3. Pertemuan

4 1 0
                                    

Matahari bersinar lebih terik daripada biasanya, tapi untuk ukuran bulan kering di negara tropis seperti ini, cuaca hari ini sudah lebih baik dari yang bisa diharapkan. Angin kering khas bulan Juni bertiup lembut. Sandra menyesal karena tidak jadi memakai jaketnya hanya karena kombinasi warnanya tidak sesuai dengan blus yang dipakainya –blus terbaiknya– dan terpaksa berjalan dengan tangan telanjang di bawah cuaca terik ini. Ia sengaja berjalan di sebelah kanan, di bawah bayangan pohon-pohon rindang penyeka jalan. Wajahnya bolak-balik menghadap depan dan samping kiri, takut mobil tiba-tiba muncul dari pertigaan atau perempatan dan menghantam tubuhnya saat ia tengah sibuk mencari-cari alamat yang tertera di layar ponselnya. Ia sudah hafal alamat itu di luar kepala –ia tak henti-hentinya melihatnya semenjak pesan itu dikirim semalam– tapi tetap saja ia memegangi ponselnya dan melihatnya beberapa menit sekali, sekedar untuk meyakinkan. Ia selalu tidak bisa mengandalkan ingatannya saat pikirannya sedang gundah seperti ini. Ia tahu itu sugesti yang buruk, tapi tetap saja, tidak mudah menghilangkannya begitu saja semenjak hal itu telah menjadi semacam kebiasaan dalam dirinya.

Taman Duta Mas, blok G, no. 23, Sandra membaca pesan itu sekali lagi. Dalam hati ia mengutuk sang pembuat kompleks perumahan yang terletak di daerah Jakarta Barat ini. Baru saja ia melewati rumah bernomor 19, tapi yang ia lihat berikutnya bukanlah nomor 20 seperti yang seharusnya, melainkan 16. Ia sempat berpikir bahwa ia berjalan ke arah yang salah, namun saat ia ingin berbalik, sudut matanya mendapati nomor rumah berikutnya tidak juga seperti yang diduganya; 29. Benar-benar memusingkan. Sebenarnya ia bisa saja bertanya pada satpam, namun untuk sampai ke blok G ini saja, ia sudah bertanya tidak kurang dari lima kali. Jadilah ia harus menggunakan instingnya untuk menemukan rumah yang dituju.

Di depannya kini kembali ditemui pertigaan. Ia memutuskan berbelok ke arah kiri dengan asal. Tapi segera saja ia mengutuk dirinya begitu kakinya melangkah memasuki labirin itu. Tubuhnya mendadak berhenti, tatapannya membeku dalam fokus yang tidak menyenangkan. Hanya beberapa meter jauhnya dari tempatnya terpaku, berdiri sebuah sosok yang amat tidak ingin ditemuinya. Bukan manusia, namun berwujud manusia. Ya, Sandra bertemu dengan arwah penasaran lainnya. LAGI.

Dalam sepertiga detik yang terasa lambat, pandangan mereka bersibobok. Ia bisa merasakan jantungnya membeku untuk sesaat dan kemudian berdetak lagi dalam ritme yang digandakan.

Sandra menelan ludah. Saat itu juga, perasaan gundahnya yang menyenangkan berubah menjadi kekhawatiran yang mencekik tenggorokan. Walau tidak yakin rumah yang dicarinya berada di depan sana atau tidak, ia langsung memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat, menuju arah sebaliknya. Sungguh, bukan ide yang baik sama sekali untuk melanjutkan rute itu.

Dengan cepat Sandra melantunkan bait-bait permohonan dari ayat yang mampu diingatnya, namun transfigurasi segera dilangsungkan dalam doanya begitu ia mulai tidak mampu mengingat apapun. Tuhan, janganlah aku– tidak, sungguh, jangan sekarang, aku tidak ingin– Argkh! Sandra mengerang dalam batinnya, bukankah ia sudah bilang kalau ia tidak bisa berpikir dengan benar dalam kondisi seperti ini? Tapi ini darurat. Tuhan –Sandra mengulangi kata-katanya, biarkanlah aku berkonsentrasi untuk pekerjaan ini. Aku tidak ingin berurusan dengan roh-roh itu lagi; setidaknya tidak untuk saat ini. Ia tak tahu apakah permohonannya akan dikabulkan atau tidak jika ia merapalkan doanya dengan nada memaksa seperti itu.

Sandra melangkah lebar-lebar, seolah kakinya telah memanjang dua kali lipat dari ukuran asalnya. Ia tidak berani menengok ke belakang dan menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang menyeramkan. Takut? Tentu saja bukan. Ia tidak ingin roh itu sampai mengetahui bahwa ia bisa melihatnya. Bila sudah sampai ke fase itu, maka roh itu akan sering menampakkan diri didepannya; menampakkan ekspresi tersiksa dan memohon belas kasihannya. Dan karena risih dan tidak tega membiarkannya, maka akhirnya Sandra mau tak mau membantunya. Walau pada akhirnya, ia melakukan semua yang terkesan terpaksa itu dengan iklas, tetap saja ia tidak berkeinginan sedikit pun untuk melakukannya sekarang. Ia berusaha berjalan santai dan biasa, tapi sama seperti pikirannya, otot-otot tubuhnya tidak mau diajak kompromi. Ia takut ini malah membuatnya akan tertarik masuk, kembali berputar dalam siklus itu.

***

Soul of PromiseWhere stories live. Discover now