-11-

1.7K 173 11
                                    

Matahari sudah tenggelam dengan sempurna. Bintang-bintang pun mulai dapat berkelip dengan indahnya.

Naomi melihat keluar jendela kamarnya. PR ekonomi baru saja ia selesaikan dan ia juga sudah mempersiapkan materi untuk ulangan PPKn besuk. Rasanya hari ini ia menjadi lebih rajin dari biasanya.

"Makan, enak kali, ya." Naomi bergumam sendiri. Ia mengalihkan pandangannya menuju pintu kamarnya yang tertutup rapat. "Makan, nggak ya?" Tanyanya sendiri.

Naomi beranjak kulkas di dekat ruang makannya. Ia segera membukanya.  "Tinggal satu? Tetep laper dong gue." Gumamnya ketika melihat sebatang bar cokelat tersimpan di sana.

"Warung depan, buka nggak, ya?" Tanyanya pada dirinya sendiri. Naomi bergegas mengambil jaketnya untuk keluar membeli beberapa camilan.

"Mau kemana, Nom?" Tanya Mama yang sedang menikmati sinetron kesayangannya.

"Mau nyari camilan bentar, Ma. Laper banget." Jawabnya lalu berlalu melewati pintu rumahnya.

Naomi melenggang santai melewati jalanan di komplek rumahnya. Remang-remang lampu jalan menemani langkah Naomi malam itu. Setelah sampai di sana, ia membeli beberapa cemilan yang diinginkan.

Naomi keluar dari toko sambil membawa satu kantong plastik berisi banyak camilan. Ia tersenyum senang memandangi jajanannya.

Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seseorang terkapar di bawah lampu jalanan. Naomi hanya diam menatapnya. Sampai ia sadar, "Brian?!" Naomi berseru mendekati orang tersebut.

Benar. Lelaki itu Brian. Naomi menatapnya penuh iba. Brian memejamkan matanya dengan tubuh yang berlumuran darah. Tak jauh dari sana, motor yang selalu ditungganginya terperosok di sebuah saluran air hingga banyak penyok di segala sisinya.

Naomi panik. Ia berusaha menepuk-nepuk pipi Brian sambil memanggil-manggil namanya. Sampai seorang lelaki berbaik hati untuk berhenti dan menghubungi ambulan untuk Brian.

Malam itu sangat sepi. Bahkan suara jatuhnya Brian sangat alon hingga tak terdengar dengan jelas.

Naomi memutuskan untuk ikut dalam ambulans karena hanya dia yang mengenal Brian.

Selama Brian menjalani pengobatannya, Naomi mengisi administrasinya. Ia meminta pihak rumah sakit untuk menghubungi orang tua Brian dengan kontak yang ada di ponsel lelaki itu.

.

Naomi tertunduk lesu di depan ruang IGD. Tatapannya kosong, jantungnya berdegup kencang, dan rasa dingin menyeruak dalam tubuhnya. Ia sangat khawatir dengan kondisi Brian saat ini.

"Brian," panggilnya lirih sembari menahan air matanya supaya tidak terjatuh. Di telapak tangannya masih terdapat bercak darah dari kepala mantan pacarnya itu.

"NAOMI...."

Naomi mendongkak melihat seorang wanita paruh baya yang sangat dikenalnya wajahnya pucat, tatapnya sangat dalam dan mengisyaratkan sebuah kekhawatiran yang begitu dalam.

"Brian, gimana? Dia nggak papa, kan?" Tanyanya.

Naomi bangkit lalu memapah wanita paruh baya itu untuk duduk di kursi yang tadi didudukinya. Naomi mengelus tengkuknya dan berusaha meredamkan rasa khawatir yang menghantuinya.

"Brian gimana, Nom?" Tanyanya lagi. Naomi tersenyum hambar.

"Semoga saja Brian nggak papa, Tan. Dokter belum keluar. Jadi berdoa aja semoga Brian nggak papa." Jawab Naomi dengan nada yang lembut.

"Aamiin. Makasih ya, Nak, meskipun kamu sudah bukan kekasihnya, tapi kamu masih mau membantunya."

Naomi tersenyum hambar. Gimana nggak ditolongin coba? Kan Naomi masih sayang sama Brian.

"Kamu nggak pulang? Udah malem lho. Apa perlu tante suruh supir untuk anter kamu?" Tanya Tante Jihan.

"Oh, nggak usah, Tan. Aku bisa pulang sendiri kok. Nanti kalau ada apa-apa hubungi Naomi aja, Tan." Jawab Naomi. Ia bangkit dari duduknya. "Naomi permisi, Tan." Pamit Naomi.

Naomi melangkah menuju pintu Rumah Sakit. Sekarang pukul 10.15 dan Naomi tak membawa ponselnya karena hanya pergi ke mini market. Ia tidak mungkin naik taksi semalam ini, sangat berbahaya. Tapi, jika kembali rasanya tidak enak.

"ELANG!" Teriak Naomi sumringah ketika melihat Elang melangkah menuju arah yang sama dengannya. Lelaki itu melihat ke arahnya lalu memghampirinya.

"Ngapain malem-malem di sini?" Tanya Elang mengintrogasi.

"Tadi abis nolongin orang kecelakaan. Anterin gue pulang dong," pinta Naomi. Elang masih diam menatap Naomi.

"Pulang aja sendiri! Ntar gue dikira ngapa-ngapain lo lagi." Tolaknya.

"Kalo lo nggak mau nganterin gue, ntar gue yang dikira lo apa-apain."

"Dih, mana bisa gitu?"

"Pokoknya bisa!" Bentak Naomi. Hanya Elang harapannya untuk bisa pulang. Ia menarik Elang dengan paksa menuju motornya.

"Ngapain sih? Sekarang seneng banget boncengan sama gue? Suka lo sama gue?" Tanyanya saat mereka sampai di depan motor Elang.

Naomi mengendus sebal. Jujur ia lebih takut dengan om om taksi daripada Elang. "Udah, ah," tak ada kalimat lain yang bisa dikeluarkannya saat itu.

"Yaudah. Ayo naik!" Suruh Elanh yang sudah bersiap di atas motornya. Naomi pun segera duduk di jok belakang motor itu.

Motor itu melaju menembus dalam senyapnya angin malam. Naomi memejamkan matanya, mengingat Brian yang masih terbaring di sana. Brian teramat berarti untuknya sejauh ini.

Motor Elang berhenti tepat di depan pintu masuk rumah Naomi. Gadis itu turun dan langsung mengetuk pintu rumahnya. Tak ada jawaban selama beberapa waktu. Tapi, Naomi terus mengulangnya hingga daun pintu itu terbuka.

"Kemana aja, Nom?" Tanya Ayah dengan tatapan yang tegas di ambang pintu. "Anak perempuan pamitnya beli makanan bentar terus sekarang baru balik? Kemana aja?" Tanya Ayah menghakimi.

"Nggak gitu, Yah. Tadi itu-"

"Maaf, Om. Tadi saya ketemu Naomi di rumah sakit." Potong Elang yang belum meninggalkan rumah Naomi.

"Kenapa ke rumah sakit?" Nada suara Ayah mulai terdengar sedikit khawatir.

"Tadi ada kecelakaan di depan toko. Jadi, Naomi tolongin. Eh ternyata dia itu temen sekolah Naomi." Jelas Naomi sambil menjaga tiap katanya agar tidak mendapat bentakan dari sang Ayah.

Ayah terlihat memijit pangkal hidungnya. Naomi terkekeh takut. "Pulangnya hati-hati ya, Lang. Om masuk dulu!" Ucap Ayah pada Elang lalu menarik Naomi ke dalam rumah.

Ternyata di ruang tamu sudah ada Mama dan Arin yang menunggunya. "Memangnya tadi nggak bisa ngabarin Ayah atau Mama dulu? Kan nanti bisa dijemput?!" Tanya Ayah dengan nada khawatir.

"Tadi Naomi nggak bawa hp, Yah. Ya, kan, rencananya cuman mau jajan bentar jadi nggak tau kalo bakalan kaya gini." Jawab Naomi.

Mama bangkit dan berjalan ke arah Naomi. Mama membelai lembut ujung kepalanya. "Emangnya segitu kenalnya sampe kamu nggak bisa ninggal duluan?"

Naomi diam sebentar, menahan sesuatu yang bertekad untuk lepas dari kantung matanya. "Dia Brian, Ma." Jawab Naomi dengan nada bergetar. Mendengar jawaban Naomi, Mama langsung memeluk erat putrinya.

Naomi terisak pelan dalam pelukan Mama.

"Udah, sekarang tidur, ya? Besuk kamu jenguk dia lagi." Bisik Mama. Naomi mengangguk lalu melangkah kembali menuju kamarnya.

Naomi kembali terisak ketika masuk ke kamarnya. Ia duduk menyila di atas ranjangnya sambil berusaha menghilangkan kenangan tentang Briam yang beterbangan dalam memorinya.

Cepet sadar, Bi.

-oOo-
.
.
.
Vomment dums 😁

GREY [Fiksi Remaja]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang