IV

537 40 28
                                    


Obrolan kami berakhir saat dia menanyakan dimana rumahku. Aku tidak mungkin mengatakan jika rumahku ada di suatu negara tropis di balik sebuah pintu. Kami membicarakan banyak hal, bukan!!! lebih tepatnya hanya aku yang banyak berbicara. Adrian hanya bertanya sesekali kepadaku, kemudian dia akan mendengarkan apapun yang aku katakan. Bukankah seharusnya aku yang bertanya?Aku tidak mendapatkan cukup informasi dari pembicaraan kami. Aku bahkan belum menanyakan tentang kacamata dan dimana ini. Aku lupa karena terlalu asik berbicara.

Aku menatap keluar jendela, terdapat hamparan salju yang terlihat lezat. Aku penasaran apakah salju bisa dimakan? Memikirkannya membuatku lapar, aku ingat jika sebelum kemari aku sudah makan siang, tapi entah kenapa sekarang aku sangat lapar; bukan, lebih tepatnya ingin memakan sesuatu.

"Apa salju boleh dimakan?" tanyaku mengawali pembicaraan,lagi. Adrian mendongak menatapku dan memasang wajah bingungnya untuk sesaat.

"Kenapa memangnya?" dia balik bertanya, wajahnya kemabali datar.

"Karena aku lapar?" aku bertanya sambil mengangkat bahu. Aku bersumpah melihat bibirnya berkedut menahan senyum. Dia berdiri dan menepuk-nepukkan tangannya untuk menghilangkan debu khayalan. Aku mengamati gerak-geriknya, dia melangkah ke belakang, lagi. Sebenarnya aku sangat penasaran dengan apapun itu di belakang sana, tapi aku masih cukup memiliki tata krama untuk tidak mengikutinya ke belakang.

Dia kembali sambil membawa sesuatu berbentuk lingkaran pipih berwarna kecokelatan, bentuknya tidak benar-benar lingkaran sempurna, maksudku tepiannya tidak rata. Aku masih terus menatapi 'sesuatu' itu sampai Andrian telah berdiri di hadapanku dan menyerahkan dua keping 'sesuatu' itu.

"Apa ini?" tanyaku heran sambil mengamati 'sesuatu' itu.

"Itu roti," jawabnya sambil memutar kedua bola matanya kesal. Aku kan hanya bertanya, lagi pula aku bersumpah jika roti dari tempatku berasal tidak berbentuk seperti ini. Aku akhirnya memasukkan sebagian kecil roti tersebut ke dalam mulutku.

"Ini tidak terasa seperti roti," aku bergumam kesal. Apa dia sedang berusaha menipuku? Jelas-jelas rasanya menyerupai gumpalan daging asap. Aku menatap ke arahnya meminta pejelasan, tetapi dia malah menghela nafas dan duduk di sebelahku dengan kasar sambil menjambak rambutnya dan memejamkan matanya.

Aku tetap menatapnya, mengamati bentuk wajahnya. Dia ternyata cukup tampan, dan jangan lupakan rambut pirangnya yang ingin ku sentuh. Aku mengulurkan tanganku berniat ingin menyentuh rambut pirangnya, tapi segera merubah posisi seakan-akan aku sedang menangkap beberapa nyamuk ketika tiba-tiba ia membuka matanya. Aku memalingkan wajahku menatap kearah lain, karena aku yakin sekarang wajahku sudah semerah tomat.

Dia berdehem pelan, membuatku kembali menatap ke arahnya. Dia menyeringai dan membenahi posisi duduknya menjadi condong ke arahku. Aku menatap ke segala arah kecuali dirinya, tapi pandangan kami kembali bertemu, membuat perasaan canggung kembali datang.

Sekarang aku yang berdehem dan berkata, "Kau tinggal sendirian?" mencoba mencairkan suasana.

"Ya," dia menjawab dan kembali memejamkan matanya.

"Di mana orang tuamu ?"

"Di kota."

"Sungguhkah ? ibuku juga tinggal di kota," aku berkata antusias, membuat Adrian membuka matanya dan bergumam 'oh'. Aku penasaran bagaimana bentuk kota itu, semoga saja lebih bagus daripada kota Ashtic.

"Seperti apa kotanya?"

"Apa kau bercanda? Kau tidak pernah melihatnya ?" dia bertanya bingung, sedangkan aku hanya menggeleng singkat. "Aku kira tadi kau berkata ibumu tinggal di kota."

DIMENSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang