Mereka kini tengah berada di depan sebuah kamar bernomor 33, sebuah losmen yang terletak di samping losmen Sandra. Kamar Gissele, sahabatnya.
"Untuk apa kita ke sini?" tanya Devone tanpa basi-basi.
"Aku akan bertanya pada Gissele hal-hal yang tidak kuketahui, dan pastinya," Sandra meliriknya sekilas, "kau juga tidak mungkin tahu jawabannya."
Devone mengangkat bahunya. "Apakah ia juga memiliki kemampuan sama denganmu?"
"Maksudmu?"
"Apakah ia juga bisa melihat roh-roh yang bergentayangan?"
Sandra menggeleng.
"Lalu, apakah kau yakin ia bisa mendengar suaramu, jika melihatmu saja ia tidak bisa?"
Sandra mendesah. "Tidak ada yang lebih baik daripada mencoba. Dan," Sandra meliriknya sekilas, "Berdoalah semoga ia berada di rumah."
"Apakah ia suka pergi di tengah hari seperti ini?"
"Tidak. Hanya saja ia sedang mengunjungi pacarnya yang bekerja di Bali, dan aku belum mendengar kabar kepulangannya."
Sandra hendak menekan bel dan mendapati jarinya tembus.
Devone sepertinya menyadari hal yang menjadi masalah bagi Sandra, hal yang mungkin menjadi masalah bagi setiap orang ketika dirinya baru menjelma dalam medium lain. "Kurasa kau lupa akan akses tidak terbatas yang sekarang kau miliki, Sandra." ucap Devone sambil melangkah masuk, melewati pintu bernomor 33 itu.
Sandra tersenyum, dalam hati ia mentertawakan dirinya sendiri. Benar! Aku bisa langsung masuk.
"Aku tidak tahu apakah temanmu itu belum kembali dari liburannya," gumam Devone, "atau hanya diriku yang tidak bisa melihatnya."
Sandra mengamati ke sekeliling ruangan dan tidak mendapati keberadaan siapapun. "Kupikir ia belum kembali."
"Lalu, apa yang ingin kau lakukan sekarang?"
***
Seolah-olah, Sandra bisa merasakan bobot tubuhnya saat ia menyeret langkahnya. Kakinya terlihat, tidak melayang seperti bayangannya. Hanya saja fakta-fakta lain tampak mengerikan jika ia berusaha memikirkannya lebih jauh, seperti ketika kehangatan sinar mentari menerobos kulitnya atau ketika tubuhnya tidak memantulkan refleksi apapun di aspal jalan.
"Devone, apakah ketika kau berkeliling kota, kau juga tidak bisa melihat manusia lain selain diriku?" tanya Sandra memecah kesunyian.
Devone mengangguk. "Ya. Aku hanya bisa melihatmu."
"Jadi, bagimu, segalanya tampak sama seperti sebelumnya?"
"Selain bahwa kau bersamaku sekarang," kata Devone, "segalanya tidak ada yang berubah."
"Mungkihkan bahwa aku berpindah ke duniamu?" Sandra berusaha mengambil kesimpulan. "Tapi kereta itu seharusnya membawa kita kembali ke masa lalumu dan bukannya membuat kita malah terjebak di dimensimu."
Meski begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa Sandra terkesima mendapati kota yang dilihatnya setiap hari itu berubah kosong. Semua kendaraan berhenti tidak pada tempatnya; di tengah jalan, di tikungan. Begitu pula halnya dengan gerobak-gerobak para pedagang. Di beberapa tempat sarapan pagi, tergeletak piring dengan makanan yang masih utuh di atasnya. Ada pula yang telah termakan sebagian. Semuanya tampak seperti dihentikan tiba-tiba. Tidak ada satupun manusia ataupun roh lainnya yang bisa ia jumpai sepanjang kota ini. Walaupun semua bangunan mirip dengan kota tempat tinggalnya, tapi Sandra tak urung merasa janggal. Rasanya seperti berada di sebuah kota mati dengan diri yang tidak benar-benar hidup.
YOU ARE READING
Soul of Promise
FantasySandra, seorang gadis delapan belas tahun dengan kemampuan supranaturalnya, bertemu dengan seorang arwah tampan tak beridentitas. Demi kesehatan finansialnya, Sandra telah berjanji dalam hatinya untuk tidak lagi berurusan dengan hal-hal gaib dan mem...