18. Keputusan Sulit

1 0 0
                                    

Sandra merasa harinya dimulai dengan segar walaupun ia telah menghabiskan sepanjang malamnya untuk bangun. Kini ia telah selesai mandi dan keluar dengan handuk di kepalanya. Rambutnya yang panjangnya hampir menyamai pinggulnya itu terurai basah. Ia tersenyum memandang Devone yang tengah duduk di salah satu bangku di meja bulat itu, yang juga sedang tersenyum ke arahnya.

"Selamat pagi." sapa Devone lembut.

"Pagi juga." gumam Sandra riang.

Sandra tidak memiliki meja rias. Ia hanya punya sebuah cermin yang cukup besar menggantung di depan kamar mandinya. Kini ia tengah berada di sana, menyisir rambutnya. Sekilas ia memperhatikan matanya sendiri dalam cermin itu. Sedikit rona keunguan di sekitar daerah kantungnya hanya akan terlihat jika seseorang memperhatikan wajahnya sehari sebelumnya dengan seksama dan berusaha membandingkannya dengan yang sekarang.

"Bagaimana dengan tidurmu semalam?" seolah bisa membaca kekhawatirannya, Devone menanyakan itu untuk menghanguskan paginya yang cerah.

"Yah, cukup nyaman." Sandra berharap nadanya tidak terdengar meragukan seperti yang dirasakannya.

"Memimpikan diriku lagi semalam?" goda Devone lembut.

"Tentu saja." jawab Sandra, reflek menggigit bibir bawahnya. Matanya bergerak menjauhi tatapan Devone dari balik cermin. Meski tidak tahu apa yang bisa dilihat, ia kembali menatap wajahnya sendiri.

Dalam hati, Sandra masih bertanya-tanya cemas. Haruskah ia memulai pagi ini dengan mengatakan hal yang memang ingin disampaikan padanya?

"Apa yang kali ini kau lihat? Coba ceritakan mimpimu padaku."

Sandra bergeming. Ia berharap dirinya mampu mengatakan sesuatu untuk meresponnya, tapi otaknya tidak bisa mengarang satu kalimatpun.

"Wajahmu terlihat pucat." ucap Devone seraya bangkit dan bergerak mendekat ke arahnya.

Sandra tidak sadar akan bibirnya yang mulai bergetar. Ia hanya tahu tubuhnya terasa kaku. Ia pasrah menanti Devone yang semakin mendekat ke arahnya.

"Ada apa?" tanya Devone.

Sandra mencoba bernafas, tapi yang terjadi adalah desahan panjang yang terdengar sampai ke seberang ruangan. "Devone..." desisnya lirih. Matanya menatap permukaan air dalam cangkir berisi teh yang dibuatnya sebelum mandi.

Devone masih terdiam di posisinya. Pria itu sama sekali tidak terlihat membosankan dalam balutan kemeja putih dengan kancing atasnya yang selalu terbuka dan sebuah celana bahan yang terlihat seolah diciptakan khusus untuk tungkainya. Tapi entahlah, karena tidak mengherankan jika postur pria itu membuat segala yang di pakainya tampak sesuai. Ia memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku dan menunggu apa yang akan dikatakan Sandra dengan badan bersandar pada dinding.

Sandra kembali mendesah sebelum ia menoleh dan menatap pria itu. "Bawa aku bersamamu, aku yakin kita bisa menemukan masa lalumu."

"Sandra, kumohon," kata Devone, "jangan mulai lagi."

"Kita tidak akan berdebat, kau harus membawaku bersamamu." gumam Sandra datar. Ia berusaha terlihat rileks dengan mengalihkan tatapannya pada cangkir teh di hadapannya.

"Aku sudah mengatakannya kemarin," kata Devone, "dan sekarang pun jawabanku tetap sama. Tidak."

"Mengapa kau begitu keras kepala?" Sandra meletakkan cangkir teh itu dengan keras, membuat setengah sisanya tumpah ke meja.

"Kau yang membuatku melakukannya." jawab Devone emosi.

"Aku tidak bisa membiarkanmu tersesat di alam itu lebih lama lagi."Sandra mengerang. Ia berharap ia tidak perlu mengatakan lebih jauh untuk meyakinkannya.

"Begitupun aku."ucap Devone melembut. Tatapannya seolah meminta maaf. "Sadarilah Sandra, aku tidak ingin kau berada dalam bahaya."

"Kau tidak perlu khawatir. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya." janji Sandra.

"Apa yang bisa kulakukan jika seandainya polisi waktu kembali datang dan meminta jaminan seluruh usiamu yang tersisa?"

Sandra menggeleng. "Itu tidak akan terjadi."

"Bagaimana kau bisa seyakin itu?" Devone menatapnya tak percaya.

"Kau akan mengetahuinya tidak lama lagi."

Devone mungkin keras, tapi ia tahu, gadis di hadapannya itu jauh lebih keras. Dan jika ia tidak berhenti, maka gadis itu juga akan terus melanjutkan percakapan ini. "Aku tidak ingin memperdebatkan hal ini denganmu."

"Kau memang tidak akan melakukannya. Karena bila kau mendebatnya sekali lagi," bibir Sandra kembali bergetar. Dari ekspresinya, nyata sekali sulit baginya mengucapkan kalimat itu. "bila saja kau mendebatnya sekali lagi, m-maka..." ia berusaha mengabaikan suaranya yang bergetar. Devone masih menatapnya dan ia ingin menyampaikan kesungguhannya lewat matanya –meski tidak dipungkiri bahwa sangat sulit menahan air mata untuk tidak menetes saat melakukannya. "maka, aku akan mengusirmu dari zaman ini."

***

Soul of PromiseWhere stories live. Discover now