VII

346 26 10
                                    

Aku mengais-ngais salju menggunakan kakiku, membuatnya terlihat menjijikan karena bercampur tanah. Aku tidak menyangka jika aku pernah ingin memakan salju. Kami-aku dan Dri-sedang duduk di salah satu bangku taman di dekat kolam, selama perjalanan kemari, Dri terus saja bertanya tentang asal-usul keluargaku, dan
aku hanya bisa berkata jika ayahku telah pergi dan aku hanya tinggal bersama ibuku.

"Kau tahu, segalanya selalu saja di luar rencana," ujar Dri membuatku mendongakkan kepala untuk menatapnya. Dri menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, menumpukan kepala pada kedua lengannya, dan memejamkan mata. Entah bagaimana dia terlihat sangat tertekan.

"Hmm...," sahutku menanggapi pernyataannya. Memang benar, segalanya selalu saja di luar rencana, seperti segala kesialan yang aku alami hari ini.

Suasana di sekitar tiba-tiba terasa sunyi, dan lebih dingin dari sebelumnya. Tentu saja ini hanya perasaanku saja, karena ini kota, perjalanan yang pernah Dri janjikan padaku untuk mengunjungi kotanya dan tempat dimana kedua orang tuanya tinggal.

"Aku pernah mencoba untuk tidak menjadi pendendam sebelum mereka mengkhianatiku," ujarnya masih dengan mata terpejam, aku berfikir tempat ini cukup ramai dan aku adalah orang asing yang tidak seharusnya ia menceritakan apapun yang baru saja ia mulai itu.

"Aku tidak mengerti," ujarku, merubah posisi dan bersandar sepertinya.

"Kau memang bodoh," dia terkekeh, aku segera menegakkan dudukku, dan memukul lengannya. Dia membuka matanya, dan seketika dia terlihat sangat bahagia, terdapat humor yang menari-nari di matanya. Dia tersenyum bodoh dan berdiri, mengulurkan tangannya kepadaku yang masih menatap perubahan ekspresinya yang sangat tiba-tiba. Senyumnya menular, membuatku ikut tersenyum, dan menerima uluran tangannya. Kami berdiri dan saling bertukar senyum bodoh sebelum melangkah menuju ke suatu kedai.

Kami duduk di dekat jendela, sesaat pelayan wanita datang menghampiri kami. Pelayan ini terlihat cantik dengan rambut pirang dan sedikit pink di beberapa helai rambutnya, aku tidak yakin mengapa dia memilih warna itu untuk cat rambutnya. Dia memakai seragam merah dengan rok hitam beberapa centi di bawah lutut, maksudku, ini musim dingin, dan seharusnya dia kedinginan dengan pakaian seperti itu.

Pelayan tersebut menyodorkan daftar menu ke arah kami, aku membacanya satu-persatu, dan tidak ada yang aku mengerti. Aku melirik ke arah Dri, dia terlihat serius sambil menautkan kedua alisnya.

"Psstt...," aku mencoba berbisik untuk menarik perhatian Dri, dan sepertinya berhasil. Dia mendongak, menatapku, dan menyeringai.

"Berikan dia teh hangat, dan aku kopinya, dengan krim," ujar Dri kepada sang pelayan, dan wanita itu segera pergi meninggalkan kami dengan suara sepatunya yang nyaring menyentuh lantai marmer, aku menatap ke bawah, dan melihat sepatunya yang sangat cantik, membuatku teringat jika aku tidak memakai alas kaki. Aku segera
menyembunyikan kakiku di bawah meja.

"Ada apa?"

"Tidak ada, aku hanya tidak melihat tulisan teh hangat di daftar menunya."

"Karena kau tidak membaca daftar minumannya."

Aku mengangguk-angguk tidak mengerti, dan tiba-tiba pelayan yang tadi kembali menghampiri kami sambil membawa dua cangkir dan sesuatu dalam satu nampan. Dia meletakan semua yang ada dalam nampan
tersebut ke meja kami. Aku segera menarik cangkir tehku, dan meminumnya.

"Uhk... ini pahit!!" ujarku sambil terbatuk-batuk. Aku dapat mendengar kekehan Dri di sebrang meja. "Ini
tidak lucu!!" aku berteriak garang padanya. Dia hanya menyembunyikan senyumannya dan berubah menjadi
seringai sambil menggerak-gerakkan toples kaca transparan yang aku asumsikan berisi kristal, menimbulkan bunyi
berdenting yang sangat khas.

DIMENSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang