Setelah dua puluh satu hari Sandra bervegetarian –waktu yang diperlukan untuk sekedar memanggil roh– ia akan mencoba melakukannya pada arwah bernama Devone itu. Sebaiknya cara ini berhasil, karena ia sudah mulai merasa bahwa ia akan segera mati penasaran jika tidak bisa memecahkan misteri mimpi-mimpinya itu. Mimpi itu mendatanginya dari waktu ke waktu, dan dua puluh satu malam sama sekali bukanlah penantian yang singkat. Meskipun mimpi itu keseluruhan hadir dalam episode yang berbeda, namun tetap saja kepingan tersebut terlalu mustahil untuk dibentuk sebuah puzzle yang nyata. Meski begitu, pernah suatu malam, mimpi itu menunjukan suatu informasi yang dibutuhkan Sandra; nama lengkap pria itu. Ia masih sama sekali tidak mengerti apa yang berusaha disampaikan mimpi-mimpi itu, terlebih, apa kaitan semua itu dengan dirinya.
Sandra merangkapkan kedua tangan di depan dada membentuk lambang diamond dengan menempelkan telunjuk dan ibu jari pada ujung-ujungnya. Ia menarik nafas panjang sebelum kemudian mengucapkan bait permohonan itu dalam batinnya.
Atas nama angin, berikanlah aku udara kebebasanmu.
Atas nama air, berikanlah aku setetes ketenanganmu.
Atas nama tanah, berikanlah aku sebutir ketegaranmu.
Atas nama api, berikanlah aku cahaya kekuatanmu.
Atas nama logam, berikanlah aku segurat keagunganmu.
Wahai Devone Guinevere, dengan segenap kekuatan alam, aku, Kasandra Magdalena memanggilmu.
Di atas kepalanya, guntur menggelegar. Sebuah petir seolah menyambar dirinya sesaat setelah ia merapalkan mantra itu. Ia bisa merasakan aliran panas di sekujur pembuluh darahnya sebaik ia merasakan udara dingin di sekeliling kulit tubuhnya. Sungguh sebuah kombinasi yang aneh, tapi itulah yang dirasakannya. Kedua elemen itu menyatu dalam dirinya sekaligus terpisah. Ia bisa merasakan cahaya melapisi seluruh permukaan tubuhnya seperti ia merasakan kesejukan di pikirannya. Alam telah menerima ikrarnya dan mengirimi kekuatan yang dibutuhkannya.
Dengan mata terpejam, di tengah kegelapan, Sandra melihat sebuah cahaya; seberkas sinar yang sangat menyejukkan. Perlahan-lahan, cahaya itu seperti bergerak mendekat, menghampirinya dengan teratur, tanpa membuat perubahan yang mengagetkan. Lalu, ia merasa tubuhnya menjadi sangat ringan ketika cahaya itu menyelimuti dirinya. Siklusnya berlangsung dengan sangat menenangkan. Bahkan saat sebelum ia membuka mata, ia tahu seseorang telah bersamanya.
***
Pria itu masih berpakaian sama dengan saat terakhir kali Sandra melihatnya. Bukan berarti ada shopping mall tempat para arwah bisa berbelanja busana, hanya saja Sandra terbiasa melihatnya melalui mimpi dimana ia muncul dengan pakaian yang berbeda-beda di keseluruhan episodenya. Namun masalah pakaian akan dengan mudah dikesampingkan ketika ia beralih ke wajahnya.
Sebenarnya pria itu terlihat makin tampan setiap kali Sandra melihatnya, yang ia sendiri tidak mengerti alasannya. "Hallo, Devone Guinevere."
Suara Sandra langsung membuat sepasang mata biru terang itu mengarah padanya, dan desahan nafasnya terdengar sampai ke seberang ruangan. "Sepertinya sekarang kau menginginkanku, Nona."
Hal itu memang benar, tapi Sandra tidak suka dengan cara pria itu mengatakannya. Seolah-olah ia sudah tahu bahwa ia akan dipanggil, bahwa Sandra akan menyesal telah mengusirnya. Sandra bisa melihat sorak kemenangan dari cara pria itu menatapnya. "Aku menyesal jika telah menarikmu dari semacam... keadaan yang menyenangkan. Tapi jujur saja, kau juga tidak mungkin berada di sini jika kau tidak juga menginginkannya."
Devone mengangkat bahu acuh tak acuh. "Apa yang membuatmu berubah pikiran?"
Sandra menyesakan diri antara tumpukan bantal. "Kau tahu, kau sebaiknya mencari tempat yang nyaman sementara kau mendengarkan alasanku berubah pikiran."
YOU ARE READING
Soul of Promise
FantasySandra, seorang gadis delapan belas tahun dengan kemampuan supranaturalnya, bertemu dengan seorang arwah tampan tak beridentitas. Demi kesehatan finansialnya, Sandra telah berjanji dalam hatinya untuk tidak lagi berurusan dengan hal-hal gaib dan mem...