7. Konsekuensi

1 0 0
                                    

Sandra hampir sepenuhnya yakin bahwa ia sedang bermimpi. Pertama, penglihatannya menjadi lebih intens saat bermimpi. Detail-detail terlihat lebih tajam dan jelas. Di sisi lain, pinggiran penglihatannya terlihat kabur, seperti kaca spion yang berembun. Kedua, ia tahu bahwa ini masih mimpi yang sama dengan yang terakhir dilihatnya, hanya episodenya yang berbeda.

Kali ini ia berada di sebuah teluk. Senja telah turun, matahari menggantung lemas di langit bagaikan apel yang terbakar, menimbulkan efek menyala dengan latar biru yang kian mengelam. Pepohonan yang berjejer di sepanjang garis pantai melambai-lambai bersama angin.

Dan pria itu –roh itu– berada di sana, duduk di antara pasir putih yang terlihat lembut. Ia mengenakan kemeja putih longgar dengan setelan celana kulit yang membungkus kaki jenjangnya yang sempurna.

Sandra tidak yakin apakah ia pernah memperhatikan tubuh pria itu dengan seksama sebelumnya, tapi pria di hadapannya sekarang memiliki bahu yang bidang dengan otot yang menyembul di bawah kemejanya yang tipis menerawang. Sejurus kemudian Sandra menyadari mengapa pria di hadapannya itu terlihat berbeda. Di sini, di alam mimpinya, pria itu nyata; berdarah dan berdaging. Dan sama sekali bukannya sekedar substansi transparan.

Di sebelahnya, seorang gadis dengan wajah seperti boneka bergelung seperti bola salju. Dari kejauhan, Sandra sempat mengira bahwa itu hanyalah tumpukan kain mahal saking mungilnya tubuh gadis itu. Samar-samar, Sandra menyadari bahwa ini juga masih gadis yang sama dengan yang terakhir kali dilihatnya.

"Devone," gadis itu berbisik, suaranya setenang riakan ombak.

"Hmm?" pria itu bergumam lembut.

Sandra tidak yakin bagaimana suara gadis itu bisa terdengar dari tempatnya berdiri, tapi begitulah yang terjadi. Hal yang sama juga terjadi ketika pria itu berbicara. Sandra mendengar semuanya seolah memang dia berada di sana; di antara mereka.

"Apa kau pernah berpikir tentang bintang?"

"Ada apa dengan bintang-bintang?" tanya pria yang dipanggil Devone tersebut.

Gadis itu tidak langsung menanggapi kata-katanya, matanya menatap ribuan bintang yang bersinar bagai berlian. Dari caranya menatap, ia terkesan seolah tidak akan pernah bosan meski selama apapun ia melakukannya. Pria itu menunggu tanpa sama sekali terlihat tidak sabar. Wajahnya terlihat tenang dan damai, dan bukannya tenang tanpa ekspresi seperti yang selama ini diingat Sandra.

Gadis itu kembali berbicara, suaranya serenyah gemerincing lonceng yang memecah keheningan. "Mengapa mereka bisa begitu cantik? Masing-masing tampak indah dengan cahayanya sendiri."

Sambil membelai rambut coklat ikal gadis itu, pria itu berkata, "Ibuku pernah bilang, jika semasa hidup kita berbuat baik, maka setelah kita meninggal, kita akan terlahir menjadi bintang." Nada suaranya lembut dan penuh kasih ketika melanjutkan,"Mereka cantik karena cahaya yang berasal dari perbuatan mereka."

Sulit bagi Sandra untuk mempercayai penglihatannya. Meski mereka memiliki wajah yang sama, tapi pria dalam mimpinya ini terlihat berbeda dengan arwah yang dikenalnya itu. Pria ini terlihat begitu..., begitu penyayang. Aneh rasanya jika membayangkan pria selembut ini bertingkah cuek dan arogan. Begitu pula sebaiknya. Sandra tidak bisa membayangkan jika arwah itu tiba-tiba menjadi sok baik hati. Mereka sama sekaligus berbeda.

"Devone." gumam gadis itu lagi, masih bersandar di dada pria itu.

"Ya, Sayangku?"

"Kau lihat garis itu?"

"Garis apa?" kata Devone.

"Garis tipis yang berada di ujung sana," gadis itu mengacungkan telunjuknya yang lentik ke tengah-tengah lautan, "garis yang membatasi langit dan laut diantara biru mereka."

Soul of PromiseWhere stories live. Discover now