29.🌙Pencarian Bukti

7.7K 373 27
                                    

"Sayang, akhirnya kamu sampai juga. Mama lama banget nunggu kamu, Nak." Tiara menyambut putranya diambang pintu dengan perasaan yang sangat senang. "Maaf Mama gak bisa ikut tadi. Mama harus masak dan beres-beres rumah. Ayo, masuk." tambah Tiara kepada putranya, dan keempat orang lainnya dibelakang cowok itu.

Suara lembut itu... yang pertama kali Baktha dengar. Cowok itu tersenyum, sambil mengangguk. Baktha mengirup oksigen sebanyak-banyaknya, lalu menghembuskannya. Cowok itu mengedarkan pandangannya kesekeliling rumah dengan senyum simpul. Ia sangat merindukan rumah ini. Baginya, tidak ada tempat paling nyaman didunia ini, selain rumahnya sendiri.

Cowok itu menatap bangunan ini dengan rasa rindu. Setelah sekian lama, akhirnya cowok itu kembali lagi ke tempat ini. Lelaki itu mendudukkan tubuhnya di sofa ruang tamu, dan diikuti oleh Annora, Adam, Anggara, dan juga dengan Zero.

"Kakak kangen rumah, 'kan?" pertanyaan konyol yang gadis itu lontarkan, seakan ingin Baktha lempari dengan tomat.

Untung sayang...

"Iya lah, Ra. Masa gue gak kangen?" jawab lelaki itu yang dibuat dengan setenang mungkin. Walau sesekali ia menggerutu dalam hati.

"Tapi.. lebih kangen sama Annora, 'kan, Tha?" goda Zero sambil menatap Baktha dan Annora bergantian.

"Iya, lo bener. Gue lebih kangen sama cewek yang selalu gue jailin ini." Baktha menatap wajah Annora yang sudah memerah akan ucapannya.

***

Baktha merebahkan tubuhnya diatas ranjang king zize miliknya. Sensasi ranjang yang sama, semenjak terakhir ia tempati. Tiara sangat menjaga dan merawat kamar ini. "Awh!" cowok itu berseru nyaring, lalu bangkit dari tempatnya. Cowok itu memegangi bagian dadanya, yang masih dibalut oleh perban. "Gila, gak hilang juga sakitnya. Emangnya dia gak capek apa nempel dibadan gue terus?! Gue aja capek!" kata cowok tu bermonolog dengan kesal.

Rasa perih itu masih terasa sampai saat ini. Lukanya belum benar-benar pulih total. Cowok itu kembali teringat tentang kejadian beberapa tahun silam. Kejadian saat kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan yang menewaskan Ayah, serta adiknya, Zean.

Cowok itu mengerang dengan frustasi. Mengapa semuanya terjadi sangat sulit seperti ini? "Gue bingung harus mulai dari mana." ucapnya frustasi, sambil mengacak gemas rambutnya yang sudah sangat panjang.

Seketika pandangannya berubah. Seperti ada lampu yang menyinari otaknya, cowok itu segera meraih ponselnya. Cowok itu mendial nomor dengan cekatan. Beberapa detik kemudian, terdengar suara lelaki yang mengawali pembicaraan.

"Halo?"

"Saya perlu bantuan anda sekarang. Tolong jangan hancurkan kepercayaan ini. Saya percaya dengan sepenuhnya kepada kamu."

"Anda tidak usah khawatir. Saya tidak pernah mengecewakan siapapun yang meminta bantuan kepada saya. Katakan saja, apa yang perlu saya bantu."

"Kematian Ayah dan Adik saya. Tentang kematian Angkasa, dan Zean Angkasa, beberapa tahun lalu. Saya ingin anda mencari tahu lebih lanjut tentang kejadian itu. Apapun yang terkait."

"Baik. Dalam waktu seminggu, Anda akan segera mendapatkan apa yang anda inginkan."

"Baik. Terima kasih."

Hanya itu yang terucap, sebelum akhirnya telepon ditutup secara sepihak oleh orang itu. Baktha menghela napas dengan gusar. "Semoga dengan ini, kematian Papa sama Zean, bisa terungkap." kata cowok itu yang masih menghela napas terus menerus.

"Nak? Ini Mama bawakan Bubur Ayam. Ayo makan dulu." Tiara mengetuk pintu kamar Baktha beberapa kali.

Cowok itu mengalihkan pandangannya kearah pintu. Cowok itu melangkahkan kakinya, menuju depan pintu. Ia membuka kenop pintu dengan hati-hati, sampai terlihat sosok Tiara dibaliknya.

"Makan dulu, yuk." ajak wanita paruh baya itu sambil tersenyum.
Cowok itu mengangguk, lalu mengambil nampan yang Ibunya bawakan tadi. Ia kembali memasuki kamar, dengan membawa satu porsi Bubur Ayam, dan juga satu gelas air mineral.

Cowok itu kembali mendudukkan tubunya di ranjang miliknya. Ia menatap Bubur dihadapannya dengan tatapan kosong. Pikirannya masih mengingat-ngigat jawaban yang gadis itu lontarkan kala ia menyatakan perasaannya untuk kali kedua, kepada cewek itu.

Cowok itu menggenggam gelas mineral kaca itu sampai kuncul guratan urat ditangan kirinya. Matanya memanas seketika, saat cowok itu kembali mengingat kejadian antara dirinya, dan juga lelaki berengsek itu saat dirumah sakit.

Prangg...

Pecahan gelas terdengar. Gelas digenggaman tangannya tiba-tiba hancur berkeping-keping. Tangan cowok itu masih terkepal dengan kuat, saat beling itu masih berada digenggaman tangan cowok itu.

Sebulir tetesan merah, tepat mengenai bed cover cowok itu. Ia tidak memperdulikan darah yang sedari tadi sibuk berjatuhan tanpa henti. Cowok itu semakin mempererat beling kaca digenggaman tangannya, dan semakin banyak tetes darah di bed cover miliknya, yang berwarna cokelat.

Mendengar suara dentingan yang berasal dari kamar putranya, Tiara menghampiri kamar putranya dengan tergopoh-gopoh. Cowok itu membelalakkan matanya, saat melihat darah terus bercucuran dari tangan kiri cowok itu. Dengan cepat, Tiara menghampiri putranya. Tiara mengambil tangan putranya dengan cepat. Ia mengambil kotak P3K, yang berada dipojok kiri ruangan. Mata perempuan itu terselip rasa khawatir, dan rasa marah yang bercampur.

"Kamu kenapa, sih?! Baru keluar dari rumah sakit, udah ada luka lagi. Emang kamu mau bikin jantung Mama copot?!" kata Tiara sambil mengoleskan obat merah pada telapak tangan putranya.

Tiara membalutkan perban pada tangan putranya. Perempuan itu melirik darah, yang sudah ada pada bed cover miliknya. "Kamu denger Mama atau enggak?!" betak wanita itu dengan nada tinggi. Wanita paruh baya itu menahan kristal bening, yang ingin menjatuhi wajahnya.

Cowok itu terkesiap. Pandangannya kini teralih menatap Tiara lurus. Pandangan matanya yang panas, tiba-tiba berubah menghangat. Cowok itu menarik napas dalam. "Maaf, Ma. Baktha gak bermaksud---"

"Udah! Kamu itu selalu bikin Mama khawatir. Mama gak mau kehilangan kamu." Tiara menumpahkan isak tangisnya tanpa bisa ia tahan. Tiara menangkup wajahnya, menggunakan kedua tangannya.

"Ma..." lirih cowok itu dengan nada merendah. "Aku minta maaf..." cowok itu menarik tubuh Ibunya, lalu memeluk tubuh Ibunya dengan erat. "Aku sayang sama Mama."

Tangis Tiara semakin pecah. Ia memeluk putranya dengan tangis yang semakin mereda. "Kamu itu selalu buat Mama khawatir." kata Tiara disela isak tangisnya.

Baktha menghelus lembut puncak kepala Ibunya dengan penuh kasih sayang. Ia mencium puncak kepala Ibunya, dengan rasa kasih sayang yang sangat besar. "Sekali lagi, aku minta maaf, Ma. Baktha sayang Mama."

Tiara melepas pelukannya dari putranya. "Ini tangan kamu kenapa? Dan, kenapa gelasnya bisa pecah?"

Cowok itu tersenyum simpul saat ia kembali mendapatkan perhatian yang sudah lama ia rindukan. "Enggak kenapa, Ma. Gak sengaja aku pegang aja belingnya. Nanti aja lukanya pasti bakalan hilang, kok." Baktha meyakinkan dengan mantap.

Perempuan itu menyeka air mata yang tadi membasahi wajahnya. Ia mengambil alih Bubur Ayam yang tadi ia berikan pada putranya. "Udah sini, biar Mama yang suapin kamu."

Cowok itu hanya tersenyum dalam diam, saat satu suapan mendarat didalam mulutnya.

***

Hai, update nih, hehe.
Jangan lupa divote ya(:


Salam, Nadya penulis amathir yang lagi takut entar kalau dapet pelajaran matik.
08 Januari 2018

Ice Prince✔ [SUDAH TERBIT!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang