Langit mulai gelap. Angin berhembus agak kencang memainkan bandul putih dari ikat rambut miliknya yang dikucir kuda. Berbekal penerangan minim dari sorot lampu taman yang satu diantaranya mulai meredup seperti akan mati, gadis yang selalu berpenampilan casual itu sibuk mengotak-atik kubus rubik yang didapatnya dari Yuan, cowok campuran Korea-Chinese yang tak bosan-bosannya ingin menaklukan cewek feminim seperti Harim.
Seumur hidupnya, Harim belum pernah sekali pun menyelesaikan game tersebut. Tapi, cowok perusak sepertinya malah menantangnya taruhan.
Sesekali dahinya ikut mengernyit kala ia mencoba mencari teknik yang tepat untuk mengembalikan rubik tersebut hingga tiap sisinya berwarna senada dan membentuk empat huruf yang jika digabung entah akan menjadi kalimat apa, Harim belum tahu.
Tak jarang juga ia mendesah gemas sampai pergerakan tangannya reflek terhenti tatkala suara dari satu objek diatasnya mulai mengalihkan seluruh atensinya. Tepat, ketika ia berhasil menyelaraskan satu sisi kubus berwarna merah, benda itu loncat dari tangannya-dilempar sembarang.
Harim langsung mengambil posisi jongkok. Memejamkan mata dan menekan kedua telinganya rapat-rapat. Detik itu juga, dadanya naik-turun. Tubuhnya menegang dan kaku.
Sungguh, Harim ketakutan hanya karena mendengar suara pesawat di malam hari. Bukan apa-apa. Tapi dalam benaknya benda besar itu bisa jatuh kapan saja menghantam tubuhnya. Tak ada hari esok. Semua yang seharian ini ia lakukan akan jadi memori terakhirnya. Bayangan dari tawa bahagianya seolah menjadi hal yang paling mengerikan. Tawanya seakan-akan menjelma menertawai kematiannya. Kalau kata orang ini berlebihan, maka baginya tidak.
Sialnya, mungkin tempat di mana Harim membeku sekarang merupakan jalur lintas si pesawat hingga ia harus mendengarnya berulang kali.
Sebisa mungkin Harim menetralkan deru nafasnya, me-rileks-kan tubuhnya yang mendadak tak ingin bergerak, lalu menulikan indera pendengarannya yang masih saja mampu menangkap suara menyebalkan itu.
Tiba-tiba, Harim merasakan ada tangan yang lebih besar dari miliknya membantu menutupi kedua telinganya disusul dengan suara khas dari orang yang kini ikut berjongkok di depannya.
Di bawah cahaya temaram dari sorot lampu taman yang kini satu diantaranya telah mati dan kunang-kunang yang bermunculan seolah menggantikan cahaya yang hilang, pria itu bernyanyi. Suaranya yang besar seolah dibuat keras seperti ingin menandingi suara deru mesin burung besi yang sedang lewat diatas mereka.
Nyanyian itu berhenti disusul oleh tarikan kedua tangannya yang menjauh. Setelah memastikan pesawat itu telah luput dari jangkauannya, Harim barulah berani membuka mata.
"Bogoshipda...," ujarnya mengulangi sepatah kata dari lirik lagu yang ia nyanyikan barusan. Pria itu tersenyum dan melipat kedua lengannya diatas lutut.
"Hoseok Oppa...."
"Sstt... aku tahu, aku memang datang di waktu yang tepat. Tak usah berterima kasih," selanya kemudian, membuat Harim meninju pelan lengannya sambil terkekeh. Selalu saja begitu.
"Justru kau telat menjemputku!" Harim mencibir seraya matanya menyisir rumput disekitarnya, mencari rubik yang tak sengaja ia lempar tadi.
"Kau sesibuk itu, ya?"
"Ya... aku sedang sibuk mengurus sesuatu," jawab Hoseok sekenanya. Bola matanya mengikuti ke mana Harim bergerak.
"Sesuatu apa?" Harim menoleh sekilas dan bertanya.
Tapi, Hoseok malah bertanya balik. Ia gemas sendiri melihat Harim yang berbicara padanya tapi raganya malah sibuk menelusuri tiap sudut taman. Hoseok tak suka kalau fokus Harim untuknya mulai terbagi-bagi pada sesuatu yang lain.

YOU ARE READING
DNA
FanfictionSatu hati terkoneksi pada satu hati yang lain. Satu hati ditakdirkan untuk satu hati yang lain. Satu hati, memiliki DNA untuk menjadi pasangan satu hati yang lain. Namun masing-masing satu hati itu terhubung semu dengan banyak hati yang lain. Membua...