalah pergi untuk bertemu Lucy dan melihat bagaimana keadaanya saat ini. Aku bahkan tidak repot-repot untuk mengatur jadwal pelajaran hari ini. Karena Kau tidak akan memiliki banyak waktu untuk mengikuti pelajaran selagi kau ingin bergosip. Tetapi bukan berarti aku akan bergosip dengan Lucy, itu tidak mungkin.
Aku menaiki bus sekolah dengan muram karena aku sepenuhnya sadar, Lucy tidak akan ada di bus sekolah ini.
"Kau tahu?"
"Tidak," aku tak menoleh sedikitpun. Aku masih sedikit kesal dengan kejadian kemarin saat Kevin bertingkah layaknya orang gila di rumahku.
"Aku bahkan belum selesai bicara," Kevin berusaha membuatku menoleh dengan menarik pundakku dan berujar, "Byzray adalah kota kecil dengan sejuta keramahan yang dimiliki oleh setiap penduduknya."
Aku menyerah dan berbalik menatapnya setelah sebelumnya berusaha sekuat tenaga menahan diri. "Lalu?" tanyaku akhirnya.
"Orang-orang akan menganggapmu sombong jika kau terus saja memasang raut wajah kesal dan bukanya tersenyum pada semua orang," ujar Kevin meyakinkan. Aku bisa saja percaya jika bukan Kevin yang mengatakanya.
"Oh," jawabku singkat dan memaksakan sebuah senyuman yang akan bertahan sampai kami tiba di sekolah. Aku masih tersenyum lebar sampai-sampai pipiku terasa pegal saat aku duduk di kantin sekolah untuk menunggu Lucy dengan membosankan. Entah kepada siapa aku tersenyum, tetapi yang jelas, aku tidak mau di anggap sombong.
"Ada apa dengan mu?" Lucy bertanya dan terlihat dari sorot matanya ia sedang menahan tawa. Hari ini Lucy terlihat lebih baik dari sebelumnya, ia mengepang rambutnya dan membuatnya terlihat baik. Sangat baik. Mungkin aku harus mencoba gaya itu lain kali.
"Menerapkan keramahan," ujarku sambil melirik mata sembab milik Lucy yang belum juga hilang.
"Kalau saja aku dalam mood yang baik, pasti aku akan tertawa terbahak-bahak Call," ujar Lucy lesu, ia menelungkupkan kepalanya dan berbicara disana. Entah apa yang ia bicarakan, itu tak terlalu jelas.
"Bagaimana dengan ibumu? Ada kemajuan?" Lucy mendongak tiba-tiba dengan kedua mata yang berair dan memerah. Astaga aku salah bertanya! Aku mengucapkan kata maaf berulang kali dan mengusap usap lenganya,berusaha membuatnya merasa baik-baik saja.
"Ibuku adalah hidupku Call, dan sekarang aku merasa mati, dan ini bukan berlebihan! Aku sungguh-sungguh mengatakanya," ujar Lucy sambil mengusap-usap air mata di pipinya.
Membicarakan ibu, membuatku teringat tentang ibuku. Aku berniat akan menelepon ibuku sepulang sekolah nanti. Siapa tahu ibuku mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, bukankah ibuku yg memberiku kunci?
Kami masih tetap berada di kantin sampai panas menyengat. Aku dan Lucy sama-sama membolos semua pelajaran, dan sebenarnya hal itu telah kami renacakan. Lucy terus saja menangis dengan berbagai macam kata puitis dan penyesalan karena beberapa kali ia menolak perintah ibunya.
"Andai saja saat itu aku menurutinya untuk tidur lebih awal, pasti aku tidak akan bangun kesiangan."
"Jadi aku tidak akan terlambat sarapan dan masih sempat membantunya membereskan meja makan!"
"Dan kita tidak akan pernah kehilangannya......," dan Lucy kembali menangis.Menurutku ini agak berlebihan, hanya menangis setiap hari dan menyesali semua yang telah terjadi tanpa adanya sebuah tindakan untuk mengembalikanya sangatlah sia-sia.
"Aku pikir kalian perlu melakukan penyelidikan." Ujarku pasrah karena otakku telah buntu untuk menemukan kata-kata yang pas.
"Tidak akan semudah itu, Call."
***
Sepulang sekolah, aku segera menghampiri gagang telepon dan melakukan panggilan dengan ibuku. Aku mendesah lega saat mendengar nada sambung dan segera aku mendial nomor ibuku.
"Hallo..." suaraku bergetar menahan rindu dan segudang rasa bersalah.
"Cally! Ada apa? Seingatku ini adalah telepon pertama darimu, setelah biasanya aku yang menelpon."
"Aku hanya eum.... "
"Astaga, aku teringat tentang laki-laki yang kau temui, ceritakan lagi tentangnya"
"Dia baik... tetapi kita tidak saling kenal. Aku hanya orang asing katanya."
"Oh. Aku paham sayang...." ibuku terdengar tidak enak
"Sebenarnya aku ingin bertanya sesuatu yang cukup penting."
"hm...?"
"Apakah aku memiliki saudari kembar atau sejenisnya yg agak mirip denganku?"
Terdapat jeda cukup lama sebelum ibuku menjawab, "Tidak" Entah bagaimana aku merasa jika ibuku baru saja berbohong. Aku yakin ia menyembunyikan sesuatu yang besar dari ku. Sekarang, harus kepada siapa ku percaya?
"Sebenarnya aku baru saja bertemu seseorang, dia mirip denganku dan nama belakangnya adalah Josly! oh benar, semuanya hanya kebetulan," ujarku penuh sarkasme. Dan aku merasa bersalah setelahnya. Ini pertamakalinya aku merasa sama sekali tidak mengenal ibuku. Bahkan dari sekian banyak sisi yang ia miliki, aku hanya mengetahui setengahnya, bahkan mungkin lebih sedikit dari itu. Aku kembali mendengarkan keheningan disertai nafas tercekat ibuku.
"Aku mencintaimu!," masih dengan sarkasme yang sama, dan aku menutup teleponya secara kasar. Aku perlu pergi, menenangkan diri. Aku memutuskan untuk kembali ke negri musim dingin dan berlari untuk mengambil mantel di dalam kamar.
Aku membuka kunci pintu dan berlarian menembus lorong, menyipitkan mataku saat cahaya mata hari menerpa wajahku. Di sini cerah, tetapi masih ada salju. Beberapa salju yang terjatuh meleleh setelah menyentuh tanah. Aku tersenyum melihatnya.
Aku berencana mencari Rose sebelum aku melihat Dri berjalan dengan tergesa-gesa dengan segulung kertas cokelat kuno di tangan kirinya. Aku berusaha mengejarnya, dan melupakan soal istilah 'orang asing' yang ia tujukan padaku waktu itu.
Aku menabrak punggungnya dan membuat kertas tersebut terjatuh pada tanah bersalju. Aku meringis merasa bersalah dan menatap kertas tersebut. Itu adakah peta, bukan peta seperti biasa yang sering aku lihat pada dinding kelas melaikan peta dengan jalur-jalur aneh yang tak dapat ku pahami.
"Apa itu?" tanya ku saat Dri dengan cekatan mengambil peta yang telah basah terkena lelehan salju.
"Bukan urusanmu," ujarnya dengan ketus. Aku tidak mengerti mengapa akhir-akhir ini semuanya terasa sialan. Aku melirik peta tersebut sebelum Dri melipatnya menjadi dua dan kembali berjalan dengan tergesa-gesa. Jika aku tidak salah melihat, pada peta itu ada lubang kecil di beberapa titik seperti sengaja dilubangi dengan benda panas untuk menandai sesuatu. Terdapat juga tulisan yang sama dan rapi di setiap sisi lubang, itu berbunyi 'telah terjadi dan berubah'
"Apa maksudnya?" tanyaku pada jalanan kosong. Dri telah pergi meninggalkanku sejak tadi, aku tidak berniat untuk mengikuti kemana ia akan pergi, karena aku tahu, itu adalah arah menuju rumah Rose.
Aku berbalik dan memilih pergi, pulang ke Byzray mungkin? Yang jelas aku tidak peduli jika Rose dan Dri benar-benar berkencan, maksudku eum. Aku sungguh tidak peduli dengan apapun yang akan mereka lakukan! Aku menendang-nendang angin kosong dan melangkah kembali menuju lorong.
HAI I'M BACK! MISS ME? OFC NAH! HAHAHA IT'S OKWAY.
BTW I'M SORRY FOR THE LATE UPDATE. I KNOW INI BUKAN LAGI SEKEDAR LATE, TAPI INI UDAH HAMPIR SETAUN DI ANGGURIN ARHG SIAL.
SEKALI LAGI MON MAAP YAK
BTW, MAKASIH BUAT KALIAN PEMBACA SETIAAA
MAAP YA NUNGGU UPDATE YG LAMA BGT GINI
DAN BTW LAGI, PADA MAU DI KASIH CAST GA NIH? GAK USAH KALI YA HEHHE
TAPI KALO PADA MAU, NANTI AKU CARIIN CAST BUAT MEREKA DEH.
JANGAN LUPA DI VOTE AND COMMENT YAAAA
SEE U NEXT CHAPTER, SEMOGA KAGA NGARET
KAMU SEDANG MEMBACA
DIMENSION
FantasyCallysta Josly tidak pernah bertemu dengan ayahnya, ibunya tidak pernah memberitahu dimana ayahnya berada. Ia terus menanyakan hal ini sampai ia harus berpisah dengan ibunya dan tinggal di rumah nenek dan kakeknya. Callysta tidak pernah menyangka...