chapter 7 (maybe i love you?)

108 8 9
                                    

"m.  Aku benar benar ingin melakukannya. Bahkan saat tahun lalu pun,  aku benar benar ingin melakukannya. berpuluh puluh kali. Bukan. Beratus ratus kali otakku menyuruhku untuk mengeluarkanmu...... Tapi kenapa aku tidak bisa ya? "

Aku benar benar mengatubkan kedua rahangku.  Selimut di cengkraman tanganku menjadi pelampiasan bagaimana gugup nya aku saat ini.  Vendi menyadari hal itu dan mengabaikannya saja.  Aku berusaha membaca wajahnya. Menatap kedalam matanya mencari bukti bahwa saat ini dia hanya bermain. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Dialah yang membaca ekspresi aneh dari wajah ini. Aku benar benar kehabisan kata kata. Untuk bernafas dengan baik, kuakui sedikit sulit. Sampai akhirnya entah apa yang kupikirkan saat itu. Aku pun berkata, "kenapa? Sudah begitu lama kau ingin mengeluarkanku dari sekolah ini. Bahkan bagimu hanya butuh 30 menit untuk melakukannya. Jadi kenapa kau menahannya sampai selama itu?" tanyaku dengan ekspresi yang tak kalah seriusnya dari Vendi. atmosfer di ruangan ini entah sejak kapan terasa aneh. Keadaan menegangkan tercipta tanpa direncanakan. Debaran kencang di dada, tak kunjung berhenti.

Kira kira 3 detik kemudian,  Vendi membungkuk dengan cepat mendekatkan wajahnya kewajahku.. Membuatnya sejajar. Hingga wajahku dengan refleksnya mundur. Dia Menempelkan kedua telapak tangannya di kasurku. Aku sangat gugup. Memandang wajahnya di jarak yang cukup dekat seperti ini pun tidak mengurangi sempurnanya wajah seorang Vendi. Aku benar benar meremuk selimut di dalam cengkraman tanganku. Brengsek. Kenapa dia malah tersenyum di kondisi seperti ini? Cari mati ya. Jelas sekali dia menyadari ketidaknyamananku saat ini. Vendi menjawab pertanyaanku.

"mungkinkah.. Aku menyukaimu?"

Lagi lagi keheningan terjadi.  Deg.. Deg.. Deg..deg...  Aku bisa merasakan detak jantungku yang tidak karuan lagi.  Wake up jesic. He just kidding you. Aku benar benar membesarkan kedua mataku. Alisku terangkat bersamaan dengan mataku yang terbuka lebar saat ini.  Sebentar dia menikmati keterkejutan di wajahku. Sudut bibirnya mulai terangkat sedikit. Sementara aku? Aku berusaha mengusai diriku.

Kudorong badannya sekuat tenaga yang hanya menghasilkan dia mundur 2 langkah. Aku turun dari kasur dan mulai melangkah ke arah pintu dengan cepat. Tapi apa boleh buat, lututku masih sakit dan aku tidak bisa bergerak cepat.  Belum 3 langkah aku berjalan.  Vendi menarik pergelangan tanganku dengan kencang, mendorongku ke kasur dengan kasar.
"akh.. Kau apa apaan sih!! Kau tidak lihat ya lututku cedera!!"

"pergi saat orang lain belum selesai bicara itu tidak sopan bukan? "Vendi masih memegang tanganku.  " aku tau kau lebih banyak mengerti tentang tatakhrama,  tapi kali ini aku yang benar." sambung Vendi lagi. 

"tidak bisa kah kau biarkan aku pergi? " aku menunduk. Tidak berani menatap mata Vendi.

"em. Tidak bisa.  bagi kalian mungkin tindakan melarikan diri seperti ini adalah hal yang biasa. Tapi bagi kami laki laki, itu artinya kalian tidak menghormati pengakuan kami."

Dert.. Dert.. Dert...

Handphone Vendi bergetar di sakunya.

"menerima telefon saat sedang bicara itu juga tidak sopan" balasku. 

"siapa yang peduli,  biar kumatikan. " Vendi mengambil dan ingin menekan tombol merah di layar. Tapi begitu melihat siapa yang menelefon,  jemarinya tidak bisa melakukannya.  Aku tidak tahu siapa yang menelefonnya,  tapi aku sempat melihat foto wanita berkaca mata hitam,  dengan rambut yang dibiarkan terurai melewati bahu dilayar handphone Vendi. Kuakui cantik sekali. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Sun Amid The Rain"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang