13. Kereta Tengah Malam

3 0 0
                                    

Mentari sudah muncul di suatu tempat di angkasa, tapi kumparannya belum cukup tinggi hingga melewati bangunan-bangunan pencakar langit di bagian timur. Embun menyelimuti setiap permukaan kota laksana kabut di pegunungan.

Sandra yang lebih dulu terjaga. Pikirannya langsung tertuju pada satu hal seolah hal itu tidak bisa lepas bahkan dari kendali alam sadarnya. Ia menoleh dan mendapati Devone masih terlelap di sisinya. Sandra memanggil namanya dan mengguncang-guncangkan tubuh pria itu untuk membangunkannya.

Sesaat setelah Devone terbangun, Sandra baru menyadari ada yang tidak beres di sekelilingnya. "Ini..." ucapnya bingung, seolah kalimat itu menghilang di ujung lidahnya. Ia meletakkan telapak tangan di dahinya dan mendapati kalau suhu tubuhnya baik-baik saja. Tapi itu saja tidak cukup untuk meyakinkan dirinya maka kemudian ia menepuk pipinya keras-keras dan ia langsung tahu bahwa ia tidak sedang bermimpi.

Sandra mengerjap sekali lagi, mustahil untuk mempercayai penglihatannya setelah semua yang terjadi. Langit-langit yang begitu dikenalnya, gorden merah marun kesukaannya, dan... segalanya. Semua itu lebih dari cukup untuk menjelaskan di mana mereka sekarang. Ya, mereka sedang berada di losmen tua Sandra.

Sandra menoleh dan mendapati Devone tengah menatapnya. Ia tidak yakin dengan apa yang dilihatnya, karena sepertinya pria itu terlihat sama bingungnya dengan dirinya. Pikirannya agak sedikit kacau untuk ukuran pagi hari. Ia menggeleng sembari berkata, "Ini membuatku sinting." Matanya menatap lurus ke arah Devone ketika melanjutkan, "Tolong yakinkan aku bahwa kemarin kau membawaku terbang meninggalkan tempat ini."

Devone terdiam untuk satu detik yang panjang, kemudian ia mengangguk. "Ya, kita memang melakukan itu."

"Kau juga mendengar suara kereta itu, bukan?"

"Ya."

"Syukurlah," Sandra bernafas lega, ia tersenyum ketika menambahkan, "jika seandainya ternyata ini adalah mimpi, setidaknya aku tidak bermimpi sendirian."

Tapi kata-kata Devone berikutnya membuat senyum itu lenyap dari wajahnya. "Kau tidak sedang bermimpi Sandra."

Sandra memandang Devone was-was. "Lalu, apakah kau bisa menjelaskan padaku mengapa kita berada di sini sekarang, jika semua yang terjadi semalam adalah nyata?"

Devone terdiam sejenak. "Kurasa ini memang sangat mirip dengan rumahmu, dan kota ini juga. Tapi ada sesuatu yang berbeda."

Sandra mencermati kembali seisi rumahnya. Ia ingat benar di mana ia meletakkan gelas serealnya, di mana ia menggeletakkan buku-buku di meja belajarnya, di mana ia menggantung kaus bekas pakai di belakang pintunya, ia bahkan ingat di mana saja ia bisa menemukan debu yang bersembunyi di ruangan ini. Dan, semua yang dilihatnya sekarang sama persis dengan apa yang ada dalam ingatannya. Ia tidak mungkin salah mengenali kamarnya sendiri.

"Sangat mirip? Ini memang rumahku. Aku tahu itu." protes Sandra.

Devone menggeleng, ekspresinya masih serius ketika berkata, "Bukan itu perbedaan yang kumaksud. Lihatlah ini." ujar Devone sembari meraih pundak Sandra dengan jemarinya.

"Maksudmu?" tanya Sandra tak mengerti.

"Dan itu." gumamnya sambil menunjuk sebuah buku yang tergeletak di kaki Sandra; tembus.

Sandra tidak mampu menyembunyikan keterkejutan di wajahnya. Mulutnya kontan menganga dan matanya seakan mau keluar dari tempatnya.

"Kau menipuku?" tuduh Sandra dengan tatapan berapi-api.

"Maaf?"

"Kau kemanakan tubuhku? Kau bilang bahwa aku akan kembali normal setelah kita sampai ke tempat tujuan."

Soul of PromiseWhere stories live. Discover now