-13-

1.7K 163 3
                                    

Naomi duduk dengan berbalut sragam PMR. Hari ini pertandingan dilakukan tanpa sekuad utama. Tentu saja karena Brian yang sekarang sedang koma di rung ICU. Sudah seminggu Brian dirawat di sana, tapi jiwanya seakan tak merindu.

Naomi menolak untuk bergabung dengan tim cheers karena ia merasa itu sulit dilakukan sekarang. Pikirannya yang kalut dapat menimbulkan kekacauan berarti.

Tim sekolah bertanding tanpa skuad terbaiknya. Tentu saja karena sekarang Brian sedang berada diambang kehidupanya.

Senyum getir Naomi pancarkan ketika bola berhasil masuk melalui ring. Semakin banyak poin yang didapat akan semakin mengingatkannya pada Brian. Pertandingan sebelumnya, Brian masih berlari lincah mengoper bola dan tersenyum ke arahnya ketika berhasil mendapat poin.

Quarter terakhir baru saja dimulai dan tim sekolah masih memimpin dengan skor yang cukup jauh. Naomi ingin bersorak seperti dulu, tapi rasanya basket sudah tak semenyenangkan dulu.

Ia tak bersama Alice, Dinda, ataupun Yola. Mereka sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Alice tetap menjadi pemimpin cheers seperti biasanya. Yola masih tak menyukai basket. Dan Dinda, ia sedang menunggui kekasih hatinya.

Pertandingan usai. Naomi bangkit dan mengampiri tim sekolah. Raka dan Aldo menatapku bersamaan.

"Nggak seneng gitu, Nom?" Tanya Raka. Naomi masih berusaha mengembangkan senyumnya.

"Udahlah, jangan terlalu mikirin Brian." Sambung Aldo. Naomi masih diam.

"Gue balik duluan, ya? Selamat." Ucap Naomi kemudian melangkah menjauh.

Di depan stadion, Naomi melihat Elang di atas motornya. Lelaki itu sepertinya baru saja datang, ia terlihat melepas helmnya. Naomi bergegas mendekat.

"Gue nggak akan telat pulang kok." Ucapnya ketika berada di depan Elang. Elang diam. Ia menatap Naomi yang terlihat tanpa semangat sejak Brian koma.

"Lo nggak kangen sama seseorang gitu?" Tanya Elang.

"Gue kangen Brian." Jawab Naomi diikuti dengan senyum yang mengembang indah.

"Lo nggak ngrasa ada yang hilang gitu?" Tanyanya lagi.

"Satu-satunya yang ilang adalah jiwa Brian." Jawab Naomi.

"Lo udah buta ya, Dil?"

"Gue emang buta. Gue buta karena masih mencintai Brian sampe sekarang."

Naomi mengambil napas lalu bergegas naik ke jok belakang motor Elang. Tak berselang lama, Elang segera melajukan motornya menuju komplek perumahan Naomi.

Naomi turun di depan gerbang rumahnya. "Makasih." Ucapnya setelah turun dari motor Elang, disusul dengan senyuman yang hambar.

"Brian itu mantan lo, Dil. Jangan terlalu dipikirin. Inget, masih ada banyak orang yang terluka di sekitar lo. Nggak cuman Brian." Ucap Elang sebelum melesat meninggalkan rumah Naomi.

Naomi menghela napas, melangkahkan kakinya masuk melewati gerbang rumahnya. Di teras, dilihatnya Arin berdiri di sana dan terlihat sangat rapi.

"Mau kemana, lo?" Tanya Naomi.

"Eh, Nom. Gue mau pergi dulu. Om sama Tante tadi keluar, katanya mau belanja di mall. Maaf ni, gue mau pergi jenguk temen gue." Jelasnya.

"Temen? Temen yang mana?" Naomi mendadak kepo. Mungkin saja, Arin satu kelas dengan Brian. Karena sampai sekarang, Naomi tidak tau Arin masuk kelas apa. Dan jika teman yang dimaksud adalah Brian, ia akan ikut ke sana.

"Gibran."

"Apa?!" Naomi berseru keras. Ia terkejut mendengar jawaban Arin. "Gibran? Sejak kapan dia sakit? Kenapa lo nggak ngasih tau gue?!" Naomi di luar kendali.

"Lho? Lo belum tau Nom? Gibran nggak masuk sekolah udah hampir seminggu. Gue pikir lo udah tau. Bukannya lo deket sama dia?"

Sebuah sambaran hebat di dada Naomi. Semuanya begitu dalam dan menyakitkan. Ternyata ia tak terlalu baik pada Gibran, lelaki itu menganggapnya sahabat, tapi dirinya malah tak pernah mempedulikannya.

"Gue duluan ya, Nom." Pamit Arin, kemudian berjalan melewati Naomi yang masih kalut dalam pikirannya.

Bagaimana tidak kalut? Ia terlalu memikirkan Brian sampai tak menyadari ketidakhadiran Gibran selama seminggu. Ia teringat ucapan Elang sebelum meninggalkannya.

"...jangan terlalu dipikirin. Inget, masih ada banyak orang yang terluka di sekitar lo. Nggak cuman Brian..."

Naomi meraih ponsel di sakunya kemudian segera menghubungi Elang. Tak ada jawaban dalam selang waktu yang cukup lama.

Gadis berambut legam itu berlari masuk ke kamarnya untuk meletakkan tasnya. Kemudian, ia melangkah untuk membersihkan diri.

-oOo-

Langit tampak hitam pekat. Rintik bintang dan lelampuan kota menjadi manik tersendiri di hamparan hitamnya.

Naomi duduk di meja belajarnya sambil menatap ke luar jendela. Hatinya gundah tiba-tiba, Arin belum pulang, jadi ia belum bisa menanyakan keadaan Gibran.

Kekhawatirannya tentang Brian seakan lenyap begitu saja. Gibran kini menjadi tokoh utama dalam kekhawatiran Naomi.

Detik selanjutnya, Naomi bangkit dari duduknya lalu melangkah keluar dari kamarnya. Ia berdiri di ruang tamu, seperti orang yang cemas menunggu sesuatu.

"Kenapa sih, Nom?" Tanya Mama. Naomi tersentak. Ia bingung. Terdiam cukup lama.

"Anu Ma. Naomi nungguin Arin." Jawabnya asal.

"Udah baikan sama Arin ternyata. Seneng deh Mama."

Kalo nggak ada hubungannya sama Gibran, nggak bakalan juga Naomi baikin tu anak, Ma!

Mama mendekat. Wanita itu memberikan dekapan hangat pada putrinya. Dan tepat saat itu, nyaris semua kecemasan yang dirasakan Naomi hilang. Hangat dan nyaman. Inikah kebahagian bersama seorang ibu? Sangat hangat dan menenangkan.

"Brian apa kabar?" Tanyanya.

"Brian koma, Ma." Jawab Naomi dengan nada sendu. Mama memeluk anaknya itu dengan lebih kuat.

"Mau temenin Mama jenguk ke sana?" Tanyanya. Naomi diam, kemudian perlahan memgangguk.

Suara ketukan pintu menghancurkan pelukan hangat Mama. Naomi beranjak untuk membuka pintu. Dilihatnya Arin bersama Elang di belakangnya.

"Makasih, kak." Ucap Arin sebelum Elang meninggalkan rumah mereka.

"Gimana keadaan Gibran?" Tanya Naomi. Sedetik setelah motor Elang melaju meninggalkan rumahnya.

Arin tak menjawab. Ia mengisyaratkan bahwa tak ingin menjawabnya di sini. Naomi pun melangkah mengikuti Arin yang beranjak lebih dulu.

Di depan pintu kamarnya, Naomi menahan tangan Arin. Kali ini ia sudha tak sabar untuk mendengar jawaban dari pertanyaannya. "Jawab gue!" Paksa Naomi.

Arin diam sebentar. Mengembuskan napasnya pelan. Kemudian menatap Naomi untuk menjawab pertanyaannya. "Dia nggak papa kok." Jawab Arin.

"Nggak papanya gimana?" Paksa Naomi.

"Katanya cuman radang."

"Yang radang apanya?!" Naomi ingin penjelasan yang detail.

"Radang tenggorokan."

"Masa radang tenggorokan sampai nggak masuk seminggu?! Yang bener dong!" Naomi mulai tak terkontrol.

"Tifus."

"Tifus sama radang beda, bego!"

"Serah, Nom. Gue ngasih tau baik-baik."

"Ya kali orang sakit tifus lo bilang radang!" Bentak Naomi yang kesal. Arin tak peduli. Ia melangkah masuk ke kamarnya.

Naomi menghembus lega. "Kenapa nggak ngomong dari tadi, sih? Gue panik tau nggak!" Umpatnya di depan kamar Arin. Ia melangkah kembali ke kamarnya. Setidaknya kekhawatiran kecilnya sudah terjawabkan.

-oOo-
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak

GREY [Fiksi Remaja]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang