Tim malaikat pelangi, mana suaranya?
[RITS]
Taehyung berkali-kali bergumam, menjawab pernyataan dari telepon yang ia terima. Dari Daeryung. Ia berkali-kali menelepon, menanyakan keberadaan Taehyung, meski Taehyung sudah menghubungi sang nenek sebelumnya. Shinmi menjadi tempat Taehyung melaporkan keadaannya. Sang nenek lebih protektif, tapi jauh berbeda dengan definisi protektif Hyunmoo.
"Iya, Paman. Sebentar lagi aku kembali. Katakan pada nenek untuk tidak khawatir. Semua sudah terkendali." Ujar Taehyung sambil mengusap kepala Jimin. Jimin masih tertidur, dengan jarum infus menghiasi punggung tangannya.
Dahye membungkuk, berterima kasih pada sang dokter yang sudah menangani Jimin. Kemudian, Taehyung mendekati Dahye, memegangi tangannya. Ia tahu, sang ibu pasti merasa gelisah dan bersalah atas kejadian ini.
"Ibu ..."
"Eum?" Dahye mengangkat kepala, menatap sendu pada Taehyung.
"Jimin baik-baik saja."
Dahye tersenyum sangat tipis, lalu mengangguk dan kembali tertunduk. "Ibu benar-benar ceroboh. Ibu tidak menjaganya dengan baik."
"Ibu, jangan mulai menyalahkan dirimu lagi."
Dahye hampir saja menangis, tapi ia tidak ingin mengecewakan Taehyung dan menahan air mata sekuat tenaga. Tak lama, suara Jimin terdengar, memanggil ibunya. Dahye dan Taehyung segera menghampiri malaikat mereka.
"Sayangku ...." Dahye mengusap pipi Jimin dan mengecup dahinya.
"Pusing, Bu." Keluh Jimin sambil mengernyit. Dahye memijat pelan pelipis Jimin sambil mendesis pelan.
"Taehyung ...." Mata Jimin membulat saat melihat sosok pemuda yang ia kagumi itu. Ia langsung duduk, tidak memperhitungkan selang infus yang hampir saja lepas.
"Hei, Jim. Kau mau melukai dirimu lagi?" tegur Taehyung dengan nada tegas. Jimin menjadi ketakutan dan menunduk. Ia takut sekali jika Taehyung marah. Namun Taehyung segera meredam perasaan takut itu dengan mengangkat dagu Jimin, sembari duduk di hadapannya.
"Pahlawan yang kuat dan hebat tidak akan melukai dirinya sendiri. Harus lebih berhati-hati supaya bisa tetap melindungi orang lain. Mengerti?" tutur Taehyung sangat lembut, membuat Jimin akhirnya mengangguk sambil tersenyum.
Dahye duduk di samping Jimin, bergabung dengan Taehyung untuk menatap malaikat mereka. "Jimin, kenapa Jimin keluar dari area panti, Nak? Ibu kan sudah bilang Jimin tidak boleh keluar ke mana pun. Hanya boleh di lapangan dalam pagar panti saja."
Jimin tertunduk murung dalam diam. Dahye bertukar pandangan dengan Taehyung. Taehyung membenahi rambut Jimin dan menanyakan hal yang sama.
Jimin menghela napas panjang. "Tadi kami sedang bermain bola di halaman panti."
"Dengan siapa?" tanya Dahye.
Jimin menoleh pada Taehyung, lalu pada Dahye. "Ada aku, Ryota, Jiwoo dan Sua." Ia menghitung dengan jarinya.
"Kemudian?" lanjut Taehyung, menanti penjelasan.
"Ryota melempar bolanya kuat sekali. Sampai ke luar pagar. Ternyata sampai di toko seberang jalan. Aku mengambilnya. Kan aku yang paling besar di antara mereka. Jadi, aku yang harus ambil."
Dahye menghela napas panjang, berpejam sejenak menahan emosi yang sedikit bercampur aduk. Sedikit kesal dengan anak-anak yang pasti mengatakan bahwa Jimin adalah si paling besar yang harus bertanggung jawab atas segala hal. Dahye yakin, Jimin berkata demikian karena ketiga anak yang bermain dengan putranya pasti mengatakan bahwa Jimin yang harus melakukan segala hal. Mereka tidak sepenuhnya memahami keadaan Jimin. "Jimin, tidak ingat pesan Ibu pada Jimin jika sedang ikut Ibu ke panti?"
Jimin terdiam sejenak, lalu memandang Dahye takut-takut. "Tidak boleh keluar pagar panti." Jawabnya dengan suara lirih.
"Lalu, kenapa Jimin tetap keluar? Jalan raya begitu ramai dan berbahaya, Sayang. Ibu sudah ingatkan Jimin berkali-kali. Jangan dengarkan teman-teman kecilmu itu, Nak. Jika bolanya sudah keluar, dibiarkan saja. Kau bisa meminta bola lainnya pada Ibu atau pada bibi lain di panti. Jangan keluar dari panti sendirian begitu. Apa kau mengerti apa yang Ibu katakan?" Tanpa sadar, Dahye meracau. Menciptakan ketakutan pada wajah Jimin. Saat itu, Taehyung langsung memegang lengan sang ibu, memberi isyarat melalui tatapan. Dahye terhenyak saat menyadari apa yang baru saja ia lakukan.
"Ah maafkan Ibu, sayang. Ibu tidak marah. Ibu hanya cemas jadi Ibu berkata seperti ini." Dahye membenahi poni Jimin sambil mengusap leher putranya itu.
"Hei, jagoan." Panggilan Taehyung membuat Jimin berani mengangkat kepala. "Kau boleh mengambil bolanya, tapi harus berhati-hati. Sebelum menyeberang jalan, kau harus menoleh ke kanan dan kiri. Kau harus memperhatikan lampu lalu lintas. Jika memang terburu-buru, kau bisa menyeberang sambil mengangkat tanganmu agar pengemudi memelankan kendaraannya.
"Jika kau kesulitan, bilang pada Ibu bahwa kau membutuhkan bantuan. Jangan keluar tanpa izin seperti tadi. Kau tahu bagaimana aku dan Ibu bisa tenang jika kau dalam bahaya?"
Kalimat demi kalimat Taehyung ucapkan dengan penuh ketenangan, meski ada kecemasan yang tersirat di setiap kata. Sudah selembut itu saja, Jimin tetap tak bisa menahan air mata. Dengan wajah datarnya, air mata mengalir begitu saja membasahi pipi Jimin. Taehyung memeluk Jimin dan menepuk punggungnya. "Tidak apa, jagoanku. Sekarang kau baik-baik saja. Itu sudah cukup melegakan untukku dan Ibu." Taehyung menyeka air mata di pipi Jimin dengan lembut.
Jimin mengangguk, tapi fokusnya mulai kacau karena perasaan sedih dan takut. Ia melihat ke sembarang arah, tanpa suara. Taehyung sudah terbiasa dengan sikap itu dan mulai menepuk pelan tangan Jimin sambil mendesis. Tepukan dan suara Taehyung bekerja seperti obat penenang yang menghilangkan rasa gelisah dan takut Jimin.
to be continued
[RITS]
Yeah yeah yeah yeah yeah
Love
Wella
Repost
21 September 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow In The Sky
Fanfiction[RITS : Supplementary available in BOOK] "Sumber hidupku adalah senyuman Jimin dan Taehyung." -Dahye [Prequel dari Rain In The Middle Of Night] (Start: August 2016) (End: May 2018) Repost on June 2020 Copyright wella©